Review

Shoemaker: Keraguan dalam Tradisi Pengumpulan Al-Qur’an

5 Mins read

Stephen J.  Shoemaker merupakan seorang professor bidang studi Agama di Universitas Oregon. Seorang sejarawan yang focus pada sejarah kekristenan kuno, permulaan Islam dan sejarah awal abad pertengahan. Pendidikan sarjananya di tempuh di Emory University dengan meraih gelar summa cumlaude dalam bidang Agama dan Studi Klasik hingga mampu bergabung pada Phi Betta Kappa. Sebuah akademi bergengsi yang hanya dapat diraih oleh orang-orang terpilih dalam bidang seni dan sains liberal. Shoemaker meraih Pendidikan master dan doktornya pada bidang Agama di Duke University.

Sebagai seorang sejarawan yang berkecimpung dalam bidang agama, Shoemaker merasa perlu untuk meneliti kesejarahan Islam khususnya pada kitab suci al-Qur’an. Dalam karya terbarunya, Creating the al-Qur’an, yang baru saja rilis pada tahun 2022 lalu. Shoemaker menuliskan kegelisahannya dan keraguannya terhadap tradisi penulisan al-Qur’an dengan mengatakan bahwa al-Qur’an yang saat ini kita gunakan bukan merupakan hasil dari tradisi Usman.

Ia meragukan tradisi penulisan dan pengumpulan al-Qur’an yang tersebar di kalangan umat Sunni terkait dengan keterlibatan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan.

Hal ini bermula dari Shoemaker menemukan banyaknya riwayat-riwayat yang kacau dan membingungkan terkait dengan pembentukan al-Qur’an. Terlebih khususnya terkait nama-nama sahabat yang terlibat tersebut.

Shoemaker menilai bahwa laporan-laporan (hadis) terkait pengumpulan al-Qur’an saling bersaing dan kontradiktif dan tersebar di berbagai tempat. Ia juga meragukan keotentikan sumber-sumber sejarah peristiwa al-Qur’an dalam Tradisi Sunni yang didasarkan pada hadis-hadis al-Bukhori.

Hal ini disebabkan oleh jarak antara peristiwa pengumpulan tersebut dengan laporan-laporan yang terkait dengannya (hadis Bukhori) berjarak 250 tahun lamanya.

Riwayat yang Berbeda

Keraguan tentang al-Qur’an ditunjukkan oleh Shoemaker dengan menunjukkan adanya riwayat dari Ibn Shabbah. Salah seorang sejarawan pada abad ke 8 yang seumur dengan al-Bukhari, yang didalam karyanya tidak ditemukan keterlibatan Abu Bakar dalam pengumpulan al-Qur’an.

Dalam bukunya History of Madina, Shabba hanya menyebutkan keterlibatan Umar bin Khattab pada pengumpulan al-Qur’an tersebut. Ia menceritakan bahwa Umar terlibat dalam peristiwa pengumpulan al-Qur’an namun dibunuh sebelum menyelesaikan pengumpulan tersebut.

Baca Juga  Review Novel: Gadis Pantai Karya Pram

Dalam mendukung keraguannya, Shoemaker juga menampakkan tulisan Ibn Sa’d. Seorang penulis sejarah awal al-Qur’an mengenai biografi sahabat dan para assabiqunal awwalun, memberikan informasi dari banyak hadis tentang “mereka yang mengumpulkan/ menghafal al-Qur’an pada  masa hidup utusan Allah”. Shoemaker menilai adanya ambiguitas pada hadis ini dikarenakan lafal jama’a dalam bahasa Arab dapat berarti mengumpulkan dan menghafal.

Berdasarkan hal ini, Shoemaker menilai bahwa kita tidak boleh terlalu meyakini peran-peran orang ini (khulafaur rasyidin) dalam pembuatan al-Qur’an terlebih khusus penulisannya. Sebab dari hadis tersebut dapat menyiratkan dua pendapat; dimana bisa saja mereka hanya menghafal sebagian dari wahyu Muhammad atau mereka benar-benar telah menuliskan wahyu al-Qur’an tersebut.

***

Selain itu kembali lagi, Shoemaker berpegang erat pada argumennya bahwa keberadaan tulisan sangat minim saat narasi al-Qur’an diturunkan di Hijaz. Ini akan tampak sangat mustahil bahwa al-Qur’an ditulis ketika Nabi masih hidup.

Pun yang lebih mengagetkan lagi, bagi Shoemaker adalah tidak adanya hadis terkait dengan pembentukan teks al-Qur’an yang berkaitan dengan Usman. Ibn Sa’d tidak menyebutkan sama sekali minat Usman dalam menetapkan teks al-Qur’an.

Hal ini dinilai Shoemaker sebagai suatu yang luar biasa. Sebab jika tradisi pengumpulan al-Qur’an merupakan realitas historis yang diakui secara luas, maka sulit dibayangkan jika Ibn Sa’d tidak mengetahui hal ini dan tidak menuliskannya dalam karya-karyanya.

Shoemaker menelusuri karya Ibn Sa’d dan hanya menemukan peran Usman terkait al-Qur’an justru saat Umar menjabat menjadi Khalifah dan Usman justru turut menjadi seorang yang mengumpulkan dan menghafal al-Qur’an pada masa itu.

Dalam catatan Ibn Sa’d juga, Shoemaker menemukan sebuah penemuan bahwa justru Ubay lah yang diutamakan dalam tradisi pengumpulan al-Qur’an, bukan Usman.

Berdasarkan adanya kontradiksi ini, Shoemaker berpendapat bahwa al-Bukhori menyusun narasi kanonik ini berdasarkan berbagai hadis yang bersaing dan berusaha menarasikan ini agar dapat berkaitan antara Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman dengan berbagai cara agar membentuk suatu narasi yang harmonis dan selaras kemudian memberikan penilaian hadis shahih pada hadisnya ini, dan berakhir dengan penerimaan utuh oleh kaum Sunni dengan aman dan tanpa mempermasalahkan apakah hadis itu shahih atau tidak hingga hari ini.

Baca Juga  Antropologi Sekulerisme: Kontribusi Talal Asad

Catatan Sayf bin Usman

Shoemaker juga menemukan sebuah sumber sejarah Islam yang ia nilai datang paling awal yang ditulis oleh Sayf bin Usman di Kufah pada akhir abad kedelapan (796-797 M) yang membahas sejarah al-Qur’an.

Sayf mengambil sumber informasi pada awal abad ke delapan, yang dengan demikian catatannya dianggap lebih masuk akal karena hanya berjarak satu abad dari kehidupan Nabi. Fokus pada catatan Sayf ini mengatakan tentang penyelesaian perbedaan-perbedaan dari kodeks-kodeks “pendamping” awal yang sudah beredar, bukan tentang pengumpulan dan pengumuman tentang versi baru otoritatif pada masa Usman.

Shoemaker menilai bahwa hal pada masa pengumpulan al-Quran, orang-orang beriman melakukan upaya-upaya independen untuk menuangkan wahyu Muhammad dengan perbedaan yang signifikan pada kodeks pertama. Hal ini dikarenakan mereka berada di luar jangkauan Madinah dan khalifah pertama yang juga mengumpulkan Qur’an secara independen.

Menanggapi adanya hal tersebut, Usman berusaha menyalin kodeks-kodeks tertentu yang tidak ditentukan di Madinah yang bertujuan untuk menyeragamkannya. Lalu kemudian mengeluarkan intruksi bahwa versi al-Qur’an yang tidak sesuai dengan yang ia standarisasi dikumpulkan dan dimusnahkan.

Namun, Shoemaker mempertentangkan apakah upaya Usman dalam standarisasi ini berhasil? apakah kodeks buatan Usman ini diterima di tempat-tempat tersebut sebagai pengganti versi lokal mereka?

Kisah Al-Qur’an tidak Valid

Kebulatan suara mengenai kisah pengumpulan al-Qur’an seperti yang tersebar sekarang ini, bagi Shoemaker adalah sebuah penipuan dan juga kepalsuan. Hal ini dikarenakan dalam tradisi sekarang ini, kita tidak mengetahui perbedaan seperti apa yang dibuat pada masa Abu Bakar, Umar dan Usman.

Alasan ini diperberat dengan tradisi Islam yang justru menunjukkan jalinan ingatan atau hadis-hadis yang saling bertentangan dan terputus-putus tentang asal-usul al-Qur’an.

Shoemaker memiliki argumen bahwa ingatan-ingatan yang telah sampai kepada kita sampai sekarang ini yang dinilai sebagai kebulatan suara merupakan bentuk validasi umat Muslim kepada al-Qur’an sebagai catatan akurat tentang wahyu Muhammad yang dipelihara dan disahkan oleh para pengikut dekatnya dan otoritas awal dalam masyarakat.

Baca Juga  Membaca Islam dalam Kacamata Buya Husein

Hal ini penting dilakukan karena pengumpulannya harus dilakukan oleh tokoh-tokoh yang sedekat mungkin dengan kematian Muhammad. Sehingga mampu memberikan jaminan atas kesetiaan verbal dan teks tertulis terhadap apa yang diajarkan Muhammad.

Lebih jauh lagi, Shoemaker memiliki argumen bahwa kodeks-kodeks awal al-Qur’an (yang tersebar sebelum masa Usman) ini diproduksi dengan adanya perbedaan yang signifikan antara satu sama lain, dikarenakan ingatan mereka akan wahyu Muhammad berbeda-beda.

Selain itu, komunitas keagamaan Muhammad yang pada saat itu dengan cepat memperluas wilayah kekuasaannya membuat kontrol-kontrol terhadap masalah itu menjadi sangat terbatas. Terlebih pada masa itu otoritas yang ada masih lemah dan kecil untuk pemerintahan yang baru lahir di Madinah.

***

Ia juga menilai bahwa meskipun Usman telah mengumpulkan al-Qur’an dan melakukan standarisasi. Ia merasa bahwa sangat mustahil bahwa upaya tersebut dapat menghasilkan struktur konsonan teks yang tidak berubah-rubah hingga saat ini.

Shoemaker sekali lagi menunjukkan ketidakpercayaannya bahwa teks al-Qur’an yang kita temukan saat ini merupakan hasil dari standarisasi Usman. Ia mengatakan bahwa beberapa upaya Usman untuk memperkenalkan teks-teks standar itu pasti sia-sia belaka. Apalagi berhasil mencapai pembentukan versi final al-Qur’an yang tidak berubah-ubah. Sebab kondisi dimana Usman memerintah membuat kemungkinan sangat kecil bahwa ia dapat menetapkan bentuk standar teks al-Qur’an. Walaupun dengan menggunakan kekuatan penuh kekhalifahan untuk melakukannya hal ini sangat diragukan.

Hal ini dikarenakan pada masa tersebut, diperlukan waktu 20 hari untuk melakukan perjalanan ke setiap arah (Madinah ke Irak maupun Suriah). Sehingga pertukaran termasuk pesan dan tanggapan akan memakan waktu setidaknya 40 hari.

Jadi, Shoemaker berfikir bahwa pihak berwenang di Madinah akan kesulitan untuk mengawasi kontrol wacana keagamaan di tempat-tempat yang jauh ini. Inilah yang membuat ia meragukan tentang teks al-Qur’an saat ini merupakan hasil standarisasi Usman.

Editor: Soleh

Nadia Rizky Fauziah
1 posts

About author
Sarjana Ilmu al-Qur'an dan Tafsir di STAI Al-Anwar Sarang Mahasiswa Magister di Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *