Oleh: Muhamad Bukhari Muslim *
Kemarin, Selasa (29/01/2020), saudara Nirwansyah, aktivis IMM Ciputat yang juga sahabat saya membuat satu tulisan yang kemudian diterbitkan oleh IBTimes.ID, sebuah media yang menjadi kanal Islam Berkemajuan, dengan judul ‘Pancasila: Hadiah Umat Islam untuk Indonesia’, lengkap dengan bold hitamnya.
Tetapi perlu untuk diterangkan lebih dulu bahwa pernyataan tersebut tidak murni berasal dari saudara Nirwan. Karena seperti yang diterangkannya dalam tulisannya pada bagian terakhir, ia mengutip perkataan tersebut dari Alamsyah Prawiranegara.
Judul itu mungkin menarik simpatik kalangan Islam kanan, karena mengangkat derajat umat Islam Indonesia, namun tidak bagi saya dan mungkin sebagian yang lain. Sebab sangat menampilkan dan menonjolkan sikap yang apologetik, yakni pembelaan yang berlebihan.
Dan saya menduga kalau pernyataan itu lahir, berkat pengaruh dari pemikiran dan klaim-klaim tokoh Islam awal kemerdekaan kepada saudara Nirwan. Sebut saja misalnya: Ki Bagus Hadikusumo, Buya Hamka, dan M. Natsir.
Kembali lagi soal judul. Jujur, saya sangat merasa keberatan atas pernyataan yang ada di dalamnya, yaitu Pancasila sebagai hadiah umat Islam. Sejak kapan Pancasila menjadi hadiah dari umat Islam?
Fakta yang dituliskan oleh para sejarawan Indonesia mengungkap, dalam sidang BPUPKI, peran tokoh dan ulama Islam sangatlah nihil, bahkan terbilang pasif dalam menyusun Pancasila. Berbeda halnya dengan kalangan nasionalis yang sangat aktif dan memiliki andil yang begitu besar.
Tampil di sana-sana tokoh-tokoh nasionalis seperti Ir. Soekarno, Mr. Soepomo, Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Mereka semua menguras segala daya, pikiran dan menggali secara habis wawasan-wawasannya demi merumuskan Pancasila. Sesuatu yang diharapkan dapat menjadi pedoman dan falsafah bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara ke depan.
Kalau pun ada yang dibuat oleh tokoh Islam, itu hanya Sila Pertama yang berbunyi ‘Ketuhanan yang Maha Esa dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan kemudian diubah menjadi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Hanya itu. Dan itulah satu-satunya hadiah umat Islam untuk Indonesia. Selebihnya, dari Sila Kedua sampai dengan terakhir adalah persembahan kaum nasionalis.
Oleh karena itu adalah keliru ketika saudara Nirwan menyatakan Pancasila sebagai keseluruhan sebagai hadiah dari umat Islam. Dengan pernyataannya itu, ia seolah-seolah ingin menegasikan peran dari kalangan nasionalis.
Padahal merekalah yang sesungguhnya memiliki peran dan andil yang sangat besar. Dan atas fakta itu saya kira tidak berlebihan ketika saya mengatakan bahwa Pancasila adalah persembahan dan hadiah dari tokoh-tokoh nasionalis, bukan dari umat Islam.
Harus diingat, dalam debat konstituante yang di dalamnya para founding father (pendiri bangsa) bertarung secara pikiran untuk menentukan dasar dan ideologi negara, para tokoh dan ulama Islam amat anti dan menolak Pancasila dengan keras.
Untuk lebih jelasnya, pembaca bisa melihat sikap tokoh dan ulama Islam yang demikian dalam buku Mohammad Natsir dengan judul Islam Sebagai Dasar Negara.
Para tokoh Islam baru menerima Pancasila belakangan. Dan itu pun setelah melalui proses lobbying yang panjang oleh Bung Hatta kepada tokoh dan ulama Islam sembari mensosialisasikan filosofi ‘Islam garam’-nya.
Nanti setelah proses tersebut, tokoh-tokoh Islam baru menerima Pancasila sebagai dasar negara. Meskipun dengan sangat terpaksa.
Disahkannya Pancasila sebagai dasar negar, setelah kaum nasionalis berhasil membujuk, dan meminta pengertian dari tokoh-tokoh Islam. Tokoh-tokoh Islam menjadikan Pancasila sebagai dasar secara ‘terpaksa’, bukan atas kemauannya sendiri. Mereka awalnya sangat menggebu dan bernafsu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Karena merasa diri sebagai mayoritas. Tapi semangat itu kemudian luntur, setelah dijelaskan dan dipahamkan kepada mereka tentang kemajemukan bangsa Indonesia. Bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam agama, bukan hanya Islam. Maka, alangkah kurang arifnya jika tetap memaksakan Islam sebagai dasar negara.
Jadi sejak awal, pancasila adalah karya kaum nasionalis dan juga merupakan persembahannya yang amat berharga bagi bangsa kita. Bukan milik umat Islam. Maka bagaimana mungkin kita akan mengakui sesuatu yang bukan miliknya sebagai hadiah. Syarat memberi hadiah adalah memastikan bahwa barang yang menjadi hadiah merupakan milik yang memberi.
Nah, dalam hal ini Pancasila bukanlah milik umat Islam. Ia adalah milik kaum nasionalis dan para tokoh Islam baru menerimanya di detik-detik terakhir menuju pengumuman dasar negara. Makanya berat untuk menyebut sebagai hadiah umat Islam. Lagi pula di mana letak masuk akalnya ketika kita mengklaim pemberian orang lain sebagai hadiah kita.
Sebuah fakta yang tak terbantahkan, para tokoh dan ulama Islam pada debat konstituante tidak mengiginkan dan menolak Pancasila. Ini sudah menjadi domain public ataupengetahuan umum masyarakat kita.
Jadi saya tidak perlu menyebutkan lagi buku dan referensi yang berbicara tentang itu. Karena sangat banyak. Dan saudara Nirwan saya yakin lebih banyak mengetahui soal ini.
Oleh karena itu, saya berharap kepada saudara Nirwan untuk lebih mendalami lagi arti hadiah dan lihatlah kaitannya dengan Pancasila. Biar tidak salah kaprah. Dan juga di samping itu, ia harus bersikap jujur dan objektif dalam menjelaskan sejarah, serta tidak terlalu apologetik, sebagaimana mindset umum kaum Islam konservatif, sengaja mengangkat-angkat dan menaik-naikkan umat Islam Indonesia.
Sedangkan yang dibicarakan amat jauh dari fakta. Pancasila jangan diklaim sebagai hadiah umat Islam untuk Indonesia. Karena yang berdarah-darah dan juga banyak menguras tenaga dan pikiran dalam merumuskan Pancasila adalah kaum nasionalis.