Ahmad Syafii Maarif, begitu nama penuh dari sosok guru, aktivis, sejarawan, dan negarawan yang oleh banyak orang dikenal dengan sapaan Buya Syafii. Dalam kultur Sumatera Barat (Minang), gelar “buya” tidak sembarang disematkan pada sembarang orang. Hanya ketika orang itu memiliki pengetahuan dan ilmu agama yang mumpuni. Bukan kelas medioker (baca: menengah; rata-rata). Di tanah Minang, gelar ini adalah sebutan untuk seorang Kiai.
Tidak berlebihan jika bayak generasi menyebut beliau sebagai guru bangsa, tak sekedar guru. Darinya banyak pelajaran yang dapat dipelajari. Bukan Hanya kedalaman pemikiran beliau tentang tema spesifik, namun juga keluasan sikap kemanusiaan yang general, nyaris paripurna.
Ada banyak check-list untuk menyusun argumentasi bahwa Buya Syafii adalah guru yang otentik. Untuk kepentingan artikel ini pun terbatas pembacaan dan permenungan pribadi, saya menukil dua alasan untuk menjelaskan bahwa Buya Syafii adalah guru yang sesungguhnya:
***
Pertama, etos belajar yang tinggi. Tahun 1930an, sebagai anak lahir di kampung dengan kondisi bangsa terjajah oleh kolonial. Buya Syafii memiliki semangat besar untuk bersekolah. Semula, sang guru belajar di madrasah Mu’allimin, selanjutnya kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang UNY) sekaligus di Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, dan berhasil mendapat gelar sarjana pertama. Menyelesaikan sarjana keduanya di Ohio University, Amerika dan menamatkan gelar Ph.D di Chicago University.
Ada kisah yang menarik. Willian H. Frederick, dosen pembimbing S2 Buya Syafii di Ohio dalam satu kesempatan pernah menulis kisahnya sewaktu mendampingi buya selama di Fakultas Sejarah. Frederick menutur, buya memiliki kegigihan dalam belajar. Di awal kedatangannya di kampus Athens itu, buya diminta untuk mengikuti tes kemampuan bahasa Inggris sebagai mahasiswa baru. Walaupun skor pada dokumen sertifikat semacam TOEFL-nya sudah memenuhi syarat masuk sebagai mahasiswa asing di kampus Amerika. namun pada tes di kampus itu, Buya Syafii gagal. Ia tidak diperbolehkan untuk mengikuti kelas reguler dan harus mengambil kelas khusus untuk belajar bahasa Inggris secara intensif terlebih dahulu.
Frederick sebagai pendamping akademiknya tentu saja gusar. Dalam tulisannya, dosen itu berseloroh, hanya dua kemungkinan bagi mahasiswa baru dalam keadaan itu, yakni; “berteriak dalam kemarahan” kata Fredrerick, atau mencari jalan untuk pindah kampus dan sebagian menyerah dan terpaksa memilih pulang kampung. Tapi hal itu tidak untuk Buya Syafii, ia tetap tenang. Ia paling tahu dengan kemampuan dirinya, ia memiliki keberanian.
Konon, setelah mengetahui hasil tes itu, Buya Syafii meminta untuk diadakan tes ulang. Ia meyakini tes itu tidak mengukur kemampuannya secara akurat. Sungguh permintaan tak lazim dilakukan di kampus ini, kata Frederick. Namun siapa sangka atas argumen yang kuat dan izin kepala program bahasa Inggris, ia mendapat kesempatan untuk tes kedua. Dan di kesempatan ini, buya berhasil mendapat skor tinggi. Akhirnya, boleh mengikuti kelas reguler. Ia lulus.
***
Semasa studi S2-nya, Frederick sempat tidak percaya diri untuk mengajari Buya Syafii tentang tema yang diminati. Ia merasa minder. Sebab menurutnya, sesungguhnya mantan ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000-2005) itu yang paling banyak tahu tentang kedalaman kajian bidang studi yang ditempuh. Buya Syafii menulis tesis tentang sejarah politik Islam, khususnya Muhammadiyah. Juga yang lucu, ternyata Buya Syafii berumur lima tahun lebih tua dari dosennya itu serta memiliki pengalaman mengajar sejarah Indonesia lebih lama. Maka, Frederick berseloroh, “Orang waras di manapun akan menganggap mestinya Syafii Maarif yang mengajari saya, buka sebaliknya”.
Hebatnya, bahkan sebelum Buya Syafii merampungkan thsis S2-nya di Ohio, guru kelahiran Sampar Kudus itu sudah diterima di program doktoral (Ph.D) Univeritas Chicago, Amerika. Ia menamatkan S3-nya pada tahun 1983. Sungguh satu capaian prestasi yang luar bisa. Ia tulus dan telaten. Tanpa etos belajar yang tinggi itu, semua mustahil digapai. Guru adalah ia yang mau mengajar sekaligus belajar. Seperti kata K.H Ahmad Dahlan, “Jadilah guru sekaligus jadilah murid”. Barangkali ini padanan kutipan yang layak.
Pada satu kesempatan diskusi seri pemikiran oleh Maarif Intitute, Zuly Qodir yang menjadi salah satu pemantik berkisah bahwa Buya Syafii selalu berpesan untuk selalu membaca dan menulis. Katanya, menurut Buya Syafii, dua aktivitas itu menjaga kita agar tidak pikun di hari tua. Benar saja, hingga usia kepala depan puluh, Buya Syafii masih tetap waras dan tajam.
Tradisi ini bahkan, telah Buya Syafii bangun sejak usia 18 belas tahun, semenjak di Mua’llimin. Hingga hari ini, pustaka bacaan dan tulisannya bak samudera. Sangat luas. Hal ini sudah sepatutnya dijadikan pelajaran bagi generasi muda untuk membangun peradaban ke depan. Di tengah realitas keumuman yang tidak akrab dengan tradisi keilmuan yang kuat, bahkan cenderung destruktif (bikin onar), juga bermalas-malasan.
***
Kedua, tidak hanya mengajar, tugas guru adalah mendidik. Tentu saja Buya Syafii melakukan itu. Ia mengajari banyak hal untuk bangsa dan generasi ini. pada lingkup sektoral, ia adalah guru di Madrasah menengah dan dosen di banyak perguruan tinggi. Namun lebih luas, beliau adalah guru di panggung nasional dan global. Pikiran-pikirannya tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, benar menjadi suluh peradaban.
Dalam banyak kali, beliau sering disebut sebagai satu-satunya guru bangsa yang tersisa setelah kepulangan Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid ke hadirat pencipta.
Mendidik moral dan membangun keadaban bangsa sudah sejak lama dilakukan Buya Syafii. Yang membuat orang kagum ialah, beliau tidak berhenti dalam pikiran dan lisan, namun juga dipraktikkan dan kehidupannya sehari-hari. Ini yang sangat sulit diikuti orang banyak. Kepribadiannya sangat sederhana. Tidak mau menyusahkan orang lain oleh karena ego keilmuan dan senioritas seperti yang dilakukan oleh banyak orang pintar, tua tapi picik, dan tidak bermoral di bangsa ini. Hatta itu politisi, ekonom, agamawan, aparat, dan lainnya, jika salah, kepada mereka beliau berkomentar dengan lugas, bertanggungjawab, dan beradab. Tidak menyayat hati.
Tanpa tedeng aling-aling, Buya Syafii selalu berani meluruskan hal-hal yang berlawanan dengan moral agama, bangsa, dan kemanusiaan universal. Ketulusan didikannya sama sekali tidak digadaikan karena kepentingan harta maupun jabatan. Inginnya hanya supaya bangsa ini menjadi bangsa yang beradab dan berkeadilan. Superioritas siapa pun akan dilawan untuk menjamin sila Pancasila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Walau usianya sudah tidak muda, selagi bisa, ia tidak mau merepotkan orang lain. Ia masih sering bepergian menggunakan sepeda pancal, belanja di pasar, memesan tiket pesawatnya sendiri, bepergian pakai transportasi umum, bahkan mencuci bajunya dengan tangan sendiri. Sungguh ini soal karakter yang mahal harganya.
***
Sebagai penutup, tanpa ragu saya juga anda para pembaca, pantas mengatakan Buya Syafii telah dan akan terus mendidik bangsa ini. Beliau adalah guru yang otentik. Sosok yang layak digugu dan ditiru. Selamat milad Buya. Delapan puluh lima tahun yang penuh hikmah dan keteladanan.
Sungguh usia yang sarat kualitas. Kami, cucu-cucumu (milenial) bersukur memiliki pendahulu yang selalu bisa dibanggakan, dijadikan suluh peradaban. Kami berkomitmen akan menjadi penyambung pencerahan itu. Sebab kegelapan hati, pikiran, dan laku umat manusia harus selalu diterangi, begitu pesan Buya, begitu yang diinginkan Al-Qur’an. Milenial, marilah mencontoh Buya Syafii Maarif!