Beberapa waktu yang lalu Abdul Mu’ti telah resmi dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Pendidikan Agama Islam (PAI) oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pencapaian yang sungguh luar biasa tentunya. Bagaimana tidak? Seorang pria yang tak lagi muda ini berhasil mencapai prestasi gemilang dalam bidang akademik di tengah kesibukan berorganisasi dan pengabdian untuk negeri yang telah dijalaninya.
Di samping menjadi akademisi, saat ini ternyata beliau juga aktif sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sekaligus sebagai ketua BSNP Indonesia. Tentu banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah hidup beliau yang penuh tantangan dan perjuangan itu. Kendati demikian, kali ini penulis akan mencoba mengambil pelajaran dari gagasan beliau yang tak kalah penting dari lika-liku hidupnya. Tentang sebuah gebrakan pemikiran pendidikan agama Islam dalam masyarakat plural.
Latar Belakang Gagasan PAI Pluralistis
Secara sosio-kultural, Indonesia merupakan salah satu negara majemuk yang memiliki beragam agama, suku, dan budaya. Menjadi sebuah anugerah jika keberagaman ini dipandang dengan positif sebagai kekayaan. Sayangnya, realita di lapangan menunjukkan bahwa sikap intoleransi terhadap “liyan” masih cukup tinggi.
Berdasarkan survei PPIM tahun 2018, angka intoleransi di kalangan pelajar masih berkisar pada angka 51,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa sikap egosentrisme masih saja menghiasi diri para pelajar yang digadang-gadang untuk menjadi aktor perubahan sekaligus agen perdamaian (agen of change, agen of piece). Sedangkan merujuk penelitian PPIM (2019), ada 3 hal yang melatar belakangi sikap intoleransi yang khususnya terjadi di lembaga pendidikan.
Ke-tiga sebab itu antara lain; guru dan materi PAI, konten agama yang tersedia di internet, dan persepsi terhadap kinerja pemerintah. Menurut penelitian itu juga, ditemukan bahwa masih berkisar pada angka 63,07% tingkat intoleransi PAI terhadap agama lain. Sedangkan level intoleransi guru PAI ada pada angka 56,90%. Abdul Mu’ti sebagai intelektual organik yang konsen pada bidang PAI tentunya terpanggil untuk mencari jalan keluar dari persoalan ini.
Basis Nilai PAI Pluralistis (Al-Qiyam Al-Asasiyyah)
Gagasan PAI pluralistis ini diletakkan pada lima nilai dasar, yakni nilai ketuhanan, kebebasan, keterbukaan, kebersamaan, dan kerjasama. Pertama, maksud dari nilai ketuhanan ialah, sebuah prinsip dasar yang mengganggap bahwa secara fitrah manusia merupakan makhluk beragama atau bertuhan (homo religious).
Hal ini didukung oleh ayat-ayat qouliyah (Qur’an-sunah) maupun ayat-ayat kauniyah berupa temuan dari pakar psikologi dan neuro sains yang mengemukakan bahwa manusia memiliki kecendrungan spiritual.
Kedua, kebebasan yang merupakan anugerah dari Tuhan. Dengan bekal akal yang diberikan oleh Tuhan, manusia diberikan kebebasan untuk berkendak sekaligus bertangung jawab atas apa yang mereka lakukan.
Ketiga, nilai keterbukaan dalam artian open minded terhadap pilihan yang berbeda. Siap mendengarkan hal baru dan juga siap beralih kepada hal baru yang dianggap jauh lebih baik.
Keempat, kebersamaan antar perbedaan (khilafiyyah) yang di dalamnya mencakup masalah-masalah cabang (furu’iyyah ijtihadiyyah). PAI pluralistis meniscayakan bahwa perbedaan furu’iyyah ini tergolong pada bab variasi (tanawwu’) dan keragaman (ta’addud) yang masih mungkin diterima (acceptable) dan bisa ditolerir (tolerable). Terakhir, nilai kerjasama yang merupakan ajaran dasar Islam untuk saling membantu dalam kebaikan dan ketaatan.
Maqashid Syari’ah Kontemporer
Mendengar kata maqashid syari’ah kontemporer, kita tak bisa lepas dari seorang pemikir yang bernama Jasser Auda. Seorang cendekiawan yang terlahir di negeri Kinanah ini, dikenal sebagai “Bapak maqashid syari’ah kontemporer”. Ia mengkritisi pemahaman konvensional yang menafsirkan maqashid syari’ah melalui pemahaman yang agak sempit. Sehingga tujuan-tujuan mulia di balik syariat Islam ini terkadang belum terungkap secara sempurna dan belum mampu melahirkan solusi terhadap permasalahan umat dewasa ini.
Sedangkan, menurut keyakinan muslimin, pada dasarnya “Islam adalah agama yang selalu relevan untuk setiap tempat dan zaman” (al-Islamu shoolih likulli makan wa likulli zaman). Ada dua asbab yang membuat Jasser Auda berfikir perlunya upaya merekonstruksi maqashid syari’ah. Pertama, terjadinya krisis kemanusiaan (al-Ajmah al-Insaniyyah) yang pada umumnya melanda hampir setiap negara. Kedua, karena minimnya metode (al-Qushur al-Manhajji) untuk mengatasi krisis ini.
Maqashid syari’ah kontemporer sebagaimana yang dikampanyekan oleh Jasser Auda lebih mengedepankan maqashid yang sifatnya fundamental-substansial serta relevan dengan perkembangan zaman. Ia menginisiasi untuk menggeser paradigma lama maqashid yang dimaknai sebagai penjagaan (protection) dan pelestarian (preservation) menuju paradigma baru maqashid sebagai upaya pengembangan (development).
Selain itu, Auda juga menggunakan pendekatan sistem (a system aproach) dalam merekonstruksi apa yang disebut sebagai ad-dharuriyat khamsah. Pertama, hifz ad-diin (menghormati kebebasan beragama). Kedua, hifz an-nafs (menjamin hak-hak asasi manusia). ketiga, hifz al-‘aql (mengembangkan aktivitas belajar dan riset ilmiah). Keempat, hifz al-nasl (melindungi institusi keluarga). Dan terakhir hifz al-mal (mengutamakan kepedulian, pembangunan, perekonomian dan kesejahteraan sosial).
Implementasi Maqashid Syari’ah pada PAI Pluralistis
Dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan peran PAI pada umumnya, maka diperlukan strategi berupa pembaharuan kebijakan, pendekatan, kurikulum, dan evaluasi secara komprehensif yang disandarkan pada lima nilai dasar PAI pluralistis.
Pemangku kebijakan harus menjamin setiap peserta didik untuk mendapatkan haknya dalam mempelajari ilmu agama sesuai keyakinan yang dianutnya. Tak peduli berapapun jumlahnya dan pendidiknya pun juga harus memiliki latar belakang keyakinan yang sama. Hal ini sebagai wujud dari prinsip hifz ad-diin dalam rangka menghormati kebebasan beragama sekaligus hifz al-nafs yang menjamin hak dan kebebasan dalam menentukan pilihan keyakinan.
Praktisi pendidikan harus merubah kebiasaan mapan(status quo) yang menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran (teacher centered). Karena kebiasan lama ini tak lebih bagai menuang air dalam teko. Peserta didik dipaksa menerima apa yang diberikan oleh gurunya tanpa ada diskusi dua arah yang dapat memicu sikap berfikir kritis dari siswa.
Pendidik dapat menerapkan strategi belajar mindful (pembelajaran yang memperkaya sudut pandang), meaningful (pembelajaran dengan penuh makna), dan joyful (pembelajaran yang enjoy/menyenangkan). Sebuah terobosan pembelajaran yang menjadikansiswa sebagai pusat pembelajaran. Tak lupa juga memperbanyak diskusi dalam rangka rekonstruksi dan pengembangan keilmuan. Hal ini merupakan implementasi prinsip hifz al-‘aql yang memungkinkan supaya potensi akal dapat berjalan dengan maksimal.
Langkah selanjtnya ialah dengan merekontruksi kurikulum PAI yang integratif. Dengan melibatkan lintas di siplin keilmuan serta mendialogkan dengan isu kebangsaan dan keragaman. Harapannya melalui kurikulum yang terintegrasi seperti ini, PAI pluralistis mampu menjadi problem solver dari permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik dalam ruang-ruang sosial.
Upaya menjadikan sekolah sebagai ruang rekonstruksi sosial sejalan dengan prinsip hifz al-mal yang berorientasi pada pengembangan dan kesejahteraan sosial. Terakhir, dengan menggeser sistem evaluasi pembelajaran PAI yang semula berorientasi pada nilai (kuantitatif) menuju evaluasi yang bersifat pada refleksi diri (kualitatif).
Sehingga, tidak diperlukannya lagi semacam ujian akhir yang berskala nasional. Dengan demikian, potensi untuk “menseragamkan” pemahaman yang cenderung pada arah pemaksaan, dapat terhindarkan. Serta pengakuan akan perbedaan interpretasi menjadi sebuah keniscayaan.