Saat menyinggung Katarsis, ada film horror thriller Amerika berjudul The Purge yang menarik untuk dibahas. Dalam film ini, digambarkan negara Amerika sampai pada masa kriminalitas hampir 0%. Hal ini terjadi karena inovasi baru dari pemerintah untuk mengumpulkan segala jenis kriminalitas dalam satu malam penuh.
Jadi, ada satu malam dalam setahun di mana segala bentuk kriminalitas dilegalkan yang disebut dengan the purge (pembersihan). Ide film ini, muncul dari teori katarsis di mana dalam setahun penuh terkumpul berbagai emosi-emosi negatif masyarakat untuk kemudian dibersihkan dalam satu malam.
Dewasa ini, kita sering mendengar dari berbagai akun media sosial yang menyarankan katarsis sebagai solusi mengatasi emosi negatif atau amarah. Katarsis dipercaya dapat mengatasi emosi dengan cara menyalurkan energi yang berlebih pada suatu kegiatan yang tidak menganggu orang lain.
Tak sedikit remaja yang awalnya merasakan emosi yang memuncak, akhirnya terbantu mengurangi perasaan negatifnya dengan jalan katarsis ini. Kegiatan katarsis atau pelampiasan emosi ini bervariasi, ada yang positif seperti menulis, curhat, olahraga, menyanyi.
Ada juga yang negatif seperti berteriak, merusak benda, atau berkendara kecepatan tinggi. Jadi, bagaimanakah sebenarnya konsep katarsis ini? Bagaimana Psikologi Islam dalam memandang katarsis sebagai alat mengatasi emosi?
Konsep Katarsis
Menurut APA Dictionary, kata Katarsis berasal dari Yunani yang berarti penyucian, pemurnian. Teori Katarsis ini berdiri di bawah aliran psikoanalitik yang berarti pelepasan emosi yang sebelumnya ditekan terkait dengan peristiwa traumatis yang terjadi ketika dibawa kembali pada kesadaran dan dialami ulang. Secara umum, katarsis dapat diartikan juga sebagai pelepasan emosi yang kuat dan terpendam.
Teori katarsis berasal dari psikoanalisis Sigmund Freud. Berdasarkan pandangan Freud, manusia bertindak karena dorongan naluri eros dan thanatos. Secara sederhana, naluri eros adalah sesuatu yang konstruktif, sedangkan naluri thanatos sesuatu yang destruktif. Dengan begitu, pada asalnya manusia bersifat agresif, senang merusak, membunuh, ataupun menghancurkan.
Hanya saja, dorongan agresif ini tidak sepenuhnya bisa diterima dan dibenarkan masyarakat. Hambatan ini menyebabkan penumpukan ketegangan dalam diri manusia yang ditekan masyarakat tadi.
Menurut Freud kekuatan agresif yang tertahan ini sewaktu-waktu dapat meledak. Untuk itu, harus ada upaya mengurangi, menyublimkan, hingga melenyapkan emosi itu. Upaya mengurangi agresi dengan menyalurkan dorongan pada hal yang bersifat konstruktif dan tidak merugikan orang lain ini yang disebut katarsis.
Katarsis bermanfaat menghilangkan serta mengubah kebiasaan negatif, mengurangi rasa sakit, mensugesti positif, mengurangi stress pasca trauma, dan membuat jiwa lebih tenang.
Lebih jauh, Hurlock menjelaskan katarsis merupakan proses mengeluarkan energi emosional yang mengganggu dan membersihkan jiwa dengan mengangkat sebab terpendam untuk kemudian mengekspresikan dorongan terpendam tersebut sehingga bisa mengembangkan pandangan hidup yang menyeluruh.
Contoh katarsis bisa kita temukan di lingkungan sekitar kita. Misal dalam konteks masyarakat Indonesia yang sudah jenuh dengan kasus korupsi, mereka akan cenderung senang melihat film action sejenis The Raid, yang menampilkan adegan penumpasan kejahatan korupsi dan pemukulan oknum pejabat jahat.
Selain itu, banyak kegiatan-kegiatan lain yang termasuk pelampiasan emosi negatif seperti menulis, menyanyi, berteriak, dll. Memang di sini perlu kecerdasan emosional untuk melampiaskan energi agar konstruktif dan tidak mengganggu orang lain untuk mencapai kelegaan jiwa itu.
Kritik Katarsis
Menurut Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligent, katarsis terkadang dipuji sebagai upaya mengatasi kemarahan, tetapi berdasarkan temuan Zillmann, ada argumen yang menentang katarsis itu.
Hal ini ditemukan sejak tahun 1950an, ketika para psikolog mulai menguji efek katarsis secara eksperimental dan dari waktu ke waktu menemukan bahwa melampiaskan kemarahan ternyata tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak menghilangkan emosi negatif itu. (meskipun ada perasaan puas ketika melampiaskan).
Tice berpendapat, melampiaskan kemarahan adalah salah-satu yang terburuk untuk menenangkan diri. Ledakan kemarahan biasanya memompa otak emosional dan membuat orang merasa lebih marah, bukanya berkurang.
Hal ini berefek pada memperpanjang suasana hati bukanya mengakhirinya. Jauh lebih efektif ketika orang pertama kali menenangkan dirinya kemudian dengan cara yang konstruktif dan tegas menghadapi orang tersebut untuk menyelesaikan perselisihan. Seperti pendapat seorang guru Tibet, cara untuk mengatasi amarah: “jangan tahan marah, tapi jangan juga bertindak saat marah”
Katarsis Menurut Psikologi Islam
Psikologi Islam didasarkan pada worldview Al-Qur’an dan sunah. Dalam hal ini, psikologi Islam menggunakan gambaran akan manusia sesuai dengan apa yang Allah SWT jelaskan selaku penciptanya.
Maka, psikologi Islam memiliki dimensi ketuhanan yang oleh sarjanawan Barat selalu berusaha disingkirkan dari disiplin ilmu. Untuk melihat katarsis ini, psikologi Islam perlu menjelaskan konsep emosi negatif/marah dalam Al-Qur’an dan sunah.
Merasakan marah merupakan hal yang alami. Ini merupakan salah satu mekanisme bertahan hidup yang paling primitive. Efek dari kemarahan bisa menjadi positif maupun negatif. Dalam hal agama, misalnya, ketika nabinya, agamanya dihina dan marah ingin membela, maka ia memiliki kecintaan dan kesungguhan beragama yang baik.
Berbeda ketika kasus dirinya terjatuh dan ditertawakan, kemudian ia marah ingin memukul, di sinilah marahnya menjadi negatif dan tercela. Meski begitu, kemarahan yang membabi-buta sehingga hilang kesadaran hati dan kebijaksanaannya akan berakibat fatal.
Dalam Al-Qur’an, disebutkan beberapa ayat yang menjelaskan hakikat marah. Salah satunya yaitu keutamaan menahan amarah dan memaafkan merupakan suatu kebajikan.
***
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-Imran: 134)
Selain dari Al-Quran, dalam hadis juga dijelaskan kuatnya orang yang bisa menahan hawa nafsu amarahnya.
“Dari Abu Hurairah RA bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah wasiat kepadaku.” Sabda Nabi SAW: “Janganlah engkau mudah marah.” Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau, “Janganlah engkau mudah marah.” (HR Bukhari).
“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.” (HR Ath-Thabrani).
Dari pelbagai dalil di atas, Islam memandang marah sebagai sesuatu yang kodrati dan wajib dikendalikan. Perbuatan yang dilandasi amarah pasti kehilangan dasar pijakan atas pengetahuan.
Maka, sifat amarah, hasrat berlebihan, dan fanatik, oleh Al-Qur’an ditegaskan sebagai bagian dari orang-orang yang berpaling dari kebenaran. Dengan begitu, Psikologi Islam memandang katarsis bukan menjadi sebuah solusi mengurangi emosi amarah. Karena amarah dipandang perlu dikendalikan, dikontrol, agar tidak merusak.
Sementara, melihat berbagai hasil positif katarsis dalam beberapa kasus remaja, Psikologi Islam memandangnya bukan sebagai solusi yang mendasar. Karena, katarsis ini hanyalah sebuah pengalihan energi saja. Misal dalam metode menulis, curhat, ataupun olahraga dalam mengalirkan energi negatif, ia hanya menyentuh permukaan dengan memberikan kelegaan sementara.
Psikologi Islam melihat setiap permasalahan emosi apapun harus diselesaikan sampai pada akarnya. Maka, solusi yang Islam tawarkan untuk mengatasi amarah yaitu skill problem solving seperti kontrol diri, berpikir jernih, sabar, dan memaafkan. (QS an-Nahl/16:126-127, QS asy-Syuura/42:40, QS. Ali Imran: 134).
Dengan begitu kemampuan mengendalikan emosi ini akan mengantarkan individu memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.
Editor: Yahya FR