Oleh: Andika Setiawan*
Perahu yang berlayar di tengah samudera tentulah mengalami kesulitan-kesulitan yang dijalani. Semakin ke tengah semakin besar pula ombak yang harus dilalui. Terjangan-terjangan ombak mungkin telah membuat sebagian bagian kapal rusak.
Sesekali badai besar pun menghantam kapal dengan begitu kencangnya. Tetapi semua yang terjadi pada kapal tersebut tidaklah berarti jika dikemudikan oleh nahkoda dan kru kapal yang kompak dan solid.
Seperti gambaran di atas, semakin tua umur suatu organisasi semakin pula menemui berbagai permasalahan yang bisa dikatakan sangat kompleks dan terkesan sulit untuk dipecahkan. Untuk itu dibutuhkan kekompakan di berbagai lapisan persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri.
Tantangan Berat Muhammadiyah
Di usianya ke-107, Muhammadiyah memiliki tantangan yang cukup berat. Terlebih di era perkembangan teknologi yang berkembang begitu pesatnya seperti sekarang ditambah lagi dengan era post-truth yang dikatakan memiliki anak kandung yang bernama hoaks (Haryatmoko, 2019).
Ciri khas Muhammadiyah dalam berdakwah yang tak dimiliki organisasi lain ialah pembangun infrastruktur, mulai pembangunan PKU, universitas, sekolah, dan sebagainya. Berapa banyak yang telah dibangun oleh Muhammadiyah untuk membantu umat?
Tidak ada maksud apapun, pembangunan ini sebenarnya wujud kecintaan Muhammadiyah kepada tanah air, tanpa teriak-teriak “NKRI harga mati”, cukup diam dan diam, cukup dibuktikan dengan tingkah laku dan manifestasi dari kecintaan terhadap NKRI itu sendiri.
Sempat tergelitik dengan pernyataan kawan dalam diskusi Kelas Ideologi yang dimotori IMM Sleman Yogyakarta. Dalam narasinya ia mengatakan bahwa pernah mengutarakan pendapatnya kepada bapak-bapak pergerak dalam suatu forum, tetapi pendapatnya pun tak diterima oleh bapak-bapak pergerakan.
Kira-kira pendapat apa yang ditolak oleh bapak-bapak pergerakan tersebut? Lebih lanjut kawan ini mengutarakan pendapat tentang pembangunan yang tak hanya berfokus pada infrastruktur. Tetapi juga pembangunan berbasis teknologi khususnya media online dan semua yang berbau digitalisasi. Mereka tetap bersikukuh dengan perluasan pembangunan gedung.
Muhammadiyah Masih Kalah Saing
Sependek pengetahuan saya, memang jika dilihat, Muhammadiyah dalam dunia digital khususnya media online yang di dalamnya mencakup sosial media, masih kalah saing dengan yang lain. Maka dari itu, arti pembangunan seharusnya tidak dipersempit hanya berfokus pada infrastruktur berupa gedung-gedung pencakar langit atau sebagainya seperti yang sudah-sudah. Tetapi lebih dari itu, yaitu dunia digitalisasi termasuk media online.
Betapa tidak miris melihat kader-kader persyarikatan mulai nampak terdampak pengaruh Salafi dan Wahabi. Media online seperti instagram dan youtube banyak dipenuhi ceramah-ceramah ustaz Salafi dan Wahabi. Sebenarnya tak mempermasalahkan hal tersebut, tetapi lebih kepada penyayangan atas fenomena tersebut. Karena ustaz-ustaz dalam tubuh persyarikatan jarang ada yang dikenal bahkan oleh kader sendiri. Sebenarnya ada apa di balik ini?
Produk-produk hukum Muhammadiyah pun juga jarang ada yang mengetahui. Jika melihat realitas yang begitu serta membaca fenomena yang sekarang terjadi, produk-produk hukum yang telah dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah khususnya Pusat Tarjih Muhammadiyah, seharusnya dikemas dengan konteks kekinian.
Semisal HPT Muhammadiyah yang sebelumnya dikemas dengan bentuk buku. Bisalah untuk sekarang digencarkan untuk pembuatan film pendek, komik digital, atau apapun yang sejenis dengan itu yang berkenaan dengan HPT Muhammadiyah.
Orang Muhammadiyah Terlalu Moralis
Kita lihat akun resmi ketua umum PP Muhammadiyah masih kalah saing dengan akun ustaz-ustaz Salafi, Wahabi, dan juga NU. Di akun-akun resmi Muhammadiyah seperti Lensamu dan Persyarikatan Muhammadiyah banyak yang mengikuti.
Tetapi saat ada pertanyaan di kolom komentar tentang fikih kemuhammadiyahan, katakanlah begitu, tak ada yang berusaha menjawabnya. Entah itu warga, kader, ataupun admin—meskipun ada tapi jarang. Muncul lagi permasalahan, tidak ada jawaban atas pertanyaan yang diajukan, karena belum tahu jawabannya atau bagaimana, saya pun juga kurang tahu.
Pastinya kita ingat beberapa hari lalu yang santer diberitakan, Ayahanda Din Syamsudin—Ketum PP Muhammadiyah 2005 s.d. 2015—dituduh sebagai seorang teroris. Ini adalah kebohongan yang besar, bagaimana berita hoaks seperti ini bisa dengan leluasa beredar di tengah-tengah masyarakat umum. Padahal kita ketahui pula Ayahanda Din Syamsudin didaulat untuk kedua kalinya menjadi President of Asian Conference on Religions and Peace (ACRP) yang berpusat di Tokyo Jepang. Jadi, kebohongan macam apalagi ini.
Lalu di mana keberadaan Muhammadiyah dalam menyikapi berita hoaks yang masif di era post-truth seperti sekarang? Apakah hanya dengan diam dan cukup dengan senyum melihat berita tersebut. Sampai sekarang orang Muhammadiyah terlalu moralis. Dan dalam konteks media online khususnya di sosial media, saat Muhammadiyah dibentur-dibenturkan dengan kelompok Salafi, Wahabi, dan Tarbiyah, ia juga masih diam.
Jawab Dulu, Minta Maaf Kemudian
Saya kira orang Muhammadiyah perlu untuk sekali-kali melawan. Melalui kader, warga, atau sebagainya untuk meng-counter komentar-komentar atau pernyataan-pernyataan yang kurang mengenakkan berlalu-lalang di media online. Sangat diperlukan dakwah dengan cara memerangi hoaks yang marak terjadi belakangan ini, yaitu dengan pembangunan berbasis digital.
Menarik jika mendengarkan penyampaian narasi oleh salah satu dosen UMY dalam suatu forum. Pembawaannya yang energik dan sedikit banyol membuat audiens antusias mendengarkannya. Dalam penyampaiannnya tersebut, beliau menginginkan kader-kader muda Muhammadiyah untuk selalu melawan bentuk pernyataan-pernyataan yang kurang mengenakkan kepada Muhammadiyah.
Jika ada yang pertanyaan di kolom akun-akun media online Muhammadiyah sebisanya untuk segera dijawab. Entah itu jawaban salah atau benar yang penting dijawab dulu. Kalaupun di kemudian hari jawaban tersebut salah, kader tinggal meminta maaf.
Saya melihat hal tersebut sebagai pemantik untuk kader supaya Muhammadiyah sekali-kali harus melawan, jika tak demikian, Muhammadiyah masih terlalu moralis. Mungkin kata-kata “Sedikit bicara, banyak bekerja” bisa dirubah “Banyak bicara, banyak bekerja” jika mengutip pernyataan beliau.
Bagaimana hoaks dilawan dengan banyak bicara. Bagaimana pernyataan-pernyataan kurang mengenakkan kepada Muhammadiyah dilawan dengan banyak bicara. Bagaimana ustaz-uztaz Salafi dan Wahabi dilawan dengan banyak bicara dan banyak bekerja menemukan inovasi dalam bermedia. Bagaimana ketertinggalan dalam dunia digitalisasi dilawan dengan banyak bekerja untuk menghasilkan terobosan terbaru.
Bangun infrastruktur, bangun kemajuan dunia digitalisasi untuk Muhammadiyah. Kader melawan segala bentuk penistaan dan pembenturan antara Muhammadiyah dengan kelompok lain.
Lawan dan bergerak, sesekali kita harus melawan, tetapi persyaratannya harus kompak. Pertanyaan yang terakhir, apakah semua orang Muhammadiyah mau untuk itu?
Wallahu a’lam bisshawab.
*) Sekretaris Bidang Keilmuan PK IMM Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta