Malam (22/12), sebelum pelantikan menteri reshuffle kabinet Indonesia Maju. Saya sangat terkejut, saat menerima pesan gambar dari salah satu WhatsApp Group. Tung. Saya kira gambar biasa. Ternyata, gambar itu adalah nama-nama rekomendasi calon menteri dan calon wakil menteri yang akan dilantik pada Rabu, 23 Desember 2020. Setelah sebelumnya, bapak presiden Jokowi mengumumkan enam menteri hasil reshuffle.
Benarkah Pak Abdul Mu’ti Menjadi Wakil Menteri?
Saya jujur agak sedikit kaget bercampur bingung. Ketika salah satu nama dari sekian nama yang dibagikan itu, ada nama pak Abdul Mu’ti. Saya lantas bertanya dalam hati, apa benar itu pak Abdul Mu’ti, sekum PP Muhammadiyah? Saya lantas mencari pembenaran lagi.
Menanyakan pada istri, “Loh yang, apa betul pak Mu’ti mau jadi wakil menteri?” Istri saya pun menggeleng.
Kami sempat berdebat sana sini. Sebab dalam sesi makan malam, kami berdua sempat diskusi serius tentang kepemimpinan dalam Islam. Utamanya, tentang ber-fastabiqul khoirot dalam pemerintahan. Kami akhirnya memastikan lagi, apa benar itu Pak Mu’ti. Iya apa tidak. Mungkin apa tidak mungkin. Masa benar itu pak Mu’ti?
Pagi harinya, kami memutuskan untuk ikut menjadi saksi pelantikan sebagai rakyat Indonesia (bukan sebagai undangan istana) di salah satu stasiun televisi.
Satu persatu kami pastikan. Tak ada pak Mu’ti. Profesor dengan wajah teduh itu tak ada. Pagi itu, saya pastikan kami termakan hoax. Media sosial memang kejam, pikir kami. Ya udahlah, kami toh hanya ingin memastikan aja. Pengen lihat wajah pak Mu’ti aja. Ternyata memang tak ada.
Kami melanjutkan aktivitas seperti biasa.
Pernyataan Pak Abdul Mu’ti
Ba’da zuhur, saya iseng-iseng scroll status di Facebook. Jleb, pertama saya membuka. Yang muncul adalah halaman FB pak Mu’ti dengan gambar pak Mu’ti yang berpeci. Akhirnya saya membaca status beliau secara seksama. Ini bunyinya, saya kutip dari laman beliau.
“Setelah melalui berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk tidak bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju dalam jabatan wakil menteri.
Saya merasa tidak akan mampu mengemban amanah yang sangat berat itu. Saya bukanlah figur yang tepat untuk amanah tersebut.
Awalnya, ketika dihubungi oleh Pak Mensesneg dan Mas Mendikbud, saya menyatakan bersedia bergabung jika diberi amanah.
Tetapi, setelah mengukur kemampuan diri, saya berubah pikiran. Semoga ini adalah pilihan yang terbaik.“
Setelah membaca itu, saya manggil istri. “Lihat ada tulisan pak Mu’ti tentang Wamen tadi,”
Lalu saya membaca lagi. Berdua. Setelah membaca, kami tersenyum saja berdua. Pertanda kami mendapatkan jawaban yang baik atas pertanyaan pertanyaan tadi malam hingga pagi.
Mengenang Buya Hamka yang Pernah Menolak Tawaran Menjadi Duta Besar
Buya Hamka juga pernah melakukannya.
Dalam tradisi di persyarikatan Muhammadiyah. Tokoh sekelas Buya Hamka juga pernah menolak tawaran menjadi duta besar Indonesia di Kerajaan Arab Saudi. Kisah itu, ditulis oleh Irfan Hamka dalam bukunya yang berjudul Ayah, Kisah biografi Buya Hamka (Republika, 2013.
Istri Buya Hamka, Hj Siti Raham binti Rasul Sutan Endah yang biasa dipanggil Ummi ini mengingatkan kegiatan sebagai duta besar akan sangat sibuk. Lalu kapan waktu untuk Buya Hamka belajar dan mengajarkan agama lagi?
“Hampir tiap malam nanti Angku Haji harus menghadiri jamuan makan malam yang diselenggarakan duta besar lain. Lalu kapan waktu mengaji Alquran yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil?” kata istrinya.
“Lebih baik masjid di depan rumah saja Angku Haji kelola dengan baik. Pahalanya dapat dirasakan oleh umat dan InsyaAllah diridhai oleh Allah SWT,” kata Ummi, dengan lembut.
Mendengar pandangan dari pasangan hidupnya, Buya Hamka pun kembali ke Kantor Kementerian Agama dan menolak jabatan duta besar tersebut dengan halus.
Saya yakin keputusan pak Mu’ti yang menolak halus menjadi wamendikbud, juga tidak akan jauh dari alasan Buya Hamka yang menolak juga menjadi duta besar.
Kepribadian Pak Mu’ti yang Sarat Makna
Saya memang tidak mengenal pak Mu’ti dengan sangat dekat. Tapi kenangan tahun 2016, saat satu mobil bersama beliau. Dari Lamongan ke rumahnya yang di Kudus. Saya akhirnya menyimpulkan. Beliau adalah orang yang sangat bersahabat dan bersahaja sekali. Kepada siapa saja. Apalagi kami-kami yang masih muda.
Penyampaiannya yang kalem dan sering bercanda. Membuat kami kader Muhammadiyah benar-benar mencintai dan belajar dari figur beliau.
Saya masih ingat betul. Beliau dengan sendirinya mengajak kami menikmati pindang Kudus. Menjamu kami di rumahnya yang sederhana. Itu pengalaman yang luar biasa bagi saya. Sebentar, tapi sarat makna.
Jawaban pak Mu’ti atas berbagai pertanyaan dari banyak pihak di laman media sosialnya juga sama. Singkat, tapi sarat makna.
Saya bukan ahli tafsir untuk menafsirkan makna setipe kalimat atau tulisan pak Mu’ti. Tapi saya percaya, bahwa keputusan yang beliau ambil adalah keputusan yang baik. Tidak hanya bagi umat, tapi juga bagi persyarikatan Muhammadiyah.
Tetaplah menjadi figur bagi kami yang masih muda-muda ini pak Mu’ti. Aku padamu, pokoknya.
Editor: Zahra