Berbagi buah tangan sudah menjadi tradisi dalam kehidupan manusia. Orang yang bepergian ke sebuah tempat, biasanya diminta membawakan oleh-oleh sepulang dari tempat tersebut. Terlebih jika tempat yang didatangi adalah tempat sakral bagi kebanyakan masyarakat. Seperti ketika pelaksanaan ibadah haji atau umrah. Tentu oleh-oleh haji maupun umrah yang dibawa memiliki nilai plus tersendiri bagi penerimanya.
Lagipula, oleh-oleh yang dibawa dari tanah suci tidak dapat dinilai hanya dengan bilangan uang atau harga. Malah alasan sentimental, seperti pengalaman spiritual, justru lebih memiliki mempengaruhi kalangan umat Islam dalam menilai sebuah oleh-oleh.
Debu adalah Oleh-Oleh Haji
Di antaranya, kejadian yang dirasakan oleh Misbach Yusa Biran, sutradara film Panggilan Nabi Ibrahim. Cerita tersebut dia tulis dalam memoarnya yang berjudul Kenang-Kenangan Orang Bandel.
Sewaktu menunaikan ibadah haji, Misbach ingin membeli tasbih. Namun dia mendapati rumbai tasbih tersebut terlihat kotor. Ketika dia meminta barang yang lebih baik pada sang penjual, malah mendapatkan jawaban tegas. “Lebih baik yang kotor karena abu yang melekat di tasbih itu adalah debu Kota Mekkah”. Misbach pun termakan perkataan penjual tersebut.
Kasus Misbach, debu dan tasbih di atas menggambarkan bagaimana tanah suci bagi umat Islam turut menambahkan makna kesucian pada sebuah barang. Ada asumsi di sebagian besar masyarakat muslim, bahwa sesuatu yang berasal dari tanah suci maka melekat juga di dalamnya nilai kesucian.
Kisah di atas hanya sebagian dari sekian cerita yang beredar dari mulut ke mulut hingga populer di kalangan umat Islam. Bahkan, mendapatkan oleh-oleh dari para haji bukan saja mengantongi sebuah barang. Namun juga bisa merasakan kesucian dari tanah Mekah-Madinah. Akibatnya, buah tangan yang dibawa orang sepulang dari tanah suci selalu menjadi incaran masyarakat.
Sebelumnya, rasa tersebut mungkin hanya dirasakan oleh mereka yang berangkat ke tanah suci. Namun dengan mendapatkan oleh-oleh dari Mekah-Madinah, masyarakat yang tidak berangkat pun bisa merasakan koneksi dengan tanah pusat spiritual dan keilmuan umat Islam. Bahkan, ada sebagian orang menyimpan atau mengabadikan oleh-oleh tersebut sebagai bagian dari merawat ingatan dan koneksi pada tanah suci yang mereka impikan.
Oleh-Oleh yang Berkah
Selain narasi kesucian, keberkahan dalam oleh-oleh juga populer di kalangan muslim. Dalam sebuah wawancara dengan bbc.com, seorang jemaah asal Afrika, bernama Ahmed Abdel Rahman, bercerita tentang berkah dan oleh-oleh dari tanah suci.
“Ini adalah souvenir yang diberkati,” kata Ahmed kepada BBC sembari memegang manik yang baru saja dia beli hampir tiga kali lipat dari harga aslinya. Baginya membayar dengan harga yang lebih tinggi bukanlah sebuah masalah. Menurut Ahmed, mengeluarkan uang di tanah suci adalah tindakan yang mulia. Karena menjadi bagian dari membantu sesama muslim di sana sekaligus mendapat keberkahan dari barang yang dia beli.
Di sisi lain, oleh-oleh haji juga beririsan dengan dunia bisnis besar. Dalam laporan yang dilansir oleh antaranews.com, seorang penjual di sentra penjualan oleh-oleh haji Tanah Abang mengaku selalu meraup omzet hingga empat kali lipat jika memasuki masa puncak penjualan. Yakni bulan Ramadhan dan mendekati hari raya Iduladha.
Keuntungan jutaan hingga puluhan juta bisa diraup oleh para penjual oleh-oleh haji setiap harinya. Jelas, keuntungan menjanjikan ini bukan potensi bisnis yang bisa diabaikan begitu saja. Terlebih jika melihat pertumbuhan jemaah haji dan umrah yang semakin meningkat setiap tahunnya. Di mana Indonesia terus mendapatkan pertambahan kouta jemaah haji dan peningkatan jumlah jemaah umrah setiap tahun.
Perlu diketahui, bahwa penjual oleh-oleh di sini tidak hanya merujuk pada pedagang di tanah air saja. Tapi juga merujuk mereka yang berjualan aneka barang di tanah suci. Di sinilah letak keunikkan dari oleh-oleh haji. Entah dibeli di tanah suci atau di tanah air, nilai sakral dalam buah tangan tersebut tetap melekat dan tidak berubah.
Bahkan, mayoritas barang yang dijajakan di tanah suci tidak berasal atau dibuat di Mekah atau Madinah. Hanya dijual di tanah suci. Masyarakat dapat merasakan kesakralan, keberkahan serta koneksi di dalamnya, karena dibawa oleh para haji yang datang dari tanah suci.
Haji yang Tertunda
Dari cerita di atas kita dapat melihat tiga irisan penting dalam oleh-oleh haji. Antara sakralitas atau keberkahan, nilai ekonomi dan bayangan masyarakat akan tanah suci. Akhirnya, oleh-oleh haji memiliki makna yang dinamis sekaligus cair. Tergantung siapa yang memaknainya, entah itu para haji, pejual oleh-oleh atau masyarakat di tanah air.
Sayangnya, akibat dari putusan pemerintah Indonesia dan Arab Saudi yang membatalkan seluruh keberangkatan di tahun ini, kita semua harus mengubur sementara impian tentang oleh-oleh dari tanah suci. Karna, ketiadaan keberangkatan haji, makna oleh-oleh haji yang diceritakan di atas turut pudar seketika.
Calon jemaah haji tidak bisa merasakan atmosfir berbelanja di tanah suci. Pedagang oleh-oleh haji harus kehilangan potensi keuntungan berlimpah karena harus melewatkan “masa panen”. Bahkan, makna sakral dari barang yang dijual pun turut memudar tanpa kedatangan para jemaah haji.
Oleh-oleh yang biasa didapatkan masyarakat dari para haji yang tiba di tanah air juga turut lenyap. Padahal, sebagaimana dijelaskan di atas, souvenir dari tanah suci bagi mereka adalah obat penuntas rindu atau penyambung relasi dengan pusat spiritual dan keilmuan bagi umat Islam.
Sebagaimana di banyak kasus pada masa pandemi ini, koneksi dengan tanah suci yang terputus atau hilang tersebut, masih sedikit terobati dengan bantuan teknologi. Baik televisi atau media sosial. Seperti melihat tampilan gambar Masjidil Haram atau mendengar suara Imam Masjid. Namun, bantuan teknologi masih belum bisa menggantikan sepenuhnya hubungan rumit yang terbangun antara oleh-oleh haji, umat Islam dan Mekah-Madinah sebagai pusat spiritual dan kesucian umat Islam.
Editor: Sri/Nabhan