Inspiring

86 Tahun Ahmad Syafii Maarif: Oase di Tengah Kegersangan Moral

4 Mins read

Spirit Intelektualisme Ahmad Syafii Maarif

31 Mei kemarin Ahmad Syafii Maarif atau akrab dikenal dengan sebutan Buya Syafii genap berusia 86 tahun. Banyak orang mengenalnya sebagai guru bangsa, cendekiawan muslim, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1998-2005. Namun dalam kebesaran namanya, sejatinya Buya adalah orang yang sederhana, zuhud dan punya pikiran yang berkemajuan.

Ahmad Syafii Maarif lahir di Sumpur Kudus, Minangkabau, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935. Ahmad Syafii Maarif merupakan anak bungsu dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Fathiyah. Dari sekian banyaknya para pemikir muslim di Indonesia, Buya adalah salah satu magnet intelektual bagi sebagian para pelajar, mahasiswa dan bahkan dosen sekalipun di Indonesia.

Banyak karya tulisnya baik dalam bentuk buku maupun di media cetak menginspirasi banyak kalangan. Dengan diksi yang khas dan cerdas dalam menyentil dan menyikapi problematika di dalam nasional maupun internasional.

Terbukti sebagai magnet intelektual, Buya Syafii adalah salah satu yang melatarbelakangi gelombang intelektual baru terutama dalam tubuh Muhammadiyah dengan berdirinya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) pada tahun 2000-an. Dalam catatan Ahmad Najib Burhani, kelahiran JIMM tidak bisa tidak bersinggungan langsung dengan pendirian Maarif Institute for Culture and Humanity.

Tentu penulis bukanlah orang yang lahir dalam kultur akademik ketika JIMM berdiri. Paling tidak melalui generasi pertama JIMM penulis merasakan sentuhan pemikiran-pemikiran Muhammadiyah yang terbuka. Terutama saat masih kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang, beberapa kegiatan yang dinisiasi oleh JIMM yang penulis ikuti (di bawah inisiator Dr. Pradana Boy), membuka cakrawala pemikiran dan merubah orientasi keagamaan yang lebih kritis, terbuka, toleran, aplikatif dan universal.

Baca Juga  Mengenang Abdullah Idrus, Sastrawan Kemanusiaan Generasi 45

Apa artinya? tentu hal ini membuktikan sejatinya spirit intelektualisme Buya Syafii Maarif masih mengalir deras dari generasi ke generasi. Siapapun yang pernah membaca tulisan-tulisan Buya, pasti menemukan kekhasan dengan sentilan cerdas dan berani yang tak pernah lepas dari permasalahan yang dekat dengan kita sehari-hari tanpa kita sadari.

Mencari Negarawan

Di tengah-tengah praktik kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang semakin jauh dari nilai-nilai keadaban, rasanya sosok Buya perlu ditampilkan sebagai contoh mata air keteladanan bangsa kita hari ini. Buya selalu punya pandangan yang berani mengatakan benar jika benar dan berani mengatakan salah jika salah.

Misalnya pada tahun 2017 ketika pilgub Jakarta memanas, pernyataan Buya yang kontroversial (sejatinya disalahpahami) merespon kasus penistaan agama, yang seolah-olah membela kubu tertentu, sehingga dianggap berbeda dengan pandangan ulama lainnya.

Pasca kejadian tersebut, Buya dengan tetap tenang merespon dinamika yang terjadi ketika itu, walaupun dirinya diumpat dengan kata-kata yang tak senonoh oleh orang-orang yang membencinya. Namun, disitulah independensi dan integritasnya sebagai intelektual, agamawan dan negarwan terlihat.

Bagi kita yang mengenal Buya Syafii (paling tidak lewat karya-karyanya) akan tahu betapa pandangannya selalu sarat akan nilai-nilai kemanusiaan, jadi rasanya tak mungkin pandangan Buya yang berbeda ini tak mempunyai argumentasi yang kuat, apalagi jika menyangkut soal keummatan, kebangsaan dan kemanusiaan.

Sering sekali dalam sebuah wawancara, seminar atau diskusi-diskusi ilmiah, Buya mengingatkan untuk selalu belajar dari sejarah. Sejarah bangsa Indonesia yang penuh dengan lika-liku, intrik politik dan nafsu kekuasaan yang menafikan kemanusiaan hanya akan membuat manusia menjadi hina.

***

Misalnya Buya mengambil contoh; Soekarno seorang proklamator yang tak diragukan lagi membawa bangsa Indonesia kepada kemerdekaanya harus dilengserkan oleh rakyatnya sendiri. Begitupun dengan Soeharto presiden kedua kita yang disebut berjasa dalam pembangunan Indonesia modern dan tercatat sebagai bapak pembangunan Indonesia, setelah 32 tahun berkuasa harus dilengserkan juga oleh rakyatnya sendiri. Syahrir dan Bung Hatta harus menjadi tumbal akibat nafsu kekuasaan oleh presiden pertama kita (Maarif: 2019).

Baca Juga  Achmad Soebardjo, Menteri Luar Negeri Pertama Indonesia

Dalam konteks Indonesia, para politisi yang hari ini menjadi elit bangsa kita, mesti betul-betul belajar dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Namun, geliat untuk merubah bangsa dari lingkaran keterpurukan hari ini rasanya masih jauh dari harapan rakyat Indonesia.

Kasus-kasus yang belakangan ini terjadi, misalnya tiga mantan menteri Jokowi yang tersandung kasus korupsi (apalagi kasusnya di masa pandemi) menandakan masih gersanganya moralitas bangsa kita atau meminjam istilah Buya, ‘bangsa budak berjiwa kerdil.’ Sebuah istilah yang ditujukan kepada sekelompok orang yang masih mencari celah dalam kesempitan, tergoda oleh rayuan uang dan kedudukan yang melumpuhkan hati nurani dan akal sehat sebagai manusia.

Dalam hal ini, kata Buya dalam sebuah tulisannya menyarankan agar sosok Bung Hatta ditampilkan kembali sebagai cerminan negarawan yang punya pemikiran maju dan kosmopolit ketika berhubungan dengan keidonesiaan dan kebangsaan.

Indonesia hari ini, kata Buya Syafii, lebih banyak melahirkan para politisi yang banyak bermain lidah, ketimbang melahirkan negarawan yang memilki integritas dan komitmen kebangsaan.

Namun, di tengah-tengah ketidakpastian tersebut, Buya tetap optimis akan ada sosok negarawan yang memberikan harapan baru yang lahir dari rahim bangsa Indonesia sendiri (Maarif: 2019).  

Ahmad Syafii Maarif: Filosofi Gincu dan Garam

Filosofi gincu dan garam adalah sebuah perumpamaan yang kerap Buya Syafii kutip dari sosok Bung Hatta. Kata Hatta “pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa, janganlah memakai filsafat gincu, tampak tapi tak terasa.”

Dalam pemahaman Buya, filosofi garam dan gincu ini jika dikontekskan dengan kondisi keagamaan dan kebangsaan kita, adalah ketika agama menjadi basisi nilai-nilai akhlakul karimah mampu menggarami lini kehidupan bangsa Indonesia dengan tegaknya keadilan dan bukan dalam format retorika politis yang tak bertanggung jawab.

Baca Juga  Alam Rantau Ahmad Syafii Maarif

Dua analogi di atas (garam dan gincu), sejatinya ingin mengajak kepada kita semua untuk beragama secara substantif yang lebih mengedepankan isi ketimbang bungkus. Beragama yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan tanpa memandang suku, ras dan agama.

Bagi Buya keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Ketiga unsur ini harus berjalan senafas dan sesuai dengan kondisi dan situasi di mana Islam dibumikan sehingga melahirkan solusi bukan masalah baru.

Untuk itu, sangat penting menghadirkan sosok Buya Syafii di tengah-tengah kegersangan moralitas bangsa Indonesia sebagai mata air keteladanan yang bisa dicontoh kesederhanaan dan lakunya dalam bertindak dan berpikir maju. Di usia yang ke 86 tahun ini, generasi muda harus mencoba merefleksikan kembali, siapakah yang akan meneruskan jejak keteladanan guru bangsa satu ini? Wallahualambisshawab.

Editor: Yahya FR

Baiturrahman
5 posts

About author
Alumni Universitas Muhammadiyah Malang, Pemerhati Isu-isu Keagamaan
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *