Salah satu identitas bulan Ramadhan adalah peristiwa turun (inzal, nuzul)-nya Al-Quran pada bulan Ramadhan. Mana’ Al-Qaththan (1973: 100) menjelaskan bahwa Al-Quran menggunakan istilah anzala untuk peristiwa turunnya kitab Alquran pada bulan Ramadhan, yaitu berdasarkan al-Baqarah (2): 183; al-Qadar (97): 1; al-Dukhan (44): 3 yaitu turunnya Alquran secara sekaligus ke langit dunia.
Kemudian diturunkan (dengan akar kata nazala) seperti dalam Al-Isra (17): 16 secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Rasulullah shallallaahu alihi wasallam selama 23 tahun, yaitu di Mekah, 13 tahun dan di Madinah, 10 tahun.
Berbeda dengan sarjana Barat yang memandang Alquran sebagai sumber sejarah dalam kepentingan penelitian sejarah. Para sarjana Muslim memandang Alquran sebagai kalam (firman) Allah dan kitab terakhir yang diturunkan. Sebuah kitab memuat apa yang tidak termuat pada kitab yang lainnya mengenai syariat, budi luhur, dan kesempurnaan hukum.
Kitab Alquran dipandang sebagai sumber moral dan keagamaan yang didalamnya terkandung doktrin teologis dan hukum yang menjadi sandaran kehidupan sehari-hari.
Teks Alquran diterima secara taken for granted. Alquran diyakini muncul sezaman dengan kemunculan Islam (Islamic origins). Alquran juga merekam fase perkembangan Islam dan karena itu dapat dijadikan jendela untuk melihat lingkungan dan konteks dimana Islam muncul.
Pendekatan terhadap kajian Alquran mendorong menyegarkan pemahaman terhadap firman Allah tentang syariat, budi luhur, dan kesempurnaan hukum.
Pendekatan sejarah misalnya, menempatkan Alquran dalam posisi yang penting dalam kemunculan Islam. Seperti terhadap kanonisasi, yaitu proses pengumpulan dan pencatatan wahyu menjadi kitab suci tertulis yang baku. Ini menggambarkan proses perubahan pengetahuan tentang bacaan Alquran yang semula menekankan hafalan/ingatan menjadi tulisan.
Teks Alquran menyediakan ruang lebih fleksibel sebelum menjadi, meminjam istilah Arkoun, ‘korpus tertutup resmi’ (official closed corpus). Penyeragaman bacaan Alquran seperti dalam edisi Kairo (1924) yang beredar sekarang dan diterima secara universal oleh muslim Sunni maupun Shi’i, yaitu dengan bacaan Hafs (w. 180 H/796 M) dari ‘Asim (w. 127 H/745 M), secara perlahan menjadikan qiraat lain asing.
Seperti diketahui pada awalnya teks Alquran terdiri dari huruf-huruf tanpa diakritik. Secara teknis disebut scriptio defective yang memungkinkan untuk dibaca lebih fleksibel ketimbang sistem bacaan Alquran edisi Kairo (1924), yang lengkap dengan diakritik (titik di atas dan dibawah huruf) dan harakat yang secara teknis disebut scriptio lena.
Pendekatan kekuasaan patut diduga dilakukan oleh Khalifah Usman ibn Affan, seperti sebelumnya dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar. Kemudian itu terus menerus berlanjut pada masa Khalifah Abd al Malik bin Marwan dengan kontribusi signifikan Gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf dalam proses kanonisasi. Mereka melengkapi mushaf Usmani dengan diakritik.
Kajian Alquran dengan mempertimbangkan konteks formatif Islam, yaitu sebelum Alquran dibakukan dalam format seperti terlihat terakhir dalam edisi Kairo (1924), mendorong semangat ideologis intelektualisme dan humanisme terus berdampingan dengan semangat pencarian pemahaman tentang peran fungsi Alquran yang terbarukan, mencerahkan peradaban manusia.
Editor: Soleh