Bagai pisau bermata dua, kemajemukan dapat mempersembahkan kekayaan identitas bagi suatu bangsa, sekaligus ancaman integritas di sisi yang lain. Menyoal disintegrasi, kita bisa menengok kepada dua contoh besar yang pernah, bahkan di antaranya masih berlangsung hingga kini; Tahun 1991, Uni Soviet mengalami balkanisasi menjadi beberapa negara independen. Ada juga gerakan revolusi Arab Spring di kawasan Timur Tengah yang terus bergejolak sejak beberapa dekade silam. Egoisme kelompok mewarnai perjalanan panjang konflik yang sama-sama mendaku ajaran di luar dirinya sebagai keliru, kafir, menyesatkan dan perlu diberantas, entah antarnegara ataupun golongan—dalam hal ini rezim penguasa dengan rakyat biasa.
Integritas bangsa ini ikut teruji kala kelompok anti-pancasila meresonansikan perubahan ideologi baik oleh radikal kanan maupun ekstrem kiri. Dari 1948 hingga 1950-an, ada DI/TII yang diinisiasi oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo guna menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Spiritnya “diteruskan” oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan gaungan khilafah islamiyah yang kemudian resmi dibubarkan pada 2017 lalu. Dari ‘kiri’, ada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang hendak merubah ideologi negara menjadi Komunisme, dibuktikan dengan gerakan pemberontakan yang amat terkenal, G30S/PKI.
Mengapa Harus Pancasila?
Diskursus hubungan negara dan agama selalu melahirkan pro-kontra di tubuh para nasionalis, setidaknya terbagi tiga. Pertama, mereka yang menghendaki pemisahan negara dari agama, atau sekuler. Kedua, negara harus berwajahkan agama; dalam konteks ini, sistem khilafah mesti ditegakkan dengan dalih Islam sebagai agama mayoritas. Ketiga, sikap moderat dengan menghubungkan nilai universalitas Islam ke dalam sistem negara. Poin terakhir inilah yang hendak disampaikan pancasila melalui butir pertamanya, Ketuhanan yang Maha Esa, kemudian ditandaskan lewat pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara mengakui, menghormati, serta menjamin kehidupan penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing.
Pancasila juga tidak serta merta lahir tanpa pertimbangan dan motif tertentu, melainkan dirancang oleh founding fathers sebagai manifestasi dari laku hidup masyarakat Indonesia yang majemuk jauh sebelum kemerdekaan diproklamirkan sehingga nilai-nilai universalitasnya mampu mendekap semua etnis, ras, suku, dan keyakinan dalam kehidupan bernegara dan beragama.
Moderasi Islam
Dalam bukunya, Wasathiyyah; Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, Quraish Shihab menuturkan bahwa moderasi merupakan ciri ajaran Islam sehingga penganutnya pun harus turut bersikap moderat. Melalui firman-Nya, Allah Swt. hendak menyampaikan nilai-nilai moderasi yang terkandung dalam ruh ajaran Islam. Seperti larangan adanya paksaan terhadap siapapun untuk memeluk Islam. Sehingga para nabi, rasul, dan ulama sebagai pewarisnya hanya diperkenankan mengajak dan memberi peringatan, tanpa memaksa. Sebab, keimanan seorang hamba didasari oleh kehendak Allah Swt. Barang siapa yang diterangkan mata hatinya, niscaya ia akan masuk Islam.
Hal di atas juga sebagaimana yang terkandung dalam Tafsir Ibnu Katsir mengenai surah Al-Baqarah ayat 256.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Sebetulnya moderasi beragama telah tumbuh dan melekat pada ajaran Nabi Saw dahulu jauh sebelum dunia mengenal konsep tersebut. Alih-alih memerangi dan memaksa masyarakat Yahudi Madinah untuk berislam kala itu, Nabi justru meneken perjanjian guna hidup berdampingan sesuai keyakinan masing-masing, perjanjian yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Prinsip moderasi beragama ini sama sekali tidak berkaitan dengan kebenaran suatu agama, melainkan menghormati dengan hidup beriringan dalam damai dan harmoni.
Hubungan yang Harmonis
Islam tidak pernah memaksa kehendak siapapun untuk mengikuti ajarannya bahkan turut menghormati keberadaan mereka yang berbeda keyakinan. Demikian halnya dengan pancasila, tiap butirnya mengandung nilai universalitas dan dinamis sehingga keharmonisannya dengan moderasi Islam cocok menjadi payung kehangatan kehidupan berbangsa bagi kekayaan kultur dan agama pada tubuh masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan ideologi kanan-kiri di atas, bukan hanya karena gerakannya yang menggunakan jalur kekerasan, tapi juga ajaran yang ditawarkan tidak mengakar dan tidak mampu menjawab tantangan kehidupan bernegara serta korelasinya dengan masyarakat multikultural. Oleh karenanya, tak ayal bila para nasionalis, ulama, dan pakar menilai pancasila sebagai ideologi paling tepat bagi bangsa Indonesia.
Editor: Soleh