Tagar #indonesiaterserah merupakan ungkapan yang baru-baru ini viral dikonsumsi publik. Menurut beberapa sumber terkait, ungkapan ini adalah bentuk kekesalan para tenaga medis atas perilaku masyarakat yang kian hari semakin tidak teratur. Sebenarnya, polemik ini memiliki esensi subordinatif berkaitan dengan isu-isu sebelumnya. Masyarakat pasti tidak serta merta melepas kepanikan yang beberapa saat lalu masih kentara.
Sebelum mengkaji lebih dalam, puisi ciamik dari seorang penyair kritis nan menawan ini cocok untuk menjadi deskripsi pengantar, KH. A. Mustofa Bisri – Negeri Haha Hihi. “Bukan karena banyaknya grup lawak, maka negriku selalu kocak”. Ungkapan sederhana yang sarat akan makna. Tidak bisa dipungkiri, kebijakan kontroversial, pelanggaran peraturan, miskomunikasi pemerintah dan masyarakat adalah lelucon konvensional yang sudah biasa terjadi.
“Banyak yang terus pamer kebodohan dengan keangkuhan yang menggelikan, Banyak yang terus pamer keberanian dengan kebodohan yang mengharukan”. Mempelajari perilaku pemerintah saat ini, penggalan puisi di atas begitu representatif. Pernyataan kontroversial menteri kesehatan, Dr. dr. Terawan Agus Putranto yang dengan angkuhnya mendeklarasikan nol kasus di Indonesia di awal pandemi menjadi pembuka pagelaran lawak berjudul Covid-19. Selanjutnya, sikap santai pemerintah menghadapi musuh tak kasat mata ini menjadi humor segar tentang penguasa yang terlalu bangga dan ‘sok’ berdigdaya. Sungguh, ini adalah contoh kebodohan yang dipamerkan dengan berani.
Aneh tapi nyata di Negeri Haha Hihi para manusia berteriak paling lantang tentang kemanusiaan namun terbelakang menghidupkan kemanusiaan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di negeri ini hingga makar terjadi di mana-mana. Untuk analisa lebih lanjut berikut ini penjabaranya.
Tagar #Indonesiaterserah ini viral di media sosial dan media cetak setelah ramainya pemberitaan potret kepadatan masyarakat saat penutupan McD, Sarinah dan kerumunan masyarakat di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta. Upaya kampanye tenaga medis dan pemerintah dengan tagar #dirumahsaja seketika langsung luntur. Asumsi saya, masyarakat Indonesia tidak lebih takut terhadap Corona setelah beberapa bulan di rumah saja dilanda kebosanan dengan kebijakan pemerintah yang plin-plan.
Mengenai isu hangat #indonesia terserah, seorang sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, dalam sebuah wawancara digital menjabarkan beberapa aspek yang patut disalahkan. Komponen yang beliau sebutkan dinilai terlalu sembrono dalam mengambil keputusan di masa sulit pandemi seperti sekarang. Secara teoretis, kajian sosiologi dapat mengantarkan manusia menjadi lebih cermat dalam bersosial.
Menurut beliau, resistensi masyarakat terhadap regulasi pemerintah secara universal disebabkan oleh 3 faktor. Ketiganya adalah pemerintah, bisnis transportasi, dan masyarakat itu sendiri. Miskomunikasi dan error settlement dari ketiga komponen tersebut menciptakan fenomena disinkronisasi harmoni yang berakibat fatal. Pemerintah sebagai premis mayor dalam sebuah tatanan negara menjadi yang paling disalahkan dalam isu kali ini. Tidak bisa dipungkiri, pemerintah adalah subjek paling fundamentalis sebagai stake holder yang bertanggung jawab atas segala problem rakyat.
