Review

Otoritarianisme Agama dan Negara: Gugatan Abdul Karem Soroush

4 Mins read

Oleh: Wahyu Fahrul Rizki*

Ketertarikan terhadap pemikiran Abdul Karim Soroush muncul ketika saya mengambil mata kuliah “Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman” yang diampu oleh Guru Besar UIN Sunan Kalijaga. Amin Abdullah mewajibkan kami untuk dapat mempresentasikan berbagai pemikir Islam-liberal secara lugas dan fasih.

Tidak sedikit mahasiswa (postdoc) yang “tergopoh-gopoh” membedah pemikiran para tokoh tersebut dan relevansinya dalam konteks Indonesiaan saat ini. seperti Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Abid al-Jabiri dan beberapa tokoh liberal lainnya.

Ada dua hal yang mendasari saya mengupas pemikiran Syi’ah ini. Pertama; pemikiran Soroush tampaknya semangkin lama kian surut dalam kajian keislaman. Jarang sekali terdengar namanya dalam arena diskusi-diskusi mahasiswa (Islam) yang saya ikuti. Terutama UIN Yogyakarta tempat bersemainya pemikiran-pemikiran Islam kritis.

Mungkin karena ia berasal dari Iran, negerinya kaum muslimin yang beraliran Syiah. sesuatu yang juga mungkin mesih tabu untuk diperbincangkan di Perguruan Tinggi Islam lainnya.

Bahkan sebagian penganut Syiah pun, kerap kali menolak kesyiahan Soroush yang dianggap liberal dan kritis terhadap Syiah. sehingga tidak jarang orang menganggapnya sebagai “Martin Luther” nya Islam.

Padahal jika ditelaah secara seksama, kita baru akan menyadari bahwa Soroush pada dasarnya menaruh harapan besar terhadap “hukum Islam sebagai basis legislasi negara modern”.

Meskipun kerap kali mengkritik Sunni, namun di sisi lain, ia mengapresiasi pemikiran yang berkembang dalam tubuh Sunni. Bahkan diakuinya sendiri bahwa ia banyak menerima asupan al-Ghazali yang menjadi ikon aliran Sunni.

Kedua; latarbelakang pemikiran Soroush merujuk pada sejumlah peristiwa (keagamaan) yang terjadi pasca-revolusi Iran tahun 1979 sekaligus menggambarkan wajah agama kita di Indonesia pasca-reformasi hingga sekarang.

 

Menggugat Kebakaan Otoritas Agama

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi haluan pemikiran Soroush. Pertama, pada awal-awal revolusi Iran, otoritas tertinggi Iran (wilayah al-faqih) kerapkali memunculkan isu-isu teoretis daripada praktis. Seperti pertumbuhan ekonomi global dan kepekaan terhadap modernitas.

Baca Juga  Suluk Gatoloco: Ilmu Sejati Atau Onani?

Sebagaimana ditunjukkan dalam kajian seorang sarjana ilmuan politik, Leonard Binder dalam judul bukunya Islamic liberalism (1988). Mencatat bahwa sejak Iran berevolusioner, dahulu dan sekarang, justru tidak ada bedanya. Yaitu sama-sama otoriter birokratik.

Bedanya, rezim terdahulu didominasi oleh aliansi militer dan elit pemerintah. Sedangkan sekarang, didominasi oleh pemimpin tertinggi Iran yang juga mempunyai kekuasaan mutlak atas pemerintahan. Yaitu wilayah al-faqih (kepemimpinan kaum ulama).

 

Situasi Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia sekarang?  Sepertinya tidak jauh berbeda.

Masyarakat Indonesia sekarang lebih disibukkan dengal hal-hal yang “remeh-temeh” dan bersifat teologis. Seperti mengampanyekan negara khilafah atau NKRI bersyariah.

Bahkan tidak jarang mengkait-kaitkan bencana alam dengan syariat. Padahal persoalan mendasar bangsa ini jauh lebih penting untuk diperhatikan. Yaitu, pembangunan Sumber Daya Manusia dan pembangunan ekonomi yang sudah ketinggalan jauh dari negara-negara tetangga.

Kedua; adanya otoritarianisme penafsiran keagamaan di wilayah al-faqih yang terus-menerus dipertahankan. Sistem pemerintahan dan beberapa jabatan tertinggi lainnya kerap diambil alih oleh kaum ulama. Sehingga tidak jarang doktrin politik mereka dibungkus atas nama Agama.

Meski Indonesia berasaskan Pancasila yang tentunya berbeda dengan Iran (Republik Islam), namun keragaman agama, ras, etnis mulai digerogoti dengan isu-isu Agama yang mendominasi di Indonesia. Bahkan “embel-embel” syariat kerap dikampanyekan untuk melancarkan misi politis mereka.

Hingga saat ini pun, pengaruh otoritas agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia mesih sangat kuat. Hal itu mungkin disebabkan karena sebagian masyarakat menganggap dan meyakini mereka sebagai wakil Nabi.

Sehingga mengikuti dan mengamalkan dakwah-dakwahnya dapat membawa umat manusia kepada keselamatan hidup dan kebenaran absolutisme.

Kesalehan publik yang terus-menerus dibangun dan dikampanyekan melalui teks-teks suci secara serampangan, misoginis, menyinggung simbol-simbol agama lain kerap dilakukan. Tanpa kajian mendalam tentang bagaimana itu digunakan secara kontekstual di masyarakat.

Baca Juga  Konteks Sosial Budaya dalam Sejarah Al-Quran

Menggugat Agama yang Otoriter

Peran otoritas agama yang begitu sentral di masyarakat, tidak jarang mengambil peran Tuhan untuk menjustifikasi atau menghakimi benar-salahnya sikap seseorang.

Sehingga muncul “masyarakat pembeda” atau lebih lebi tepat “masyarakat kelas dua”. Seperti golongan syar’i dan yang tidak syar’i, lebel haram dan yang tidak, antara wisata halal dan yang tidak dan Bank syariah dan yang tidak syariah.

Tidak sampai disitu, buku-buku kiri dan kajian ilmiah yang bernuansa progresif sekalipun mendapat hujatan serius melaui fatwa-fatwa yang otoritatif. Seperti halnya persoalan disertasi yang sempat viral beberapa minggu yang lalu.

Keotoriteran agama membuat wajah Islam kita kini kian gemuk dan membengkak. Tidak sedikit klaim yang dibungkus atas nama Agama dan beratnya beban yang harus dipikul. Sehingga agama kita sekarang terlihat beringas dan sangar. Keramahan, keterbukaan, demokrasi agama, pikiran, kesopanan, kecintaan dan saling menghargai sesama manusia sulit terlihat.

Hal-hal seperti inilah yang kemudian digugat Soroush dan mengancam eksistensi negara yang demokratis.

Oleh karena itu, dibutuhkan prinsi-prinsip agama (epistemologi) untuk memahami dan menyegarkan kembali wajah agama melalui fatwa-fatwa yang inovatif dan progresif. Membersihkan patologi-patologi agama serta menjadikannya lebih kurus dan ringan dengan cara menepis, mengupas dan menghapus kulit-kulit luar yang tidak dibutuhkan sembari memelihara ruh Agama.

Untuk mewujudkan itu, kita membutuhkan epistemologi Agama yang mungkin tidak disentuh dalam literatur-literatur terdahulu. Maka dalam hal ini, Soroush,  yang lahir di Teheran, Iran pada tahun 1945,  menawarkan pembacaan arah baru melalui karya-karya monumentalnya.

 Arah Baru Ilmu Agama

Salah satu karya monumental Soroush yang kini sudah diterjemahkan dalam tiga bahasa yaitu; Reason, Freedom & Democracy In Islam terbit pada tahun 2000 di Oxford University, al-Qabd wa al-Bast fi al-Syari’ah terbit tahun 2002 di Beirut dan pada tahun yang bersamaan juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama oleh Mizan. Dari ketiga terjemahan itu, judul terakhirlah yang saya gunakan dalam mengupas pemikiran Soroush.

Baca Juga  Pengembangan Ekonomi Syariah

Melalui karya monumentalnya itu, Soroush menilai, salah satu prinsi-prinsip dasar agama (epistemologi) yang hilang dari kita adalah tidak bisa membedakan antara religion dan religious knowledge.

Kekhawatiran Soroush, jika itu tidak dapat dibedakan, maka akan membawa implikasi serius di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Yaitu terjadinya tumpang tindih terhadap keduanya.

Sesuatu yang sebenarnya merupakan “pengetahuan keagamaan” disebut-sebut sebagai “agama” dan sebaliknya. Sesuatu yang sebenarnya agama disebut pengetahuan keagamaan. Akibatnya, pengetahuan keagamaan seperti fikih, fatwa, dan tafsir yang sebanarnya kreasi manusia disakralkan dan yang sebenarnya sakral selalu diprofankan.

Lihat saja!

Bagaimana otoritas agama kita sekarang mengkampanyekan ayat-ayat suci di tengah-tengah masyarakat yang dianggap sebagai wakil Tuhan.

Apakah mengandung unsur “agama” yang di profankan atau hanya “Pengetahuan keagamaan” yang disakralkan!

Tentunya kita bisa menilai, meskipun agama (teks suci Alquran) itu sakral, namun pemahaman tentangnya adalah bersifat manusiawi (profan) dan selalui mengalami perubahan sesuai konteks-histori.

Jika ini dapat dibedakan (antara agama dan pemahaman keagamaan), maka wajah agama akan terlihat harmonis dan berdampingan, saling memperkuat Agama satu dengan yang lainnya.

*Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga;  Kajian Ilmu Hukum dan Pranata Sosial Islam

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds