Fikih

Bolehkah Mengumbar Aib Orang yang Sudah Meninggal?

2 Mins read

Bolehkah Mengumbar Aib Orang yang Meninggal?

Membicarakan kebaikan orang lain merupakan ide dan inspirasi supaya kita ingat kepada hal baik. Minimal kita dapat meyakini bahwa kebaikan itu akan berdampak positif untuk diri sendiri dan orang sekitar kita. Terlebih syukur jika kita dapat meniru dan mengamalkannya. Sebaliknya, membicarakan kejelekan justru dapat mengotori mulut kita sendiri. Bahkan kepada orang yang telah meninggal. Sebaliknya, mereka berhak didoakan, dibahagiakan keluarganya, disebut-sebut kebaikannya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]:58)

Jika ada orang yang mencibir orang mukmin baik laki-laki dan perempuan dengan ucapan maupun perbuatan, yang dicibir adalah kemuliaan, harta, atau lainnya. Padahal hal itu tidak sesuai dengan fakta yang terjadi pada orang yang dicibir, maka itu adalah kebohongan yang keji. Termasuk juga menyakiti adalah dengan memfitnah, mengambil hak, membunuh, berghibah, mencemarkan nama baik dan sebagainya. Pendapat ini dikemukakan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam tafsir Al-Munir.

***

Siti Aisyah istri Nabi Saw meriwayatkan hadis bahwa jika teman kita meninggal dunia, padahal sewaktu ia masih hidup sering berinteraksi dengan kita, bahkan saat ia meninggal kita ikut menguburkannya, maka kita dilarang keras membicarakan aibnya, karena hal itu telah terjadi dan sudah berlalu.

 عن ابن عمر رضي اللَّه عنهما: قال رسول اللَّه -صلى اللَّه عليه وسلم: اذكروا محاسن موتاكم، وكفوا عن مساويهم

Artinya: “Ceritakanlah kebaikan-kebaikan orang yang sudah meninggal dan hindari menyebut keburukan-keburukan mereka.”

Kenapa harus menyebut kebaikannya saja? Karena jika mengumbar aib orang yang sudah meninggal akan menyakiti keluarga dan kerabat dekatnya, pun cacian atau celaan tersebut tidak akan sampai kepada si mayit. Justru itu akan menjadi bumerang kepada orang yang mencela, dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya. Apapun motif mencela orang mati, entah karena sombong ataupun dendam, sebaiknya disimpan rapat-rapat makian itu dan jangan sampai diungkapkan.

Baca Juga  Obituari Ustazah Tuti: Pemimpin Teduh, Pendidik yang Melintas Batas

Dalam riwayat lain, Imam Ahmad dan Nasa’i memakai redaksi, “لا تسبوا موتانا؛ فتوذوا أحياءنا”, dan redaksi dari Siti Aisyah memakai “إذا مات صاحبكم فدعوه ولا تقعوا فيه”.

Legitimasi dan Restriksi Mencaci Orang Kafir

Suatu waktu para sahabat melihat jenazah yang diangkut, kemudian mereka menyebutkan keburukan jenazah tersebut saat masih hidup. Melihat hal itu, nabi saw tidak menanggapi. Dalam syarah sunan Abu Dawud dijelaskan oleh Ibnu Ruslan menyitir jawaban Imam Nawawi bahwa larangan menghina orang mati itu ditujukan kepada selain orang-orang munafik, kafir, sering melakukan dosa kecil dan bid’ah. Khusus orang-orang tersebut tidak haram disebut keburukan-keburukannya.

Kebolehan menyebut keburukan orang kafir yang telah mati itu dalam rangka peringatan kepada kita bahwa menyekutukan Allah adalah dosa besar. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa Allah dan Rasul-Nya mengutuk Abu Jahal dan Abu Lahab serta para pengikutnya. Secara umum memang boleh mengutuk orang kafir yang masih hidup karena kekufuranny. Namun kita tetap dilarang menyebut keburukan satu orang kafir tertentu, karena masih ada kemungkinan ia bertaubat dan masuk Islam.

Umar bin Khattab ketika khutbah di atas unta di Mina berkata, “Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal, sesungguhnya hal itu sama saja kalian mencelanya saat ia hidup.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, “Barangsiapa menghina orang mukmin yang wafat, sama halnya ia menghinanya ketika masih hidup.” Sa’id bin Zaid meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Janganlah kalian mencaci sesama Muslim, karena nanti orang kafir akan memaki.” (Ahmad bin Abdurrahman, Al-Fath Ar-Rabbani/8/50).

Menjadi seorang Muslim tidak serta merta bebas dari larangan berbuat dosa, justru Muslim yang baik sesuai hadis Nabi Saw adalah orang yang baik lisan dan perbuatannya. Kita diperingatkan agar tidak melakukan hal yang tidak berfaedah, termasuk mencela yang telah dikubur (sabbul amwat).

Baca Juga  Al-Qur’an Rusak, Baiknya Dikubur atau Dibakar?

Habib Husein Ja’far Al-Hadar, seorang habib milenial di Tiktok, pernah berkata dalam sebuah podcast di aplikasi Noice, “Cukuplah kematian itu menjadi nasihat buat kita. Sangat rugi bagi orang yang tidak mau menjadikan kematian orang lain sebagai nasihat bagi dirinya.”

Editor: Soleh

Muhammad Ilham Fikron
1 posts

About author
Guru, Penulis Lepas, Desainer Grafis Menyukai Kajian Keislaman Dalam Diskursus Ushul Fikih dan Hadis
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *