Cinta Tanah Air Ala Soekarno dan H. Agus Salim
Sejak mendirikan Partai Nasional Indonesia ( PNI ), tahun 1927, Ir. Soekarno sering mengampanyekan gagasan nasionalisme. Suatu ketika, dalam rapat terbuka PNI, Soekarno mengelu-elukan Indonesia sebagai Ibu Pertiwi yang kaya raya, amat cantik rupanya, sangat banyak sumber daya alamnya.
Oleh sebab itu, di akhir kampanyenya, Soekarno menyerukan pendengarnya untuk menghambakan, membudakkan dirinya pada Indonesia, dan menjadi putra yang setia serta cinta tanah air.
Menanggapi kampanye itu, H. Agus Salim angkat bicara dalam tulisannya. Menurut Salim, mengenai Ibu Indonesia yang dielu-elukan oleh Soekarno itu alasannya benar, tapi tujuannya tidak.
Karena menurut Nastir, semuanya harus berdasarkan pada lillahi ta’ala, makanya cinta pada tanah air Ibu Indonesia bukan tergantung pada kaya raya, cantik, dan sumber daya alamnya, Tapi harus karena Allah SWT.
Lalu, Agus Salim menganalogikan cinta tanah air dalam do’a-nya Nabi Ibrahim A.S dengan cinta tanah air Indonesia. Surat Ibrahim ayat 37 dijadikan landasan teori epistimologis oleh Salim dalam berargumen, yang artinya ;
“Wahai Tuhan kami, telah kutempatkan sebagian keturunan ku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahmu yang dipersucikan (Muharram), supaya mereka mendirikan sembahyang! Maka, jadikanlah hati sebagian menusia cenderung kepada mereka dan berilah rizki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Dalam surat itu dijelaskan bahwa, Nabi Ibrahim AS telah meninggalkan sebagai keturunannya di tengah gurun pasir tandus, tidak cantik seperti bumi Indonesia, tidak kaya seperti alam Indonesia, dan bahkan sulit tumbuh tanaman dis ana akibat tidak subur tanahnya. Inilah yang dimaksud Agus Salim cinta tanah air karena Allah SWT. Cinta yang tidak berdasarkan paham kebendaan semata.
Pancasila Sebagai Landasan Ber-Nasionalisme
Barangkali, sedikit prolog di atas akan kembali menyadarkan kita bahwasanya cinta tanah air (nasionalisme) tidaklah baik jika dilandaskan dengan paham kebendaan. Agar tulisan ini bernuansa nasionalis, kita tidak usah melihat begitu dalam kepada landasan teori epistimologis Agus Salim yang bersifat subjektif keislaman. Barangkali, dengan melihat realita masa kini, kita semua bisa menilai seobjektif mungkin di tengah-tengah umat pluralistis ini.
Lihatlah bumi Indonesia hari ini, apakah masih layak jika kita mengelu-elukannya sebagai bumi yang kaya raya dan cantik rupanya? Betapa banyaknya hari ini, pertahun 2021, proyek-proyek atau tambang-tambang yang ‘memperkosa’ ibu Indonesia kita.
Ibu Indonesia hari ini tak layak lagi dielu-elukan sebagai negeri yang cantik, indah, dan kaya raya. Sehingga, kampanye nasionalisme itu hanya bersifat sementara dan pasif. Atau bisa dikatakan hanya berlaku di zaman itu saja.
Kemudian, sudut pandang masa kini dalam perspektif nasionalisme Indonesia tentu juga akan sangat berbeda dengan Indonesia zaman itu. Barangkali, juga perlu bagi kita untuk menerka-nerka motif kampanye itu. Pada zaman penjajahan, kaum kolonialis berusaha ‘mencuri’ hak-hak bangsa ini, apakah itu tanahnya, tanamannya, alamnya, dan bahkan hidupnya.
***
Maka, gagasan nasionalisme Soekarno tersebut bercorak nasionalisme anti penjajah, dan Agus Salim hadir untuk kembali meluruskan niat bangsa Indonesia dalam ber-nasionalisme serta melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kolonialisasi.
Pancasila yang hadir dalam tubuh bangsa Indonesia -pada 1 Juni 1945- di tengah perjuangan merebut kemerdekaan adalah bentuk manifesto nilai-nilai nasionalisme tersebut. Pancasila yang secara denotatif bermakna lima prinsip dan atau asas ini, berhasil mempersatukan semangat para pejuang dan keberagaman bangsa ini kala itu.
Dan pada saat ini, pancasila lah yang harus dijadikan landasan ber-nasionalisme, terlepas dari debat pancasila ideologi atau dasar negara, ataupun pancasila dapat diubah maupun tidak. Namun, hal yang urgent adalah memperhatikan nilai-nilai universal dan komprehensif di dalamnya. Sekaligus, merangkul seluruh elemen masyarakat Indonesia di tengah pluralisnya. Maka, dengan ini pancasila pantas dan punya hak dijadikan sebagai pedoman ber-nasionalisme.
Objektifikasi dalam Ruang Publik Pancasilais
Cinta tanah air, nasionalisme, persatuan, dan kesatuan bangsa sangat jamak didengungkan. Entah di hari-hari besar bangsa ini, ataupun di kampanye-kampanye elit politik. Hal ini sangat lumrah terjadi karena memang itulah yang dibutuhkan oleh bangsa yang pluralis ini.
Pancasila yang menjadi landasan kita ber-nasionalisme mesti terimplementasi dengan seutuhnya. Pengimplementasian tersebut dapat diwujudkan dengan upaya-upaya objektifikasi dalam Ruang Publik Negara Pancasila ini.
Dan, dengan hadirnya pancasila, ia dapat menjadi pengawal, pelindung, serta akan meredukasi tindakan, ataupun upaya-upaya in-nasional dalam di tengah pluralnya Indonesia.
Objektifikasi secara sederhana dapat kita artikan sebagai upaya melebur ke tengah-tengah objek tanpa mengegosentriskan nilai-nilai subjektif masing-masing. Maka, dalam ruang publik, pancasila nan pluralis ini, setiap golongan mesti ber-objektifikasi agar terwujudnya cita-cita bersama.
Dan pada akhirnya, ruang publik yang identik dengan keberagaman tadi tidak akan berbenturan. Dan semangat nasionalisme bangsa Indonesia akan terawat dan bersinergi satu sama lain dengan adanya upaya-upaya objektifikasi tersebut.
Editor: Yahya FR