Sebagai bahan refleksi, pemerintah memang tidak sedang baik-baik saja. Seperti kapal yang terombang-ambing diterpa badai di tengah samudera, kabinet Presiden Jokowi seakan kehilangan haluan terpapar badai covid-19. Sebanyak 37 blunder pemerintah yang telah dihimpun oleh LP3ES ditambah dilema ambiguitas koordinasi antara pemerintah pusat dan kementerian perhubungan sudah cukup untuk menggambarkan keadaan pemerintahan saat ini. Untuk melaksanakan protokol kesehatan negara saja, negeri ini hampir chaos dengan segala keadaannya. Uniknya, pemerintah malah seakan tidak fokus dengan upaya penanganan covid-19 dan membahas isu sekunder seperti pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan penaikan iuran BPJS.
Beberapa opini di berbagai media juga tak hentinya memberikan kritik keras terhadap kinerja pemerintah akhir ini. Minimnya konsistensi di kubu pemerintah disinyalir menjadi alasan utama masyarakat melanggar peraturan. Peluncuran PSBB yang telah dimulai sejak 9 April 2020 di Jakarta dan dilanjutkan dengan daerah-daerah zona merah, akhir ini sayangnya terkesan sia-sia. Pasalnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi malah membuka akses jalur transportasi pada 6 Mei 2020. Sejauh ini, pemerintah terlihat begitu absurd dan masyarakat jelas geram dengan inkonsistensi pemerintah.
Komponen yang bersalah kedua adalah bisnis transportasi. Dalam penuturanya, Imam Prasodjo menyebutkan bahwa sektor ini adalah yang paling tidak merugi. Pandemi mengharuskan siapa saja untuk merugi. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Phisycal distancing menghambat mobilitas manusia sehingga interaksi mereka terbatas. Secara otomatis semua aktivitas mereka di luar rumah termasuk pekerjaan menjadi terkendala. Sayangnya, bisnis transportasi seperti trucking dan ojek online tidak mengindahkan anjuran ini dengan tetap beroperasi sebagaimana biasanya.
Komponen terakhir adalah masyarakat. Beberapa waktu lalu memang sontak suara perlawanan masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah untuk tinggal di rumah dikarenakan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Mereka bahkan bersitegang dengan aparat keamanan yang berupaya untuk menertibkan mereka. Secara gamblang, masyarakat mempersoalkan kebijakan pemerintah yang membuat batasan namun tidak disertai dengan bantuan logistik dan materi untuk memberdayakan ekonomi publik.
Asumsi tersebut di atas memang dapat dibenarkan. Bersinergi dengan data empiris, suara tersebut berasal dari golongan masyarakat menengah ke bawah. Kebutuhan ekonomi adalah masalah terberat mereka. Akan tetapi, kejadian di McD, Sarinah dan di Terminal 2 Soetta tidak bisa mengambil justifikasi pemenuhan kebutuhan ekonomi. Analisis konsep 2 kerumunan yang viral tersebut lebih terhadap bersenang-senang dan plesir.
Ditilik dari segi kultur pun, masyarakat Indonesia juga sudah terkenal dengan budaya melanggar peraturannya. Bagi mereka, juga termasuk penulis, peraturan memang dibuat untuk dilanggar. Secara konsep memang tidak ada slogan seperti ini dalam legitimasi hukum, namun budaya ini seakan mendarah daging dan turun temurun. Seperti sebuah tradisi pada umumnya, fenomena ini memang sudah bisa diidentikkan dengan bangsa Indonesia meskipun tidak secara universal.
Hingga dewasa ini, kita tidak bisa berharap banyak untuk kebaikan hari esok jika ketiga komponen tersebut tidak segera berbenah. Fenomena di atas secara praksis menggambarkan absurditas negeri ini. Pemerintah yang ngawur, masyarakat yang tidak mau diatur, sampai nakes bergerak mundur. Pandemi Corona hanya memaparkan kejadian frontal yang sebenarnya sudah sering terjadi. Jika terus seperti ini, bukan tidak mungkin negeri ini hancur berkeping-keping pada masanya nanti.
Hemat penulis, di Negeri Haha Hihi segala sesuatu dapat terjadi. Negeri ini unik dengan setiap perbedaannya. Tak perlu datang ke acara lawak, mengamati oligarki pemerintah mengatasi Corona saja sudah mengundang gelak tawa. Sungguh spesial Negeri Haha Hihi ini.