“Jadi dengan kondisi seperti ini, digital gap-nya juga widen, economic gap-nya juga lebih widen lagi dan itu menjadi suatu wake up call bagi kita di pemerintah bahwa, wah ini benar-benar gap antara have dan have not itu besar sekali. Jadi daerah-daerah tertinggal itu harus benar-benar dibantu.”
Demikian ucapan Pak Nadiem Makarim yang dikutip media terkait sekolah dari rumah.
Kok Bapak baru sadar sekarang itu yang bikin saya heran, Pak. Kesenjangan itu kan sebenarnya sudah ada sejak lama. Sekarang hanya tampak nyata karena gap itu ditarik hingga titik yang ekstrem. Salah satu pihak mungkin berada di posisi benar-benar tidak memiliki sumber daya untuk mengakses sekolah.
Kesenjangan itu sudah tampak dari yang sempit hingga yang paling lebar. Antara anak-anak yang lincah sekolah pake Zoom, Microsoft Team, laptop, dengan anak-anak yang hanya modal hape android ala kadarnya pake kuota dhuafa, makin lebar jika dibandingkan dengan anak-anak di pedalaman yang susah sinyal atau dengan anak-anak yang strata ekonomi orang tuanya tidak mampu menyediakan gawai beserta kuotanya, jelas widen sewiden-widennya.
Di sebelah sana, anak-anak kota, apalagi yang ada di ‘sekolah mahal’, tetap berlari kencang dalam keadaan apapun dengan segala fasilitas yang ada. Sementara di sisi sebelah situ, anak-anak di sekolah yang yah begitulah, ya jalannya pun yah begitulah juga.
Heran sekali sebenarnya kalau untuk menyadari hal seperti ini saja butuh di-wake up-in oleh pandemi.
“Lalu ada yang bilang tidak ada sinyal TV bahkan ada yang bilang tidak punya listrik. Itu bikin saya kaget luar biasa, saya pun belajar sebagai menteri bahwa Indonesia ini masih banyak area-area yang sebenarnya tidak terbayang bagi kita di Jakarta, benar-benar tidak terbayang ada yang masih tidak punya akses listrik, bayangkan listriknya cuma nyala beberapa jam sehari,” sambungnya.
***
Makanya seringkali kebijakan yang dibuat pemerintah itu gak masuk akal sama sekali karena menteri-menterinya kayak Bapak gini kali ya. Bayangan tentang kehidupan rakyat di benaknya itu hanya kehidupan versi orang Jakarta saja. Standar kesuksesannya dibikin kayak suksesnya orang Jakarta. Standar kesejahteraannya dibikin kayak rasa sejahteranya orang Jakarta.
Saya curiga, hal-hal seperti itu yang membuat kebijakan-kebijakan pemerintah itu buntet dan ndak bunyi ketika dihadapkan pada kenyataan kondisi rakyatnya di berbagai daerah hinterland di negeri ini.
Anak-anak dari golongan the have, bisa mengakses pendidikan mahal dan bagus, berjejaring dengan orang-orang dari kalangan yang sama, mobilitas tinggi ke seluruh penjuru dunia, punya pengalaman hidup yang hebat-hebat, dan kesempatan yang lebih luas untuk jadi ‘orang-orang besar’ di pucuk-pucuk kekuasaan.
Makanya ketika membikin kebijakan Pendidikan, tidak bisa membayangkan apa dampaknya misal terhadap anak-anak petani melarat, yang tidak bisa mengakses pendidikan bermutu, yang tidak punya mindset berkemajuan, yang selesai pendidikan dasar buru-buru mencari penghidupan, yang sampai mati sibuk urusan mencari makan.
Makanya ketika membikin kebijakan di bidang pertanian, nggak bunyi. Membuat kebijakan untuk rakyat miskin, nggak ada bijak-bijaknya.
Ini kalok saya lanjutin bisa seribu kata Pak. Tapi sekarang sudah nggak ada DeeNKa. Maneman drijiku seh Pak cape-cape ga ada duitnya. Mending aku golek duit meneh ae wis pak. Sing widen widen urusonolah sakarepmu.