Oleh : Muhammad Rofiq*
Libur musim panas tahun lalu, saya berkesempatan mengikuti Summer School (Sekolah Musim Panas) yang diadakan oleh the International Institute of Islamic Thought (IIIT) di negara bagian Virginia, Amerika Serikat. Kegiatan ini sangat berkesan bagi saya, karena saya mendapatkan kesempatan untuk belajar secara intensif dari tokoh-tokoh terkemuka Islamic Studies di Amerika.
Di antara dua orang yang memberikan materi dalam kegiatan ini adalah Jasser Auda dan Jonathan Brown. Tokoh pertama sudah sangat populer di Indonesia melalui karya-karyanya di bidang usul fikih, tasawuf, fikih perbandingan, dan pemikiran Islam secara umum. Saat menyampaikan kuliah di IIIT musim panas tahun lalu, Jaser sedang mempersiapkan buku baru yang berjudul al-Manhajiyyah al-Maqasidiyyah. Dalam buku ini, Jasser mengembangkan tawaran metodologi untuk pembaruan pemikiran Islam, khususnya bagaimana konsep maqasid dapat digunakan untuk menafsirkan Alquran dan memahami hadits, serta bagaimana maqasid dapat berintegrasi dengan ilmu-ilmu syari, social-humanities, termasuk dengan natural sciences.
Tokoh kedua tampaknya relatif belum dikenal. Jonathan adalah professor Ilmu Hadits di George Washington University. Beberapa orang menyebut bahwa Jonathan adalah ahli hadits nomor satu untuk konteks Amerika saat ini. Dia memperoleh gelar PhD dari Universitas Chicago dengan disertasi tentang Kanonisasi Shahih Bukhari. Jonathan juga seorang penulis yang prolifik. Dia banyak menulis buku, baik yang bersifat akademik maupun populer, dan artikel-artikel di jurnal terkait hadits dan sejarah Islam. Karyanya yang paling banyak dikenal di bidang hadits adalah Misquoting Muhammad (terbit tahun 2014) dan Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (terbit tahun 2009).
Artikel ini ditulis untuk menggambarkan dialog intelektual antara dua orang professor tersebut. Dialog keduanya terkait topik hadits berlangsung melalui berbagai medium. Pertama, keduanya saling menanggapi di sesi masing-masing saat mengajar kami peserta kuliah musim panas di IIIT. Kedua, dialog di antara keduanya tidak berhenti pada sesi perkuliahan di IIIT. Kira-kira dua minggu setelah sekolah musim panas berakhir, dua orang tokoh ini melanjutkan perdebatan di media sosial. Selama berapa hari, mereka sahut-sahutan argumen di facebook terkait topik hadits.
Tulisan ini disusun berdasarkan beberapa sumber, yaitu: catatan saya pribadi saat mengikuti perkuliahan, dialog keduanya di facebook, kuliah Jonathan di YouTube, buku Jonathan berjudul Misquoting Muhammad, buku Jasser berjudul Reclaiming the Mosque dan tulisan Jasser di website pribadinya.
Selama sesi perkuliahan IIIT, ada banyak topik di mana dua orang professor ini berbeda pandangan mengenai hadits. Jasser, misalnya, pada saat mengajar menjelaskan tentang apa yang ia sebut “revelation-centrism (markaziyyah al-wahy)”, yaitu pendekatan pemahaman hadits yang berporos pada Alquran. Alquran, menurut Jasser, harus menjadi tolak ukur untuk menguji kesahihan hadits dan validitas pemahaman terhadapnya. Ia menyebut pendekatan ini sebagai haymanatu al-quran ala riwayat al-sunnah (hegemony the Quran over the narrations).
Pada sesi kuliah Jonathan, ia mengajukan pandangan yang berbeda mengenai posisi dan relasi hadits terhadap Alquran. Menurutnya, memang benar bahwa secara ontologis Alquran lebih autoritatif terhadap hadits. Tetapi secara hermenutik, hadits-lah yang lebih superior. Sebab, dalam memahami Alquran, Muslim akan selalu berpijak pada hadits. Tidak mungkin Muslim bisa memahami Alquran tanpa bantuan dari hadits.
Jonathan mengkritik pendekatan kritik matan hadits berbasis Alquran yang diajukan Jasser. Pada kenyataannya, kata Jonathan, sering kali orang yang mengklaim satu hadits telah berkontradiksi dengan Alquran, tidak menyadari bias subjektifitasnya, baik dalam memahami hadits maupun ayat Alquran itu sendiri. Daripada cepat-cepat mengklaim kontradiksi, Jonathan beragumen, sarjana seperti Jasser semestinya mengunakan pendekatan kompromi terlebih dahulu, lebih-lebih jika hadits yang ditolak adalah hadits yang sahih secara sanad menurut kriteria para ulama hadits terkemuka.
Isu lain yang menjadi titik perbedaan keduanya adalah terkait dengan proses periwayatan hadits. Jasser beragumen bahwa hadits-hadits Nabi diriwayatkan dan dikodifikasi dalam situasi politik yang otoriter, baik di zaman Umayyah maupun Abbasiyyah. Periwayatan hadits banyak yang mengafirmasi kepentingan politik penguasa. Hadits-hadits yang menguntungkan penguasa diterima oleh para mukharrij hadits, sementara yang merugikan penguasa akan mereka tolak. Ini berlaku bahkan bagi seorang mukharrij yang dianggap paling autoritatif sekalipun, seperti Imam Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, menurut Jasser Auda, memahami hadits tidak bisa hanya melihat konten hadits secara linear, tapi juga harus melihat secara kritis afiliasi politik perawinya. Pembaca hadits di zaman sekarang perlu untuk selalu memunculkan pertanyaan “agenda politik apa” di balik periwayatan satu hadits yang problematis matannya.
Pada saat sesi Jonathan Brown, teman-teman saya di kelas bertanya tentang sikapnya mengenai pemikiran Jasser tersebut. Jonathan sangat keberatan. Menurutnya, Jasser terlalu jauh mempolitisasi hadits Nabi. Jasser terlalu banyak menggunakan asumsi dalam memahami proses periwayatan hadits.
Selain itu, konsep Jasser tentang power (kekuasaan) juga tidak seimbang. Ia terlalu menekankan faktor hegemoni penguasa (teori Antonio Gramsci), dan mengabaikan faktor agensi ulama untuk melakukan resistensi terhadap penguasa (teori Michel Foucault). Jasser melihat power hanya ada pada tangan penguasa, bukan suatu entitas yang dispersed dan juga dimiliki oleh para ulama. Dengan kata lain, menurut Jonathan, Jasser telah menganggap remeh kemampuan moral para ulama dalam melawan hegemoni politik penguasa pada saat itu.
*) Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA