Salah satu sesi presentasi pada acara “Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah” di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) hari Sabtu, (08/02/2020), disampaikan oleh Hamim Ilyas, selaku Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Ia menyampaikan seminar bertema “Manhaj Islam Berkemajuan Perspektif Tafsir”.
Mula-mula, Hamim menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan Ideologi Muhammadiyah. Menurutnya, ideologi merupakan doktrin-doktrin keagamaan resmi yang dianut oleh Muhammadiyah dalam pengertian menerima, mendorong, dan mengarahkan kepada kemajuan pada zaman modern.
Doktrin agama Islam kita yang diejawantahkan Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM), menurut Hamin, sebenarnya sudah modern.
“Kalau dilihat dari segi ilmu kalam, Mukaddimah itu menjadi tujuh ajaran dasar Muhammadiyah. Sebagai pilihan alternatif dari lima ajaran dasar Muktazilah dan juga alternatif dari tujuh ajaran dasar Ibnu Taimiyyah dalam al’-aqidah al-wasithiyyah” ujarnya.
Poin pertama dalam MADM selanjutnya diulas oleh Hamim, yaitu Allah itu al-Haqq (kebenaran). Menurutnya, Haqq itu memiliki makna filosofis yang artinya fungsional. Ia menganjurkan para hadirin untuk membaca surat Al-Ashr untuk mendalami makna al-Haqq.
“Kebenaran itu bersama iman dan amal saleh dan membebaskan umat manusia dari khusrin” ungkap Hamim.
Setelah itu ia juga menjabarkan poin kedua dari MADM yaitu manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial. Ia mengatakan bahwa konsep teologi lama jarang sekali mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
“Manusia itu tidak bisa hidup sendirian, harus hidup dilingkungan dan negara. Oleh karena itu, Muhammadiyah menerima Indonesia sebagai darul ‘ahdi wa syahadah karena Muhammadiyah menyadari hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang tak bisa hidup tanpa negara. Manusia yang hidup tanpa negara, maka hidupnya kacau balau, misal: Rohingya. Negara yang diperjuangkan Muhammadiyah adalah negara yang didirikan untuk menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbon ghafuur” kata Hamim.
Menurutnya, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur itu tidak sekadar negara makmur. Mengutip tafsir Ibnu Katsir, Hamim mengatakan bahwa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur diartikan dengan negara yang laisa fiiha dzubabah wa la ba’uudhoh (negara yang di dalamnya tak ada lalat ataupun nyamuk) seperti negeri Saba’.
Menurut Hamim, Muhammadiyah memahami Islam sebagai agama fungsional. Agama yang dipahami dipahami untuk mewujudkan kebaikan hidup semua hamba Tuhan sehingga agama tidak menjadi tujuan agama itu sendiri.
“Agama itu untuk manusia, bukan agama untuk agama, apalagi agama untuk Tuhan” ulasnya.
Hamim juga menyinggung tentang Kepribadian Muhammadiyah (KP). Di dalam KP disebutkan bahwa Muhammadiyah berjuang dan beramal untuk mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian. Kata Hamim, sebenarnya identitas Muhammadiyah dengan yang lain itu sama, Muhammadiyah juga gerakan dakwah amar makruf nahi munkar.
“Salafi sama tapi kok beda dari Muhammadiyah? Bedanya karena Muhammadiyah punya syakhshiyyah (kepribadian Muhammadiyah) sehingga sepuluh KP itu menjadi syakhshiyyatul ummah. Di sana, disebut warga Muhammadiyah harus menguasai iptek, dan untuk itu, sekarang Muhammadiyah memiliki tantangan yang besar. Sekarang kita berada pada masyarakat digital, sehingga kemungkinan nanti istri bisa saja bukan hanya real wife tapi juga digital wife” ujar Hamim diiringi gelak tawa hadirin.
Bagi Hamim, Muhammadiyah itu sudah sesuai dengan spirit Islam Rahmatan lil Alamin.
“Dalam Al-Qur’an surat al-Anbiya’ 107, dijelaskan bahwa Islam Rahmatan lil Alamin itu Islam yang diwahyukan kepada nabi dan didakwahkan kepada nabi untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Rahmat itu diartikan sebagai cinta yang ekspresinya memenuhi kebutuhan. Tidak hanya asal cinta saja. Dan kebutuhan untuk makhluk hidup adalah mempunyai hidup yang baik. An-Nakhl ayat 97 sudah bercerita tentang hidup baik (hayah thoyyibah). Hayah thoyyibah hanya bisa diwujudkan dengan amal saleh dan menjadi mukmin” kata Hamim lugas.
Hamim lalu menjelaskan parameter seseorang yang hidupnya baik;
- Lahum Ajruhum ‘inda Rabbihim; sejahtera sesejahtera sejahteranya. Tidak cukup sejahtera saja. Maka sejahtera itu harus terus menerus ditingkatkan dan dalam jangka waktu lama.
- La Khoufun ‘alaihim; huruf “La” di situ ialah la linafsil jinsi yang artinya “tidak ada ketakutan apapun” baik secara ekonomi, politik, keamanan, dan lain-lain. Kalau Mahasiswa Muhammadiyah masih MADESU (masa depan suram) berarti belum Islam Rahmatan lil ‘Alamin
- Wa Laa Hum Yahzanuun: tidak ada kesedihan di semua tingkatannya; galau, cemas, depresi, dan lain-lain. Kalai masih galau berarti belum Islam Rahmatan lil ‘Alamin
Islam Rahmatan lil ‘Alamin dalam Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan
Menurut Hamim, untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera tadi, maka kebudayaannya adalah kebudayaan yang kompatibel dengan kehidupan thoyyibah tadi itu. Kebudayaan dalam artian hidup yang dijalani dengan belajar. Untuk menjadi sejahtera, damai, dan bahagia, maka harus belajar. Alqur’an menyebutkan kerangka kebudayaan, yaitu dalam surat al-Jatsiyah ayat 18 “tsumma jaalnaaka ala syari’atin minal amri……..”
“Kalau dipahami secara munasabahnya, syari’atin minal amri di sini disebutkan dalam surat al-Jatsiyah ayat 16. Syariah itu meliputi; (1) Syariah kitab suci yaitu tauhid, ibadah, dan fi’lal khoirot, (2) syariah hukum, yaitu kekuasaaan yang menyelenggarakan kehidupan. Maka muslim harus menyelenggarakan kehidupan dengan baik supaya hayah thoyyibah bisa terwujud, (3) Syariah nubuwwah, yaitu para nabi dahulu itu tidak sekadar mendakwahkan agama, tapi juga membangun peradaban. Contoh nabi Adam yang mampu mentransformasikan masyarakat timur tengah dari berburu menjadi bertani” ulas Hamim.
“Nabi Muhammad itu juga membangun peradaban peradaban iqra’ yang yang jadi cikal bakal peradaban ilmu sekarang” Hamim menambahi.
Hamim mengatakan bahwa Ilmu pengetahuan yang digunakan untuk memahami sesuatu itu disebut dengan “fikih”.
“Dalam surat al-Baro’ah ayat 122, ayatnya berbunyi “…liyatafaqqahuu fi’addin..”. Tafaqquh fi ad-din yang di dalamnya itu harus memahami khithab” tutur Hamim.
Hamim lalu menjelaskan makna din (agama). Din definisinya dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 3, “al-yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ini’mati wa radhitu lakumul islama diina”. Sehingga, agama Islam yang kita peluk itu, menurut Hamim, cakupannya ada 2. Pertama “din” yaitu agama yang kita peluk itu, dan kedua, “ni’mah” yaitu kenikmatan yang lengkap di segala bagian-bagian hidupnya.
“Nikmah itu adalah al-haalah al-hasanah yaitu keadaan baik di semua kehidupan. Maka Islam itu cakupannya; agama dan keadaan baik di semua lini kehidupan. Ekonomi baik, politik baik, sosial baik, dan lain-lain. Supaya semua hal menjadi baik, maka harus diselenggarakan dengan peradaban. Sehingga definisi Islam; al-Islam din wa ni’mah ay al-haalah al-hasanah ay al-madaniyyah. Kalau Al-Ikhwan al-Muslimun kan mengartikan al-Islam diin wa daulah sehingga Ikhwanul Muslimin itu punya syahwat politik yang amat sangat kuat. Kalau belum ngurus politik itu bukan Islam yang bener” tukas Hamim.