Agama Musuh Pancasila?
Pernyataan Prof. Yudian Wahyudi menimbulkan kontroversi, dalam salah satu sesi wawancara dengan media massa, Yudian menyebut bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila. Yudian juga menyebutkan bahwa tidak wajibnya asas tunggal Pancasila bagi ormas atau parpol merupakan kekalahan administratif Pancasila.
Disoroti juga perilaku agamawan yang menurut Yudian terlalu politis. Misalnya membuat ijtimak ulama untuk mendukung paslon pilpres tertentu.
Warganet ramai-ramai mengecam pernyataan Yudian. Politisi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily turut mengecam pernyataan Yudian dan menyebutnya sebagai sesat pikir. Tak ketinggalan politisi PPP Achmad Baedowi turut mengkritik pernyataan Yudian.
Menurutnya, pernyataan tersebut tak mencerminkan Yudian sebagai tokoh bangsa, tokoh intelektual, dan tokoh agama. Kecaman paling keras datang dari Dr Anwar Abbas sekjen MUI yang meminta Yudian dicopot dari jabatannya sebagai ketua BPIP.
Mengurai Kembali Tenun Pancasila dan Agama
Penulis tak habis pikir mengapa pernyataan agama adalah musuh terbesar Pancasila mesti keluar dari seorang intelektual. Entah karena salah ucap atau mencari sensasi, namun seharusnya tidak perlu ada pernyataan semacam ini.
Pernyataan Pancasila musuh agama justru kontra produktif bagi upaya harmonisasi Pancasila dan agama. Di mana, kita tahu bahwa pernah ada suatu masa di mana Pancasila ditolak oleh tokoh agama yang memperjuangkan agama sebagai dasar Negara.
Sejarah mencatat ketegangan para pendiri bangsa memperjuangkan ideologinya masing-masing sebagai dasar negara. Sidang konstituante menjadi saksi betapa gigihnya perjuangan para tokoh bangsa memperjuangkan ideologinya masing-masing. Sampai akhirnya Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 guna mengakhiri perdebatan ideology negara.
Pada masa awal orde baru, Pancasila menjadi alat bagi penguasa untuk memaksakan ideologinya kepada seluruh rakyat. Atas nama stabilitas, paham yang berbeda dibungkam dan dituduh subversif. Pancasila didoktrinkan dalam satu versi, diwajibkan menjadi asas tunggal kepada parpol dan ormas pada waktu itu.
Pancasila kehilangan otentisitasnya sebagai nilai luhur yang menjadi landasan hidup bersama bangsa Indonesia.
Menjelang orde baru berakhir, mulai muncul upaya-upaya rekonsiliasi antara Pancasila dan agama, khususnya Islam. Pancasila berusaha dikembalikan kepada jati diri aslinya yakni dasar negara yang merupakan titik temu nilai-nilai luhur dari warga negara yang beragam. Kuntowijoyo menyebut Pancasila sebagai objektivikasi ajaran agama.
Pasca reformasi, relatif tidak ditemukan pertentangan yang tajam antara Pancasila dengan agama. Jika pada masa sebelumnya partai nasionalis itu pasti sekuler, maka pada masa reformasi muncul jargon baru yakni nasionalis religius.
Partai-partai yang tidak mendeklarasikan diri sebagai partai Islam, tetap mempunyai corak ke-Islaman yang terlihat. Misalnya PDI Perjuangan yang identik dengan nasionalis sekuler dan non-muslim, mempunyai Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) sebagai wadah bagi kader dari kalangan santri NU dan Muhammadiyah. Partai Demokrat menjadikan nasionalis religius sebagai tagline.
Melihat dinamika hubungan Pancasila dan agama di atas, jelas bahwa pernyataan Prof. Yudian Wahyudi seolah mengurai kembali tenun harmonisasi antara Pancasila dan agama. Sungguh sangat disayangkan di saat para tokoh agama bersusah payah meyakinkan bahwa Pancasila dan agama itu tidak bertentangan, ketua BPIP malah memporak porandakan kembali usaha para tokoh agama terdahulu.
Yudi Latif seorang yang sudah diakui sebagai pakar Pancasila, di mana buku-bukunya tentang Pancasila banyak beredar, belum pernah mengeluarkan pernyataan Pancasila musuh agama.
Musuh Pancasila yang Sebenarnya
Tidak mungkin agama menjadi musuh Pancasila, karena butir-butir Pancasila secara substantif sejalan dengan nilai-nilai agama. Mungkin yang dimaksud Yudian sebagai musuh Pancasila adalah pihak yang menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan pribadi dan jangka pendek.
Jika ini yang dimaksud maka yang lebih tepat menjadi musuh Pancasila ialah manipulator agama. Tentu beda jauh antara agama dengan manipulator agama, seharusnya Yudian bisa memilih diksi yang tepat untuk menyampaikan maksudnya.
Yang dilupakan Yudian adalah, bahwa musuh Pancasila yang hakiki adalah yang tidak mengamalkan sila-silanya. Tidak salah bagi kita untuk mengekspresikan keberpihakan kita kepada Pancasila di tengah munculnya gerakan mengganti Pancasila dengan dasar Negara lainnya.
Namun tak cukup seperti itu, seorang yang mengaku Pancasilais juga harus mengaplikasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Sila pertama menyuruh kita untuk menjadi warga Negara yang beragama dan ber-Tuhan. Sila kedua semestinya membuat kita mempunyai rasa kemanusiaan, keadilan, dan keadaban. Sila ketiga harus membuat kita menjaga persatuan.
Sila keempat mendorong kita agar menjadi masyarakat yang demokratis. Sila kelima merupakan cita-cita bangsa yakni terciptanya keadilan bagi seluruh Indonesia.
Menyatakan Pancasila sebagai musuh agama sebenarnya bertentangan dengan sila pertama. Seorang pejabat Negara hendaknya dapat memberikan suri teladan kepada rakyatnya dalam pengamalan Pancasila.
Ironisnya, alih-alih memberikan teladan, justru pejabat Negara malah melakukan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila. Misalnya banyak pejabat Negara yang masih melakukan korupsi. Ditinjau dari sila ke berapapun juga, korupsi merupakan perbuatan yang keji.
Muhammadiyah dan Pancasila
Saat orde baru mengeluarkan peraturan kewajiban asas tunggal Pancasila bagi seluruh ormas dan parpol, Pak AR Fakhruddin menerima dengan catatan seperti kita menerima aturan memakai helm saat mengendarai sepeda motor.
Setiap ditanya mengenai sikap Muhammadiyah terkait kebijakan asas tunggal, analogi helm selalu dimunculkan Pak AR. Penulis melihat bahwa Pak AR berpandangan antara Pancasila dan agama bisa beriringan namun dengan proporsinya masing-masing.
Sebagai seorang muslim, konsekuensi dari kalimat syahadat adalah menjadikan Islam sebagai jalan hidup. Namun tak mengapa sebagai warga Negara kita juga melaksanakan aturan yang dibuat oleh Negara, misalnya kewajiban memakai helm saat mengendarai sepeda motor. Artinya kita bisa menjadi muslim yang taat sekaligus menjadi warga Negara yang baik.
Pada tahun 2012 pada forum Tanwir Muhammadiyah di Bandung, Prof. Din Syamsuddin mencetuskan rumusan yakni Pancasila dan NKRI sebagai darul ahdi wa daru syahadah. Rumusan ini disahkan pada Muktamar ke-47 di Makassar.
Konsep Darul Ahdi wa Syahadah merupakan legitimasi teologis bagi warga Muhammadiyah untuk menerima Pancasila dan NKRI. Jika perdebatan soal dasar Negara telah selesai, maka pekerjaan rumah kita tinggal membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju. Umat Islam harusnya paling berperan dalam memajukan bangsa ini.