Perspektif

Tips Sukses IELTS/TOEFL: Tidak Ada Jalan Memutar

3 Mins read

Tips Sukses IELTS dan TOEFL

Kemarin, ada seorang teman curhat kepada saya terkait dengan skor tes TOEFL. Menurutnya, ia sudah berusaha sangat keras berlatih, tapi hasilnya tetap tidak memuaskan sehingga tidak bisa mendaftarkan diri kepada program beasiswa yang diinginkan. Sementara itu, ia merasa memiliki cukup kemampuan untuk menulis artikel jurnal, baik berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Dengan persoalan ini, ia ingin menyerah saja. Perjuangan untuk skor TOEFL maupun IELTS memang berliku.

Tidak Ada Jalan Memutar untuk IELTS dan TOEFL

Apa yang ia ceritakan itu sebenarnya cerminan untuk saya, yang pernah mengalami persoalan yang serupa. Setidaknya, saya membutuhkan waktu 10 tahun agar bisa lanjut untuk S3. Dalam mempersiapkan kelayakan persyaratan, saya membutuhkan 5 tahun secara serius belajar IELTS. Tidak hanya uang yang harus saya korbankan, melainkan juga sejumlah waktu yang berharga, khususnya untuk keluarga saya di tengah kehidupan Jakarta yang terbiasa dengan kemacetan.

Cerita teman saya itu sebenarnya mewakili kekhawatiran orang-orang Indonesia yang potensial dalam dunia akademik, tapi kemudian tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi melalui beasiswa karena persoalan standar kemampuan bahasa Inggris ini. Kalau persoalan karya, banyak dari mereka dari segi tulisan memiliki kemampuan yang jauh di atas rata-rata kebanyakan orang, begitu juga dengan produktivitas tulisan yang dihasilkan. Namun, pengalaman gagal berkali-kali dalam tes kemampuan bahasa Inggris ini kerap kali membuat menyerah.

Memang, ada orang-orang yang mencoba mencari jalan memutar, dengan harapan standar kemampuan ini tidak dipertanyakan saat mereka ingin mendaftarkan diri ke sebuah perguruan tinggi lewat jalur beasiswa. Ada yang berhasil, tapi lebih banyak dari mereka yang gagal. Khusus untuk perguruan tinggi luar negeri, hasil tes ini merupakan prasyarat utama untuk diterima, tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Baca Juga  Amerika dan Iran: Dulu Kawan, Sekarang Lawan

Saya sebenarnya adalah salah satu orang yang ingin mencari jalan memutar tersebut; menulis artikel jurnal sebanyak-banyaknya dan kemudian menghadiri konferensi internasional sesering mungkin. Dengan begitu, saya berharap hasil tes kemampuan bahasa Inggris tersebut bisa diabaikan saat masuk perguruan tinggi. Ternyata tidak, itu tetap menjadi bagian yang sangat penting bagi sebuah institusi perguruan tinggi. Dengan kata lain, sepintar apapun kemampuan bidang akademik yang kita miliki, kalau hasil tes ini belum memenuhi syarat yang diinginkan, maka sulit sekali diterima. Tapi, kalau dengan bantuan Opa Luhut, kamu mungkin bisa diterima.

Menjadi Orang Underprivileged

Memang, standar kemampuan ini sangat bias kelas. Bagi yang terbiasa memiliki keistimewaan fasilitas sejak kecil (privilege), tes kemampuan tersebut merupakan perkara yang sepele. Ini karena, mereka terbiasa segala hal yang berkaitan dengan bahasa Inggris dan tentu saja ikut kursus bahasa Inggris juga sejak kecil. Saat ada kesempatan tes IELTS/TOEFL itu seperti mengeluarkan saja kemampuan sehari-hari yang memang sudah terbiasa dilakukan. Hasilnya, pertama kali tes, skor IELTS-nya minimal bisa mendapatkan 6.5.

Sementara itu, bagi yang sejak kecil, salah satunya saya, terbiasa dengan bahasa Arab dan jarang sekali terpapar dengan bahasa Inggris, hal itu menjadi perkara hidup dan mati untuk diperjuangkan apabila ingin mencapai batas minimal yang disyaratkan oleh perguruan tinggi luar negeri.

Mengeluh persoalan kelas, bagi saya itu tidak menjawab persoalan diri kita sendiri. Jika dibiarkan ini menjadi semacam akumulasi kemarahan terus-menerus yang diceritakan sambil meyakinkan dirinya adalah pintar di bidang akademik. Sementara itu, skema beasiswa yang ada, tidak pernah peduli kita orang yang bersungguh-sungguh atau tidak, kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Yang penting secara persyaratan bisa terpenuhi, orang bisa kemungkinan diterima.

Baca Juga  Ekologi Transendent: Eksposisi Islam Berbasis Ekologis

Menjebol Tembok Kemustahilan

Bagi saya, yang bisa kita lakukan adalah menjebol tembok tersebut, tanpa melihat lebih jauh seberapa keras tantangan yang akan dihadapi. Bagi saya, hanya itu jalan satu-satunya tidak ada yang lain. Bagi kamu yang memiliki keluarga dan menghadapi hal yang serupa, peluk erat istri, suami, anak, ibu, bapak, dan sanak famili terdekat untuk menguatkan diri terus menerus bahwasanya ini jalan yang harus ditempuh. Tidak ada pragmatisme dalam jalan ini sekaligus tidak ada lobi politik yang bisa dilakukan melalui jalan belakang.

Jika kita berhasil mendapatkannya, uang dan waktu yang dihabiskan selama bertahun-tahun, bisa segera dibayar tuntas dengan uang beasiswa tiga bulan yang kita dapatkan. Tentu saja, saya ngomong gini dengan kalkukasi pribadi yang memiliki pengeluaran konsumsi berbeda dengan orang lain. Bahkan, ketika kita sudah melampaui persoalan tersebut, hanya tertawaan yang bisa kita lakukan sambil menyimpulkan; “Mengapa tidak dari dahulu saya melakukan begini ya?”. Padahal saat kita ngomong seperti, akumulasi pengetahuan kita bertambah dan kita tidak sadar sedang dalam tahap tersebut.

Bagi kamu yang tidak memiliki privilege apapun dalam hidup, bertarung lebih keras dan keras merupakan satu tindakan fardu ai’n. Mengutuk persoalan bias kelas memang bisa membangunkan kesadaran kritis publik, tapi itu tidak mengubah apapun kondisi yang kamu alami, selain memendam amarah terus-menerus.

Jalan yang kamu pilih nanti itu memang akan berdarah-darah dan terjal sekali. Justru dengan cara itulah kamu bisa menghadapkan diri setara dengan mereka yang memiliki privilege. Kemampuan menulis dan karya yang sudah dimiliki, apabila kamu mendapatkan beasiswa, hal itu akan mengakumulasi kemampuan kamu dalam level yang tidak pernah kamu duga sebelumnya.

Baca Juga  Mengembalikan Fungsi Masjid sebagai Tempat Kajian Keislaman

Kesempatan untuk Orang yang Siap

Memang, melanjutkan pendidikan tinggi untuk S2 dan S3, baik dalam dan luar negeri, tidak berjalan lurus dengan pekerjaan yang akan kamu dapatkan ketika lulus. Setidaknya, pengalaman menempuh pendidikan tersebut menguatkan diri kamu sekaligus mempersiapkan akan segala kemungkinan dan kesempatan dalam hal apapun. Sebab, menurut pendapat seorang kawan, “Kesempatan itu hanya datang pada orang-orang yang siap”.

Di sini, ungkapan itu merupakan bantahan dari “kesempatan itu tidak datang dua kali”. Bagi orang-orang yang siap, mereka akan mendapatkan sejumlah kesempatan dengan modal dasar yang dimiliki, minimal pendidikan tinggi yang sudah didapatkan.

Editor: Nabhan

Avatar
83 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *