Tak ada kata istirahat selama rakyat masih menderita. Itulah kalimat yang beberapa kali diucapkan oleh sahabat saya, dan–sekaligus–guru saya Pak Said Tuhuleley. Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang ‘mendedikasikan dirinya’ sebagai seorang mujtahid dan mujahid bagi siapa pun yang dipedulikan. Utamanya rakyat pinggiran, yang disebutnya sebagai “kaum mustadh’afin“.
Saya tidak bisa membalas kebaikannya, selain mendoakan kepadanya: “semoga Allah berkenan memberikan maghfirah dan rahmatNya kepada beliau”.
Mudik
Mengapa tulisan sederhana ini kami tulis menjelang tibanya ‘Idulfitri’ kali ini? Saya juga tidak tahu persis. Tetapi, tiba-tiba saya teringat pada beberapa pengalaman berjuang dengan beliau di medan dakwah. Baik di Pesantren Budi Mulia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Persyarikatan Muhammadiyah, dan di pelbagai acara yang kami rancang dan laksanakan bersama beliau. Termasuk di dalamnya ketika mengurus penerbitan Jurnal Inovasi, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Adakah fenomena yang lebih menarik untuk diperhatikan saat menjelang hari Raya ‘Idul Fithri tahun ini, yang melebihi peristiwa mudik kami ke rumah mertua di Jember, Jawa Timur? Bisa jadi ada. Namun, perhatian saya tidak pada umumnya orang yang hampir selalu tersita oleh urusan mudik fisik.
Jauh-jauh hari–memang–berbagai media telah memberitakan urusan mudik. Pemberitaan demikian tidak keliru. Jutaan penduduk kota akan selalu mementingkan mudik saat Hari Raya itu tiba. Tetapi, bagi diri saya, mudik Pak Said–sebelum Ramadan tahun ini–jauh lebih penting untuk saya jadikan sebagai ‘ibrah.
Saya katakan kepada diri saya, selama ini selalu saya katakan: “Dunia kota adalah fenomena baru bagi bangsa yang masih muda seperti kita. Sebagian besar orang kota umumnya berasal dari kota lain yang lebih kecil, atau malah dari desa sama sekali. Mereka punya kampung halaman (juga saya).
Hari Raya ‘Idulfitri adalah saat terbaik untuk menengok kampung halaman. Mengunjungi orang-orang yang akan selalu menyayangi kita. Bagaimanapun keadaan kita. Merasakan kembali suasana lingkungan yang telah mengasuh dan membesarkan kita.”
Bagi para pendatang ini, membayangkan mudik akan selalu membuat mata berseri dan wajah berbinar. Kampung halaman masih jauh. Begitu pula hari saatnya mudik. Namun, kebahagiaan mudik sudah mulai didapatkan.
Para calon pemudik sudah mulai menyiapkan diri beberapa minggu sebelumnya. Barang-barang yang perlu dibawa mudik mulai didaftar. Bila perlu malah beli barang baru khusus untuk dibawa mudik. Makin mendekati harinya, urusan mudik makin menyita energi seluruh rumah. Urusan lain mulai dinomorduakan. Bahkan, urusan pekerjaan.
Said Tuhuleley
Tepat pada hari-H, perhatian pun ditumpahkan untuk mudik. Seluruh keluarga sibuk dengan kegiatan semacam ‘hajatan tahunan’ terpenting itu. Kesulitan apa pun tak menjadi persoalan. Berjejal-jejal untuk berebut tempat di kereta api, terjebak dalam antrean macet puluhan jam, hingga badan meriang akibat terpaan angin campur debu dan asap knalpot saat mengendarai motor ratusan kilometer tak menjadi persoalan. Semua kesulitan itu dihadapi dengan kegembiraan demi satu hal: kembali ke kampung halaman.
Saya ingat saat pertama mudik. Kampung masih berpuluh kilometer jauhnya. Namun, gunung tempat saya berasal telah terlihat puncaknya. Mata dan hati saya terus tertuju ke gunung itu. “Di situ asal saya, di sisi timur kaki gunung itu,” kata saya pada diri sendiri.
Mendekati kota kecil yang membesarkan diri isteri saya, perasaan pun makin membuncah. Deretan pohon yang mengapit jalanan dan gemericik air di kali kecil di sisi jalan, yang saya merasa sangat akrab dengannya, sudah mulai menyapa saya. Maka, saya setuju pada ucapan guru saya: “Wajah orang paling bahagia adalah wajah pemudik.”
Jika mudik ke tanah kelahiran saja telah membuat begitu bahagia, apalagi yang dengan lancar mudik ke kampung asal yang paling abadi. Yakni, ke haribaan Ilahi yang memberikan ketenteraman dan kebahagiaan yang sebenar-benarnya. Itulah yang dijalani orang baik, Pak Said Tuhuleley, sebelum Hari Raya ‘Idulfitri ini.
Namanya sangat banyak dikenal publik. Utamanya publik Muhammadiyah. Apalagi, yang sungguh-sungguh perhatian pada dunia pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat pinggiran, akan mengenal perhatian dan dedikasinya yang luar biasa untuk menjadikan anak-anak bangsa ini sebagai pribadi-pribadi yang sempurna.
Pak Said Tuhuleley, ‘guru besar tanpa gelar (formal) Profesor’ pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat ini, telah berbuat sangat banyak untuk orang lain. Itulah yang menjadi bekalnya untuk mudik menemui Allah SWT. Semua yang berkesempatan menunggui perjalanan terakhirnya di dunia ini menyebut kepergian Pak Said Tuhleley benar-benar merupakan potret ‘khusnul khatimah’.
Setelah tanpa dibimbing beberapa kali mengucapkan kalimah thayyibah ‘lâ ilâha illallâh‘, ia tampak seperti tertidur. Wajahnya berseri. Bibirnya tersenyum. Beberapa teman saya tak menduga bahwa ia telah pergi, ‘mudik’ menghadai Rabbnya. Hal demikian tak akan mungkin terjadi tanpa, sekali lagi, memiliki bekal mudik yang sangat banyak. Pak Said Tuhuleley berpulang kepada-Nya di hari-hari yang hampir bersamaan dengan sosok-sosok baik lainnya.
Orang Baik Itu Telah Mudik
Bila kita, seluruh anak bangsa ini, mau becermin pada orang-orang baik yang mudik itu, sungguh bakal tenteram bangsa ini. Kita akan segera menjadi bangsa yang aman sentosa dalam naungan ridha-Nya.
Selamat jalan Pak Said Tuhuleley. Setelah kepergianmu, Selasa, 9 Juni 2015, doa-doa kami selalu menyertaimu.
Semoga Allah berkenan memberikan maghfirah (ampunan) dan rahmat-Nya pada dirimu.
Dan kami–yang masih diberi kesempatan untuk berkarya–selalu berharap, semoga kami di sini–saat ini dan mendatang–selalu bisa mengambil ‘ibrah dari perjalanan hidupmu.
Āmîn Yâ Rabbal ‘Ālamîn
Editor: Nabhan