Perspektif

Orang Indonesia Kok Dilawan!

4 Mins read

Tanggal 20 Januari 2020 menjadi petaka dunia. Saat virus Corona ini mencuat kepermukaan dan menelan banyak korban. Waktu itu, Badan  otoritas kesehatan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, mengatakan tiga orang tewas setelah menderita pneumonia yang disebabkan virus tersebut, sebagaimana dilansir dari Asian Nikkei Review.

Pemerintah Indonesia menilai virus itu lumrah dan biasa-biasa saja. Hal ini terbukti, kesigapan dan respon dalam antisipasi terhadap wabah virus Corona atau Covid-19 sangat lamban. Bahkan beredar di media daring sejumlah elite negeri merespon Covid-19 dengan nada kelakar, bahkan terkesan nyinyir. Salah satunya Menteri perhubungan Budi Karya yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia kebal dengan Corona karena makan nasi kucing (23/3/20)

Pernyataan kontroversial dari Menteri Kesehatan (Menkes) terkait Covid-19 jauh dari seorang yang memiliki otoritas keilmuan di bidang kesehatan. Sungguh memalukan di tengah kepanikan publik bahkan dunia, alih-alih Terawan Agus Putranto (Terawan) berempati kepada korban COVID-19. Justru ia memberi pernyataan kontroversial. Misalnya, Terawan mengatakan, pertama difteri saja tidak takut apalagi Corona. Kedua, Flu lebih berbahaya ketimbang Corona. Ketiga masker bagi orang sakit dan keempat mengomel kepada wartawan yang menggunakan masker.

Sebagai pejabat publik dan memiliki keahlian dalam bidang kesehatan pernyataan Terawan sungguh membingungkan khalayak. Bagaimana tidak, seorang Menkes bertitel Doktor dan ketua perhimpunan dokter spesialis Radiologi Indonesia 2014-sekarang dan World Chairman of World International Committee of Military Medicine (2014-2017), Deputy Chairman of World International Committee of Military Medicine (2017-2019), tetapi tidak memahami detail tentang penyebaran COVID-19, sehingga yang menggunakan masker saja dimarahin.

Terlepas dari pernyataan aneh kedua menteri itu, setelah wabah COVID-19 itu menyebar sangat cepat, pemerintah pusat tampaknya mulai serius. Setelah beberapa orang terinfeksi dan positif mengidap penyakit COVID-19. Dengan dibentuknya satuan tugas percepatan COVID-19 adalah bukti akan  ketanggapan pemerintah terkait virus ini. Meskipun lamban, tetapi sebagaimana falsafah orang Indonesia kebanyakan, lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali

Baca Juga  Serigala Demokrasi: Compang-Camping Hukum Kasus Novel Baswedan

Melawan COVID-19 tak hanya persoalan Negara, keterlibatan semua pihak menjadi penting untuk mengurangi penyebaran virus ini. Maka perlu diapresiasi Fatwa MUI, Surat Edaran PBNU dan PP Muhammadiyah yang mengeluarkan maklumat dalam merespon COVID-19. Surat Edaran dari Kepala daerah, diliburkannya sekolah dan ditutupnya tempat–tempat keramaian adalah dalam rangka untuk membantu kebijakan pemerintah pusat.

Tetapi tak cukup dengan regulasi itu, jika masyarakat tidak tertib untuk diam di rumah, menghindari kerumunan. Regulasi hanyalah regulasi yang menguap begitu saja. Bahkan polisi membubarkan Kafe di wilayah Wiyung Surabaya baru-baru ini (22/3/20). Itulah manusia Indonesia, ngeyel (susah diatur). Fatwa MUI, PBNU, dan PP Muhammadiyah dipandang sebelah mata. Jika ini yang terjadi maka pencegahan penyebaran COVID-19 tidak akan efektif.

Bahkan banyak beredar dari Whatsapp Group ( WAG) kematian itu sudah ketentuan Allah. COVID-19 itu adalah mahkluk Allah, kenapa harus ditakuti? Sejatinya, takut itu bukan kepada COVID-19 sebagai makhluk Allah, tetapi takutlah itu kepada Allah sebagai Sang Khalik. Pernyataan itu benar, tetapi menyesatkan.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fathurrahman Kamal yang mengatakan secara tegas dan lugas, “Jauhilah teologi dungu Neo-Jabbariyah yang menyerukan takutlah kepada Allah, bukan takut kepada Virus Corona.” Pernyataan yang sekilas benar, namun ditunjukan untuk suatu kebatilan (qawlu haqin urida bihi al-bathil). Sebab teologi ini sesat dalam meletakkan dalil dan keliru dalam memahami maknanya secara komprehensif, di samping fragmentatif dan miskin wawasan realitas serta buta maqashid syariah.

Dalam suasana seperti ini, umat hanya punya dua pegangan: Allah dan Rasul-Nya, melalui Fatwa Ulama Kredibel kemudian otoritas Negara/pemerintah melalui Gugus tugas COVID-19 para ahli kebencanaan, para dokter yang professional. Saatnya kita mengakui otoritas ilmu wahyu dan sains.

Baca Juga  Kapan Kesetaraan Pendapatan Penduduk Desa dan Kota Terwujud?

Pernyataan Fathurrahman Kamal tentu merespon beragam kegelisahan umat dalam menanggapi Fatwa MUI, Surat Edaran PP Muhammadiyah, dan PBNU di mana salah satu himbauannya adalah untuk mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur. Shalat berjamaah di Masjid diganti dengan shalat berjamaah di rumah  masing-masing. Pesan substansialnya adalah menghindari kerumunan di mana potensi menyebarnya COVID-19 itu potensial di kerumunan itu.

Sadar atau tidak, suka atau tidak, itulah mental masyarakat kita. Tentu kita masih ingat apa yang disampaikan oleh Mochtar Lubis (ML) mengenai enam sifat manusia Indonesia. ML menggambarkan secara utuh mengenai watak dan ciri khas manusia Indonesia, tentu sesuai dengan pengamatan dan analisisnya. Bisa dibantah bahkan dikecam pernyataan ML jika bertolak belakang dengan ciri manusia Indonesia, di antara sifat dan watak manusia Indonesia

Pertama, ciri orang Indonesia itu adalah munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, suka menjilat, dan bermental Asal Bapak Senang (ABS). Gejala ini tampaknya menjangkiti masyarakat Indonesia. Kedua, segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya. Sering melempar kesalahan kepada orang lain, semata-mata untuk lari dari tanggung jawab.

Ketiga adalah berjiwa feodal. Seringkali mengkritik itu dinilai tidak baik, tidak sopan, akhlak yang buruk, implikasinya adalah seolah-olah atasan atau pemimpin kebal dengan kritik, atasan selalu benar.

Keempat, orang Indonesia itu percaya takhayul. Ciri keempat ini seolah menyatu dan menjadi urat nadi bagi masyarakat Indonesia. Meskipun sudah sarjana, alumni perguruan tinggi yang kredible, tetapi berpikir mistik dan irrasional, tidak bisa lepas dari karakter manusia Indonesia. Tidak heran, jika ilmu pengetahuan selalu menjadi subordinasi dari perilaku manusia Indonesia, seperti himbauan melawan COVID-19. Alasannya kematian itu Takdir Tuhan. Jika waktunya mati ya mati (Jawa: lek wes wayae mati ya mati).

Baca Juga  Dua Cara Mensyukuri Hari Kemerdekaan Indonesia

Kelima manusia Indonesia adalah artistik, berpikir dengan naluri, perasaan, tidak heran banyak cipta dan karya kesenian di Indonesia berserak di berbagai suku. Aneka kesenian dengan ciri khas suku Indonesia menjadi bukti akan sikap dan ciri manusia Indonesia yang artistik.

Keenam,  manusia Indonesia itu memiliki watak yang lemah. Karakternya kurang kuat, mudah menyerah dan tidak yakin dalam mempertahankan keyakinannya. Dan pada gilirannya, banyak yang melacurkan diri untuk meraih sesuatu yang diimpikan  dan mengabaikan prinsip dasar sebagai manusia yang hanif

Tentu simbol atau pelabelan karakter manusia Indonesia yang diurai oleh ML bisa saja benar atau sebaliknya. Tetapi fakta empiris menggambarkan apa yang disampaikan oleh ML mendekati kebenaran.

Di abad informasi ini, sulit membuktikan yang ahli dengan yang bukan. Masyarakat seringkali termakan isu hoax, mudah percaya berita tanpa melakukan check and recheck. Yang awam tiba-tiba tampil menjadi ulama, dan ulama tersingkir karena tergusur oleh ulama media sosial. Maka jangan heran, manakala ada seruan dari ulama, dalam hal ini MUI, PP Muhammadiyah, dan PBNU untuk menghindari kerumunan malah dianggap angin lalu.

Itulah faktanya, orang Indonesia kok dilawan!

Editor: Arif

Avatar
5 posts

About author
Koordinator Kota (Koorkot) Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kota Surabaya.Wakil Direktur Kedai Jambu Institute Jombang dan Wakil Ketua Hukum dan Ham PWPM Jawa Timur
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds