Oleh: Supratman*
Pakaian Ketat dan Cadar
Menarik kita simak bersama pidato Ketua Umum PP Muhammadyah Prof. Dr. Haedar Nashir di perhelatan pembukaan TANWR IMM KE XXVIII di Lombok NTB kemarin. Salah satu poin yang beliau sampaikan tentang fenomena cadar di kalangan Muhammadiyah khususnya aktivis IMM.
Pada akhirnya kesimpulan dari penyampaian itu adalah cadar bukan budaya beragama di kalangan Muhammadiyah karena sudah diperkuat oleh kajian-kajian di internal Muhammadiyah.
Sehingga dikeluarkan fatwa melalui Mejelis Tarjih Muhammadiyah yang bisa dilihat pada buku tanya jawab agama ke 4 hal 236-239. Yang poin besarnya adalah tidak ada tuntunan dalam Al-Qur’an dan sunah untuk menggunakan cadar.
Penyampaian Pak Haedar tersebut diperkuat lagi oleh tulisan saudara Muhammad Bukhari Muslim di media online IBtmes.ID yang dipublikasi tanggal 13 Februari 2020 yang berjudul “IMM, Cadar dan Kekhawatiran Haedar Nashir”.
Di kalangan Muhammadiyah khusus aktivis IMM tulisan tersebut lumayan viral didiskusikan apalagi dikaitkan dengan pidato momentum TANWIR IMM oleh Ketum PP Muhammadiyah.
Bagi saya tulisan saudara Muhammad Bukhari Muslim tersebut sangat bagus, karena mempertegas pandangan Muhammadiyah tentang cadar agar jamaah Muhammadiyah memiliki pemahaman dan pengamalan agama yang seragam dalam beragama yang merujuk pada Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPTM).
Refleksi Tujuan Muhammadiyah
Umur Muhammadiyah yang sudah lebih seabad (107 tahun) bukan lagi usia yang mudah. Kalau kita bandingkan dengan usia biologis manusia, umur 107 tahun sudah sangat lansia, sebab sangat jarang orang yang berumur lebih dari seabad.
Oleh karena itu, kiprah dan tantangan dakwah Muhammadiyah di usia lebih seabad ini sudah sangat kompleks dengan perkembangan ilmu pentehauan dan teknologi yang tidak ada batas.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang konsen dalam dunia dakwah amal ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah harus tetap tegak lurus konsisten dalam menjalankan misi dakwahnya agar tercapai tujuan Muhammadiyah.
Sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) organisasi pada BAB III pasal 6 yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Tujuan Muhammadiyah tersebut harus menjadi roh dalam segala aktivitas Muhammadiyah baik di masyarakat luas terutama di seluruh Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Makna tersirat dalam tujuan Muhammadiyah tersebut adalah Muhammadiyah ingin masyarakat memahami Islam yang autentik (asli).
Maka dari itu, Muhammadiyah selalu muncul dengan semboyan merujuk kepada pemahaman agama menurut Al-Qur’an dan sunah yang sahih (arruju’ ila al-qur’an wa as-sunah). Dengan begitu, Muhammadiyah tidak terikat (fanatis) oleh paham mazhab-mazhab tertentu dalam pandangan agamanya.
Kita harus sadari pengamalan nilai-nilai ajaran Islam yang sesuai kehendak (selera) Muhammadiyah di AUM belum maksimal, bukan hanya persoalan cadar, tapi harus kita sadari hal-hal lain yang belum bisa jalan maksimal.
Contoh seperti fatwa haram rokok, dan berpakaian yang tidak sesuai standar syar’i di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) masih menjadi tontonan bersama bahkan masih menjadi budaya.
Sekali lagi saya sangat sepakat dan harus kita dukung apa yang menjadi keresahan Pak Haedar melalui tulisan saudara Muhammad Bukhari Muslim masalah cadar.
Pakaian Serba Bebas di AUM dan PTM
Selain kita soroti masalah cadar di kalangan jamaah Muhammadiyah, perlu juga kita soroti praktik berpakaian yang serba bebas di AUM khususnya PTM. Yang mana, masih menjadi budaya sebagian mahasiswa bahkan dosen dan karyawan. Yaitu berpakaian ketat yang tentu itu jauh dari nilai-nilai Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah. Saya rasa hal ini perlu juga menjadi keresahan berjamaah bagi warga Muhammadiyah. Khususnya bagi pemangku kebijakan di seluruh AUM se-Indonesia. Agar bisa steril dari tontonan bersama pakaian vulgar (ketat) tersebut.
Praktek berpakaian ketat seperti itu masih lumrah di kalangan PTM dan jarang diperbincangkan dengan serius untuk mengatasinya.
Saya menyadari bahwa mahasiswa di seluruh PTM tidak semua beragama Islam, namun apa salah kita buat standar (aturan) pakaian khusus bagi yang beragama Islam agar terwujudnya syiar dakwah Muhammadiyah.
Saya berpandangan seperti itu bukan menolak kemajemukan (keberagaman) keyakinan agama di PTM, tapi harus kita ingat bagaimana tujuan Muhammadiyah didirikan.
Meminjam istilah Kiyai AR. Fahruddin “Amal Usaha Muhammadiyah itu didirikan untuk menunjang terlaksananya dakwah Muhammadiyah”. Kalau bisa saya artikan secara bebas dengan makna terbalik, tidak perlu ada AUM jika keberadaannya tidak mendukung terlaksananya dakwah Muhammadiyah.
Sebab, hakikat adanya AUM dalam rangka mengoperasionalkan tujuan Muhammadiyah. Program pembinaan melalui mata kuliah AIK di PTM/PTA belum berefek banyak bagi mahasiswa kita.
Contohnya fenomena pakaian ketat dan budaya rokok masih menggurita. Bahkan bukan hanya mahasiswa, dosen dan karyawan pun menjadi pelaku perilaku itu.
Antara Cadar dan Pakaian Ketat
Kembali masalah cadar, fenomena kader IMM bercadar memang masih ada di kalangan IMM bahkan warga (jamaah) Muhammadiyah lain. Tapi bukan sedikit juga ada kader IMM yang masih menjadi tradisi (fenomena) berpakaian ketat.
Ini juga harus menjadi perhatian kita, mereka perlu kita sadarkan dari kesesatan berpikir akan kebebasan dalam berpakaian dan menganggap itu hal privat yang tidak boleh organisasi mengaturnya.
Pandangan seperti itu sering saya sampaikan dalam diskusi-diskusi kecil dengan kader. Bahwa paham tersebut cacat ideologis (pemahaman), yang tidak sesuai kultur Muhammadiyah. Saya sendiri pernah menjumpai para aktivis IMM di berbagai daerah.
Ketika ketemu di acara-acara IMM tingkat nasional, masih ada praktik berpakaian ketat. Bagi saya pribadi, heran melihat itu karena saya menganggap itu bukan budaya berpakaian ala Muhammadiyah. Yang standar pakaiannya sudah jelas diatur. Tapi bagi mereka, itu hal biasa karena itu menyangkut hal privat.
Apakah hal seperti kita biarkan yang pada akhirnya menjadi pemandangan yang biasa saja tanpa ada upaya pencerahan dari Muhammdiyah sendiri. Bagi saya, hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut dan akan menjadi virus yang memadamkan api dakwah Muhammadiyah dalam rangka mencapai tujuannya. Sebab, aturan berpakaian dalam Muhammadiyah sudah banyak dibahas, khusus dalam buku tanya jawab Muhammadiyah.
Standar Berpakaian Ala Muhammadiyah
Melalui suara Muhammadiyah mengatur standarisasi berpakaian yang paling tidak memenuhi 4 standar:
- Pakaian tersebut menutup semua aurat. Aurat perempuan itu adalah seluruh tubuhnya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki kecuali muka dan telapak tangan
- Pakaian tersebut tidak ketat, sehingga memperlihatkan lekukan tubuh
- Pakaian tersebut tidak tembus pandang, sehingga tidak menampakkan tubuh secara samar-samar, apalagi secara terang-terang
- Pakaian tersebut sopan, patut, dan sederhana sesuai kultur dan budaya masyarakat setempat tanpa menghilangi substansi menutup aurat sesuai ajaran Islam. Sebab, setiap orang memiliki model pakaian yang berbeda sesua selera masing-masing.
Butuh Kesadaran Berjamaah
Masalah yang dibahas di atas dan tantangan dakwah Muhammadiyah lainnya, tentu tidak bisa teratasi untuk mewujudkan cita-cita besar dakwah Muhammadiyah tanpa ada kesadaran berjamaah warga Muhammadiyah. Lebih khusus bagi para pemangku kebijakan di Muhammadiyah. Harus kita sadari, tantangan dakwah Muhammadiyah kian kompleks di abad 21 ini dan di abad ke 2 Muhammadiyah berkiprah.
Isu hangat yang akhir-akhir ini cukup banyak diperbincangkan di internal Muhammadiyah adalah masalah Muhammadiyah dan Salafi yang sering diakronimkan menjadi MUSA.
Tentu harus kita pahamkan (sadarkan) warga Muhammadiyah untuk memahami ajaran agama ala Muhammadiyah yang bisa kita baca melalui HPTM dan sumber-sumber lain, termasuk masalah cadar.
Bagi kalangan jamaah Salafi, cadar sudah menjadi fenomena beragama bagi mereka. Bahkan bisa jadi sudah menghukumi wajib. Khawatiran itu ialah jangan sampai Muhammadiyah digerogoti oleh paham atau ideologi lain dalam mengamalkan ajaran agama.
Sehingga, menghilangkan identitas (ciri khas) beragama ala Muhammadiyah. Namun jangan lupa juga bahwa kader-kader muda Muhamadyah ada juga fenomena pengamalan agama yang cenderung ekstrem kiri (liberal).
Hal itu juga harus diperhatikan dan harus dicerahkan agar mereka kembali ke ajaran yang puritan sesuai paham agama Muhammadiyah, jangan sampai kita anggap itu sebagai kekayaan berpikir (intelektual) dan kita pelihara.
Kita harus pahamkan bahwa Muhammadyah dikenal dengan istlah Islam wasatiyah (moderat) tidak ekstrim kanan dan tidak juga ekstrim kiri atau condong liberal . Bagi saya, paham liberal inilah yang menjadi benih bahkan virus di tubuh Muhammadiyah sehingga tidak tercapai dakwah Muhammadiyah.
Kita sebagai warga persyarikatan Muhammadiyah harus selaraskan itu semua dengan paham Islam wasatiyah (moderat) dengan jalan sesuai konsep beragama yang dipahami di Muhammadyah dengan konsep Bayani (pendekatan teks), Burhani (pendekatan akal), dan Irfani (pendekatan spiritual). Dengan begitu, kita memahami utuh manhaj ideologi Muhammadiyah. Wallahu a’lam