Kenangan dengan Pak Karel Steenbrink
Saya sungguh terkejut mendengar kabar dari Martin van Bruinessen, Pak Karel Steenbrink wafat hari Minggu 22 Agustus 20201 lalu di usianya yang ke 80 tahun.
Masih tak terlalu tua untuk ukuran orang Belanda mengingat cara hidupnya yang sangat sehat. Saya pun baru tahu jika Pak Karel mengidap cancer karena dari perjumpaan di musim dingin tiga tahun lalu, seperti tahun-tahun sebelumnya, beliau sangat segar bugar. Ia rajin berolah raga, tidak merokok, dan sangat positif. Memang badannya sedikit lebih besar.
Buat saya, Pak Karel adalah jendela dunia. Beliaulah yang membukakan mata dunia bagi saya, seorang perempuan dari kampung berumur 20-an tahun, ketika beliau mengajar di IAIN ( UIN) Jakarta di awal tahun 80-an.
Beliau mengajarkan perbandingan agama dan teologi Kristen. Saya, dan beberapa muridnya terutama para dosen di IAIN Jakarta dan IAIN Jogya tahu jasa beliau. Sejak bertugas di Indonesia hingga beberapa tahun kemudian setelah kembali ke Utrecht, Belanda, niscaya banyak yang berhutang budi kepada Pak Karel dan Ibu Paule.
Saya adalah salah satu muridnya yang terus berteman hingga saat ini. Tak hanya dengan Pak Karel tetapi juga dengan Ibu Paule Maas, istrinya. Mereka selalu menyambut saya dengan gembira di stasiun Utrecht seperti menyambut salah satu anaknya pulang.
Bulan April tahun ini saya mengirim buku terbaru saya Merebut Tafsir (Amongkarta, 2021) melalui Mbak Nursyahbani Katjasungkana. Saya urung mengirimkannya via pos karena biayanya hampir 10x harga bukunya.
Beliau mengatakan, sejak tidak ada pos laut, biaya pos udara memang sangat mahal. Karenanya, meminta untuk menunggu orang yang datang ke Belanda. Dan seperti yang dijanjikan, ia menulis uraian panjang dalam blognya tentang buku saya.
“Lies sangat layak menerima gelar doktor honoris causa!” Demikian antara lain ia menulis. Begitu senangnya dengan tema-tema yang saya bahas dalam buku kumpulan esai ini. Pak Karel bercerita bahwa ia membacakannya kepada Ibu Paule, tentu dalam bahasa Belanda. Dan begitulah cara Pak Karel membukakan “jendela Indonesia” bagi Ibu Paule.
Menghadiri Seminar tentang Perkawinan Anak
Tiga tahun lalu, September 2018, ketika saya menghadiri seminar tentang Perkawinan Anak di Leiden, kembali saya mengunjunginya. Mereka menjemput saya di Stasiun kereta di Utrecht dan mengajak saya menginap beberapa hari di rumahnya yang baru di sebuah apartemen di tengah kota.
Menurutnya, setelah tua dan anak-anaknya berkeluarga, mereka membutuhkan tempat tinggal di tengah kota agar tak selalu harus menyetir mobil ke kota dan tak harus memakan waktu banyak untuk merawat rumahnya.
Tahun-tahun sebelumnya jika ada kesempatan ke Belanda, apalagi di tahun 1999- 2000 ketika saya kuliah di Amsterdam, saya selalu mengunjungi rumahnya yang asri bertaman luas di pinggiran kota, atau mereka berdua mengunjungi saya di Amsterdam.
Rutinitas di Utrecht
Di Utrecht, kami biasanya berjalan-jalan jauh ke pedalaman untuk makan siang di restoran tepi hutan yang menyajikan panekuk, atau ke museum. Begitu juga ketika terakhir saya ke sana.
Waktu itu, sudah memasuki musim dingin dan Ibu Paule sedang sakit kaki. Jadi kami hanya berjalan-jalan di kota, mengunjungi perkampungan Turki, melihat mesjid Turki yang baru di bangun dan tempat pemandian ala Turki yang masih ada di Utrecht.
Tak ketinggalan, kami melihat museum dan gereja tua. Ia tahu mata saya selalu berbinar ketika memasuki rumah-rumah ibadat agama apapun. Karena menurut saya, arsitekturanya selalu istimewa.
Kala itu, kami melihat museum baru yang dibangun di lokasi temuan sebuah artefak perahu kayu. Pak Karel menjelaskan bagaimana orang-orang dahulu kala masuk ke kota Utrecht dengan menaiki perahu kayu. Itulah cara beliau, sang “jendela dunia” mengenalkan pengetahuan dan pengalaman kepada saya.
Menjalani Masa Sakit
Dua bulan lalu, saya sakit dan dirawat di RS di Bogor. Setelah pulang dan menjalani perawatan di rumah, saya merasa sangat lemah. Saya pun menulis email pendek kepada beliau.
Seperti biasa, beliau segera membalas. Ia mengirimkan foto patung Maria dari kayu jati Jepara dengan lilin yang menyala kecil. Ia mengatakan, bersama Ibu Paule mereka mengirimkan doa kesembuah buat saya.
Sebagai intelektual, Pak Karel dan Ibu Paule tetap aktif ibadah secara Katolik. Ketika saya masih di Amsterdam, kalau ia menjenguk saya di hari Minggu, saya meminta izin untuk ikut serta menemani mereka kebaktian sebelum pergi ke restoran untuk makan siang atau minum kopi.
Sebagai mahasiswa perbandingan agama, saya telah melakukan hal seperti itu baik di gereja, vihara, atau kelenteng, sejak di Ciputat tahun 80-an. Pak Karel memperkenalkan cara pengamatan fenomena agama-agama secara langsung seperti itu dan ini menjadi pengalaman yang sangat penting bagi saya sebagai mahasiswa IAIN jurusan Perbandingan Agama terebih setelah menjadi peneliti dalam dunia antropologi.
Saya merasa begitu terharu mendapatkan emailnya yang mendoakan saya. Aneh sekali, selama masa penyembuhan, saya mengenang malam-malam yang hangat di rumahnya dengan lampu baca menggantung rendah di meja makannya yang berfungsi untuk meja baca dan bercengkrama di ruang keluarga.
Biasanya, kami menata meja makan bersama-sama setelah salah satu dari kami, Pak Karel, Ibu Paule, atau saya bergantian masak untuk makan malam. Satu hal yang saya kenang dari beliau adalah musik klasik.
Musik itu selalu akan kita dengar dari radio di rumahnya sejak pagi hingga petang. Ya, Pak Karel memang sangat menikmati musik klasik dan memainkannya dengan piano.
Perkenalan dengan Musik Klasik dan Buku
Dulu 40 tahun lalu, sang jendela dunia ini memperkenalkan saya kepada musik klasik. Tapi yang lebih utama adalah kepada buku dan perpustakaan serta minat saya pada dunia penelitian khususnya ilmu Tasawuf.
Saya kemudian memilih penelitian untuk skripsi saya tentang Tarikat Idrisiyah di Tasikmalaya. Berulang kali, jika Pak Karel mengenalkan saya kepada para tamunya yang baru saya kenal, beliau akan bercerita bagaimana kesungguhan saya di lapangan hingga saya kena infeksi telinga menahun karena mandi di kolam yang kotor yang biasa dipakai para santri putri.
Rumah Pak Karel selalu terbuka bagi saya sejak mereka di Cuputat. Tak jarang beliau meninggalkan kunci rumahnya di akhir pekan ketika beliau sekeluarga liburan ke villa sewaannya di Puncak.
Dengan leluasa saya menguasai perpustakaannya sampai mereka kembali di akhir Minggu. Di lain waktu, beliau mengajak saya ke Museum Gajah, atau ke perpustakaan di kota. Atau kami pergi ke toko buku, bersama dua anaknya Floris dan Stijn di Blok M, dan ke perpustakaan British Counsil di Widjoyo Center.
Perkenalan dengan Martin van Bruinessen
Menjelang masa akhir kuliah tahun 1984, Pak Karel dan Ibu Paule mengenalkan saya kepada Pak Martin van Bruinessen yang ketika itu sedang mencari asisten peneliti untuk penelitian tentang “budaya kemiskinan” di Bandung.
Pak Martin merupakan jendela dunia kedua yang membawa saya ke dunia penelitian lapangan dalam bidang antropologi hingga saat ini. Pak Karel dan Pak Martin memang tak mengenalkan saya kepada feminisme yang kemudian menjadi dunia aktivisme dan penelitian saya. Namun keduanya mengenalkan apa arti menjadi peneliti.
Pak Karel juga seperti ayah intelektual yang selalu ada bagi saya, pun di saat-saat saya sulit. Sekali waktu di semester ke 2 ketika menghadapi masa-masa yang sulit dengan situasi kuliah di Amsterdam, saya bertemu beliau di Utrecht.
Dan begitu bertemu, saya menangis. Beliau memeluk saya “Ada apa, Lies?” tanyanya. Saya tidak bercerita, tapi ia paham saya stres dengan begitu banyak tugas-tugas bacaan saya.
Lalu dia mengajak saya masuk ke ruang perpustakaannya. Saya tunjukkan tugas saya yang saya anggap sangat berat dengan kemampuan bahasa Inggris yang masih terbatas. Pak Karel pun lalu membacakan referensi yang harus saya presentasikan keesokan harinya.
Dengan sederhana, Pak Karel menjelaskan isinya sambil menuliskan resume bacaan. Dan sore itu, saya kembali ke Amsterdam dengan perasaan lega dan percaya diri dengan pengetahuan baru tentang cara membuat ringkasan sebuah referensi.
Pak Karel juga selalu hadir dalam kehidupan pribadi ketika saya sulit. Tahun 2004, saya menjalani operasi mata di Singapura. Beliau menitipkan uang kepada koleganya yang sedang bertugas di Singapura meskipun beliau tahu pembiayaan ditanggung asuransi.
Tapi bahkan sejak masa kuliah, tak jarang beliau merogoh saku untuk menambah uang kuliah atau uang makan ketika penelitian skripsi. Padahal ketika itu, beliau telah membantu saya untuk mendapatkan beasiswa penelitian dari sebuah lembaga yang didedikasikan untuk para peneliti muda.
Kepergian Sang Jendela Dunia
Kini sang “Jendela Dunia” saya telah berangkat meninggalkan kesedihan yang dalam. Saya ingin berada dekat Ibu Paule dengan dua putranya Floris dan Stijen serta dua menantunya Inge dan Irene dan para cucu yang sangat dicintainya untuk menguatkan mereka.
Saya menyalakan lilin kecil dan dupa untuk mengantarkan jiwanya ke alam keabadian. Saya sungguh menyaksikan Pak Karel adalah orang yang sangat baik di sepanjang hidupnya.
Selamat Jalan Pak Karel, semoga kasih sayang Pak Karel kepada para muridnya diterima Tuhan yang Maha Pengasih. Aamin. “Sugeng tindak Pak Karel”, RIP.
Lies Marcoes, 24 Agustus 2021
Editor: Yahya FR