Kengerian Omnibus Law
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Fadli Zon mengajukan lima alasan Omnibus Law harus ditolak, dan Pemerintah mesti menarik kembali RUU Cipta Kerja. Hal itu seperti dimuat dalam akun Instagramnya @FadliZon, Kamis (27/2/2020). Menurutnya ada lima alasan Omnibus Law ditolak.
Pertama, menabrak prinsip demokrasi terkait trias politika. Di mana, kewenangan presiden diperkuat luar biasa besar. Dengan adanya pasal 170 (RUU Cilaka), presiden dalam proses penyusunan UU bersifat tunggal dan absolut.
Tidak perlu melibatkan DPR, padahal pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bahwa pembentukan UU kewenangan DPR. Kedua, tidak sinkron antara persoalan yang didiagnosis oleh Omnibus Law dengan resepnya.
Ketiga, mengabaikan perlindungan rakyat dengan mengaktifkan kembali pasal inkonstitusional: menghilangkan upah minimum, pesangon, dan mengaktifkan pasal kolonial (menjebak buruh dalam status outsourcing seumur hidup) di samping legalisasi kerja asing tak terdidik, menghilangkan jaminan sosial dan memudahkan PHK.
***
Keempat, konsen memperbaiki investasi pada kenyataan, persoalan yang hendak diperbaiki bukan penghambat investasi. “Pada 2019 lalu, World Economic Forum (WEF) merilis 16 faktor yang menjadi penghambat investasi di Indonesia.
Dari 16 faktor tersebut, korupsi adalah masalah utama yang dianggap menggangu dan merugikan investor. Sehingga korupsi, termasuk di dalamnya suap, gratifikasi, favoritisme, serta uang pelicin, adalah penghambat utama investasi di Indonesia.”
Dan yang Kelima, target yang irasional. “Pemerintah mematok target yang tak masuk akal bagi pembahasan RUU ini. Presiden, misalnya, melontarkan pernyataan agar RUU ini bisa selesai dibahas dalam 100.”
Sementara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengajukan 12 alasan RUU Cipta Kerja harus ditolak yakni: (1) legitimasi merusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang ramah lingkungan, (2) penyusunan cacat prosedural, tertutup, dan mendaur ulang pasal yang inskonstitusional, (3) satgas Omnibus Law elitis, (4) sentralisasi kewenangan pemerintah pusat, (5) celah korupsi diperlebar, pengawasan rakyat dipersempit, hak gugat rakyat di hilangkan, (6) perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat, (7) percepatan krisis lingkungan hidup, (8) perbudakan modern melalui fleksibilitas tenaga kerja melalui legalisasi pemberian upah di bawah minimum per jam dan perluasan kerja kontrak outsourcing (9) Potensi PHK massal dan memburuknya kondisi kerja, (10) pendidikan kerja murah seiring masuknya investasi, (11) memiskinkan petani, nelayan, masyarkat adat, perempuan, dan anak difabel, kriminalisasi dan kekerasan terhadap rakyat, (12) ada banyak pihak yang menolak, namun penulis mengajukan narasi Fadli Zon dan WALHI sebagai bahan, pentingnya Omnibus Law ditolak. Dan mendesak membatalkan/mencabut kembali RUU tersebut.
Indonesia Bangkrut?
Penolakan para pihak terhadap ‘Omnubus Law’ lebih khususnya Cipta Kerja secara umum dapat diperas narasinya menjadi dua bagian besar. Pertama menabrak prosedural, kedua melanggar hal yang prinsipil dari konstitusi kesejahteraan rakyat.
Di tataran menabrak prosedural, Omnibus Law telah menyulur hadirnya istilah ‘Prolegnas Prioritas’ yang tak dikenal dalam UU. Kedua, upaya ‘paksa’ dari rezim Jokowi, meminta DPR membahas dalam waktu 100 hari kerja Ombibus Law di DPR (Sesuatu yang tidak masuk akal menurut Fadli).
Buruknya ialah, berdasarkan informasi yang penulis himpun di media nasional bahwasannya: Penyusunanannya tidak partisipatif bahkan represif. “Drafnya tidak dapat diakses, artinya melanggar ketentuan UU dan kewajiban BPHN membuka kanal menghimpun masukan masyarakat.
Terjadi ketimpangan kepentingan di mana susunan keanggotaan, satuan tugas (Satgas) Omnibus dalam Kemenko perekonomian melibatkan pengusaha semata. Sedang, Badan Intelijen Negara dan Polri dimintai mendekati ormas yang menolak omnibus law.”
Sementara ditataran subtantif dan prinsipil (konstitusi dan kesejahteraan rakyat), Omnibus Law menurut hemat penulis, ialah kamuflase. Data-data yang diajukan dalam naskah akademik dan bahan pembicaraan petinggi negara (baca: pidato Jokowi) salah satunya penyegaran/simplifikasi aturan untuk memudahkan investasi kontradiktif dengan hasil riset. Bahwa kendala investasi yang buat investor asing tidak memilih berinvestasi di Indonesia dikarenakan maraknya KKN ditubuh Birokrasi Indonesia.
Omnibus Law juga memicu ‘kontrak’ yang dibuat sepihak pemerintah menghianati demokrasi (trias politika) dan melacurkan semangat reformasi, yang buahnya iyalah penegasan tentang trias politika, ontonomi daerah, HAM dan kesejahteraan rakyat. Eksekutif bisa menjadi tirani, daerah-daerah kehilangan hak mengelola dapurnya sendiri, dan kesejahteraan rakyat ditambal-tambal hingga bengkak.
Tidak bisa target kemiskinan mendekati nol, dan angkatan kerja berkualitas diprogramkan dengan intervensi UU yang inskonstitusional juga kolonial. Yang pernah sejarah lawan dengan tarian pikiran, darah, dan air mata. Omnibus Law bila disahkan merupakan tanda tirani dibukakannya jalan tol seluas-luasnya untuk pemiskinan alam dan rakyat Indonesia sebesar-besarnya. Inskonstitusional tentu saja. Ini era kolonialisme modern. Oleh Negara sendiri pada rakyat sendiri.
Hentikan Tambah ‘Hutang’ Negeri, Cabut Omnibus Law!
Omnibus Law hemat penulis ialah bentuk frustasinya pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Rezim 2020-2025 memarahi rezim Jokowi-JK 2014-2019. Presiden ‘baru’ marah pada presiden ‘lama’ karena selama lima tahun pertumbuhan ekonomi berkisar diangka 5 persen (menurun).
Tentu saja, tidak boleh marah pada SBY, pertumbuhan ekonomi meningkat setiap tahun. Sampai di angka 6 persen. Dia belajar pada kegagalan lima tahun sebelumnya, Jokowi bertekad untuk memperbaikinya Melalui Omnibus Law.
Investasi mau dibukakan jalan tol seluas-luasnya, dengan memangkas/mengejar semua penghambatnya. Lalu dihajar, bila diperlukan. Itulah sebab Omnibus Law menabrak prosedural dan menabrak hal yang prinsipil dari konstitusi.
Presiden Jokowi akan berhasil membuka investasi seluas-luasnya. Penghambat (bisa jadi DPR dan Civil Society) akan dipangkas bila menghadang. Dan tentu saja, dikejar dan dihajar tinggal menunggu maraknya unjuk rasa mahasiswa.
Namun saya pesimis, target utamanya pertumbuhan ekonomi berlibat ganda dan peningkatan PDB akan berhasil, kemiskinan mendekati nol. Seperti dalam tujuan Omnibus Law.
Tidak ada yang bisa menghalangi Omnibus Law (RUU Cilaka dan pajak) bila kita kembali ungkit penolakan RUU KPK. Dulu, penolakannya pernah massif, sponsor utamanya BEM dan DPM se-Indonesia.
Termasuk kami di NTB, tiga kali melakukan unjuk rasa besar-besaran di Udayana. Puluhan ribu mahasiswa tumpah ruah. Tidak mempan, lalu mentah. Padahal banyak mahasiswa yang meninggal. “RUU KPK disahkan menjadi UU.” Bagaimana dengan kehawatiran, kriminalisasi KPK? sudah terbukti.
Berkaca pada RUU KPK, RUU Omnibus Law akan disahkan menjadi UU. Tidak peduli ragam subtansi penolakan. Juga darah rakyat yang mengalir nantinya. Padahal RUU KPK dulu, program legislasi yang diinisiasi DPR, yang secara puitis, tidak melibatkan pidato berapi-api presiden, untuk mengejar, memangkas, dan menghajar penghambatnya. Disahkan juga. Tidak ada Perpu. Padahal rakyat teriak membutuhkan itu. Tidak ada jaminan, Rakyat yang menolak omnibus lawa ‘tidak’ diposisikan sebagai penghambat.
Diterapkan?
Pancasila kita buang saja. Konstitusi kita simpan saja di istana dan di buku-buku, di lemari yang paling bagus di setiap kos-kosan atau rumah-rumah. Tak ada pancasila, tak ada konstitusi.
“Mari mendewakan investasi, mari memuliakan neo-liberalisme.” Rakyat akan semakin melarat. Pelanggaran Ham oleh negara dibukakan jalannya. Kriminalisasi dan ancaman pidana pada rakyat oleh perangkat investasi akan mengisi nalar dan informasi publik. Negara kita akan bangkrut. Kita sama-sama menyambut dalam hati kecil, inilah tirani demokrasi.
Kita bahkan kalah dengan Orde Baru. Dulu kita pernah menjadi lumbung pangan Asean. Mengapa tak bisa membangun negara mengunakan sektor agraria? Tidak bisakah kita pangkas episode kolonialisasi dengan semua wajahnya.
Sampai berabad-abad umur bangsa dan negara ini, kita tetap jadi bangsa dan negara kuli. Negara konsumtif. Dulu dijajah kolonialis, kini dijarah oligarki modal. Tidak akan terhenti.
Bukan saja rakyat yang nantinya collapse. lingkungannya demikian. Mengapa kita tak belajar, bahwa dengan investasi tanpa Omnibus Law saja, rakyat banyak dimiskinkan, dikriminalisasi, dan terusir. Alam kita dijarah tanpa henti yang menyebabkan krisis lingkungan. Bagaimana setelah disahkan RUU Omnibus Law?
Negara kita mestinya siapkan Omnibus Law “kelestarian rakyat dan kelestarian lingkungan” berbasis Pancasila dan konstitusi kita. DEMI INDONESIA RAYA. Karena di masa depan, anak cucu kita berhak melanjutkan terminologi Soekarno, Ibu Pertiwi kita sangat kaya raya.
Tidak menyaksikan dan bercerita, Ibu Pertiwi kurus-kerinting, apalagi collapse, karena tubuhnya diperkosa oligarki dan kecongkakan kita semua. Mari kita lunasi Hutang negeri, kasihanilah Ibu Pertiwi.