Haji Paryadi melanjutkan studi Magister Hukum di Universitas Gajah Mada (UGM), dan lulus tahun 2004. Seakan mengambil jalur berbeda, pada tahun 2017, Haji Paryadi memutuskan untuk kuliah doktoral di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di bidang Studi Islam. Ketika memutuskan S3, beberapa sahabat Haji Paryadi heran mengapa seorang pengusaha sukses masih perlu belajar hingga jenjang doktoral.
Haji Paryadi: Sufi Berbaju Korpri
Banyak orang tahu bahwa Haji Paryadi adalah seorang pebisnis sukses dan seorang pegawai negeri berintegritas. Tapi jarang yang sadar bahwa di balik kesuksesan berbisnis, Haji Paryadi adalah seorang pembelajar sepanjang hayat. Di rumahnya, ia mengoleksi kitab-kitab klasik terjemahan, mulai dari kitab tasawuf, hadits, tafsir hingga sejarah. Setiap malam, di sela-sela waktunya akan istirahat dan salat malam, Haji Paryadi menyempatkan membaca sepuluh halaman buku. Jika bukan buku fisik, ia akan membuka laman internet untuk membaca artikel-artikel keagamaan.
Kemampuan dan ketekunan membaca Haji Paryadi bisa dibilang sangat langka. Terutama mengingat aktivitas Haji Paryadi sebagai seorang pebisnis dan pegawai negeri. Hanya karena ada masalah pada penglihatannya akibat sakit yang bisa mengurangi kebiasaan membaca. Beberapa hari sebelum wafat, Haji Paryadi bahkan sempat membeli kitab terjemahan Maraqi al-Ubudiyyah karya Syekh Nawawi al-Bantani. Kitab ini tiba di rumah Haji Paryadi, tepat pada hari ia wafat.
Pada tahun 2019, purna tugas sebagai Sekretaris Kecamatan Cepogo, Haji Paryadi dapat amanah sebagai Kepala Bagian Perpustakaan Daerah Boyolali. Haji Paryadi mengaku bahwa jabatan barunya ini sangat sesuai dengan keinginannya. Sejak lama ia berharap bisa memajukan literasi di Boyolali. Menurutnya, literasi adalah cara paling baik untuk memajukan masyarakat.
Dedikasi dalam Pengembangan Perpustakaan
Suatu kali, ia mengatakan, “saya nggak berharap yang lain [naik jabatan], saya hanya ingin memajukan perpustakaan [perpusda] karena saya ingin perpustakaan jadi ikon kota Boyolali.” Sebagaimana biasanya, ketika diberikan amanah jabatan, Haji Paryadi menjalaninya dengan penuh tanggungjawab. Ia merenovasi bangunan perpustakaan, memperbarui koleksi perpustaakan dengan bacaan yang bermutu, dan membuat perpustakaan menjadi ruang inklusif bagi semua orang.
Sebelum menjadi Kabag Perpusda Boyolali, Haji Paryadi dua kali berturut-turut menjabat sebagai Sekretaris Kecamatan di Cepogo dan Ampel. Sebelumnya juga pernah beraktivitas di KPU. Tapi menurutnya, ketika ditawarkan mengelola perpustakaan, Haji Paryadi menganggap ini sebagai mimpi yang menjadi kenyataan. Sudah lama ia ingin memajukan perpustakaan kota.
Di tengah keterbatasan dan sakit di bagian mata yang dialami Haji Paryadi, ia sempat menuangkan satu artikel pendek berjudul Sufi Berbaju Korpri. Artikel itu terbit di koran SoloPos tanggal 30 Agustus 2018. Artikel itu berisi gagasan bahwa jabatan itu hanya suatu baju. Jadi jangan dipakai untuk berbuat kezaliman. Bahkan idealnya, semakin tinggi suatu jabatan, semakin merunduk orang yang memakainya. Jatidiri seorang muslim tidak boleh berubah hanya karena jabatan. Ia harus tetap mengedepankan kemuliaan diri dan mengajak orang hidup sederhana dan bijak.
Wafat dan Kenangan
Ketika Haji Paryadi wafat pada 4 Juli 2021, sekitar empat ribu orang berkumpul di Pondok Pesantren Shofa Marwa. Rombongan jamaah membludak tanpa terkendali. Andai bukan karena ada pembatasan akibat pandemi Covid-19, orang-orang yang datang sholat jenazah dan memberi penghormatan terakhir secara langsung untuk Haji Paryadi bisa berkali lipat dari jumlah itu.
Besarnya angka itu bukan sekedar suatu ukuran penerimaan sosial dan keagamaan. Tapi wujud kedekatan masyarakat terhadap Haji Paryadi secara personal. Begitu pula saat peringatan wafat 40 hari pada tanggal 11 Agustus yang diselenggarakan oleh keluarga. Testimoni partisipan-partisipan pada acara itu, yang diadakan melalui aplikasi Zoom, mengungkapkan kemendalaman sosok Haji Paryadi sebagai seorang panutan dalam bisnis dan keagamaan.
Hal itu sudah terasa ketika saya mengadakan takziyah daring dua hari setelah pemakaman, dengan bantuan Romo Sigit Pranoto dan sahabat-sahabat Haji Paryadi semasa kuliah S3. Saya sadar bahwa ia lebih dari seorang sahabat, orang tua dan guru. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan Romo Agustinus Suryonugroho pada takziyah ini. Islam yang rahmatan lil alamin itu seolah meraga dalam diri Pak Haji Paryadi.
Editor: Nabhan