Saat ini, gonjang-ganjing tentang radikalisme termasuk masjid-masjid radikal sedang ramai diperbincangkan. Kebetulan saya sedang di Indonesia dan sempat menonton acara Indonesia Lawyers Club asuhan Karni Ilyas di TV One beberapa hari lalu. Sebuah tema yang menurut saya cukup menarik di satu sisi. Tapi juga cukup menggelikan di sisi lain.
Betapa tidak, isu radikalisme selalu menjadi isu panas dunia. Dari Timur Tengah ke Asia Selatan, Asia ke Afrika, hingga ke Eropa dan Amerika, pembahasan isu radikalisme selalu menarik. Bahkan, tidak jarang mendominasi “headlines” berita-berita nasional maupun internasional.
Yang menarik kemudian adalah sebuah sebuah kesimpulan tentang radikalisme ini diakui sebagai hasil penelitian di masjid-masjid. Mungkin tepatnya hasil memata-matai Masjid selama ini. Yang intinya menyimpulkan bahwa ada beberapa masjid di Indonesia yang terindikasi radikal. Dan lucunya pula masjid-masjid tersebut dilabel radikal karena ceramah-ceramah yang dianggap tidak sejalan dengan paham pihak-pihak tertentu. Fatalnya lagi, pihak yang melakukan penelitian ini tanpa malu-malu mengaku memang berafiliasi ke pihak-pihak tertentu dalam pertarungan politik.
Maka di sinilah dilemma besar dari apa yang diakui sebagai penelitian itu. Seringkali definisi radikalisme diukur dengan ukuran kepentingan sempit dan sesaat. Radikalisme, misalnya, sering digoreng oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik. Khususnya di musim kampanye seperti saat ini.
Pandangan Paradoks
Hal yang paling menggelikan bagi saya adalah penampakan radikalisme yang dibangun untuk mengusung kepentingan tertentu itu sekaligus menelanjangi karakter ketidakjujuran (hypocritical attitude) sebagian orang.
Bagaimana tidak. Saya melihat betapa banyak orang membanggakan kebebasan berekspresi dunia Barat, bahkan dalam menghujat figur-figur yang dihormati dan disucikan oleh sebagian orang. Ambillah sebagai misal ketika Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai “suicide bomber” (pelaku bom bunuh diri) oleh seorang jurnalis Denmark.
Surat kabar Denmark itu tiba-tiba menjadi sangat populer karena kasus yang kemudian dikenal dengan “Danish Cartoon” yang menggambar seseorang yang kemudian diakui sebagai Nabi Muhammad. Runyamnya lagi gambar yang diakui sebagai Nabi Muhammad itu seolah menyimpan bom di dalam sorbannya.
Oleh pihak-pihak yang dengan mudah dan enteng menuduh orang lain sebagai radikal itu melihat pelecehan Rasulullah SAW sebagai sekedar bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression).
Di sinilah kemudian tampak perilaku paradoks itu. Misalnya jika memang masjid-masjid itu kerap ditempati oleh para penceramah yang dianggap keras. Entah apa definisi ceramah keras itu. Sebab definisinya juga kadang tidak jelas. Tergantung siapa dan kepentingan apa yang bersembunyi di balik pelabelan itu.
Atau anggaplah masjid-masjid itu memang ditempati ceramah oleh sebagian penceramah yang memiliki pandangan berbeda, bahkan berseberangan dengan pihak yang melakukan (so called) penelitian. Misalnya, seorang penceramah mengharamkan umat Islam untuk memilih non Muslim untuk sebuah posisi politik.
Apakah hal itu radikal? Manakah yang lebih radikal mengolok-ngolok figur agama yang dihormati, bahkan disucikan, atau menyampaikan pandangan politik berdasarkan penafsiran agama yang diyakini masing-masing?
Saya melihatnya di sinilah penelanjangan kemunafikan (hypocrisy) itu menjadi semakin nyata. Bahwa pelabelan-pelabelan yang ada kerap kali terbangun di atas kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat.
Bagi kami, di dunia Barat, perilaku ketidakjujuran seperti ini bukan barang baru. Ketika ada pelaku kekerasan yang kebetulan beragama Islam, maka dengan serta-merta dilabeli dengan “terror”. Biasanya dinamai Muslim terrorist atau Islamic terrorist.
Belakangan ketika terjadi berbagai kekerasan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh warga Kristen Putih Amerika, kata terroris itu tidak pernah terhubungkan dengan afiliasinya. Apakah itu afiliasi agama ataupun afiliasi ras. Christian terrorist atau white terrorist misalnya.
Maka tuduhan kepada masjid-masjid sebagai Masjid radikal harusnya juga dilihat dalam kerangka kebebasan berekspresi. Apalagi kalau ukuran pelabelan itu lebih dititikberatkan pada pandangan politik. Kalaupun pelabelan itu sebuah keharusan, maka sikap kemunafikan haruslah dihindarkan. Jangan sekelompok orang dengan enteng dilabeli radikal. Sementara perilaku yang sama pada orang lain justru dilabeli dengan kebebasan berekspresi.
Tapi bagi saya, hal seperti ini tidak mengejutkan. Bukankah dunia kita sedang didominasi oleh kepura-puraan, bahkan kemunafikan!
*) Presiden Nusantara Foundation