Covid-19 atau yang biasa disebut virus corona sejak 2 pekan terakhir oleh WHO telah ditetapkan sebagai pandemi. Corona telah menyerang banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Bahkan kasus positif maupun korban jiwa di Indonesia semakin bertambah setiap harinya. Penyebaran virus Corona di Indonesia menjadi momok menakutkan yang semakin menambah kepanikan masyarakat.
Secara sosiologis, Covid-19 bisa dikatakan sebagai virus transnasional, sama halnya dengan wabah DBD. Berdasarkan data yang beredar di media, per 19 Maret 2020 sudah terdapat 369 kasus positif, 17 sembuh dan 32 orang meninggal dunia. Hal ini sebagai alarm bagi kita untuk terus siaga, karena korban virus ini potensial akan terus bertambah seiring dengan masih belum adanya kebijakan yang jelas dari Pemerintah.
Dilema Mobilitas dan Lockdown
Mudahnya Covid-19 menyebar salah satunya karena cepatnya frekuensi mobilitas manusia. Mobilitas menjadi kunci penyebaran Covid-19 yang begitu cepat menyebar ke seluruh dunia. Tak kurang dari lebih 84 negara yang terjangkiti virus mematikan tersebut. Penyebarannya pun tidak pandang bulu, mulai dari elit politik dunia di berbagai negara, pemain dan pelatih sepak bola juga terjangkiti virus mematikan tersebut.
Sejak awal kemunculannya di Wuhan, Covid-19 menjadi virus yang masih belum jelas berasal dari mana? Asumsi yang beredar bahwa Covid-19 merupakan virus dari kelelawar, ular dan binatang lainnya. Bahkan juga ada yang mengatakan buatan untuk kepentingan tertentu. Terlepas dari berbagai praduga tersebut, kita harus menyikapi Covid-19 sebagai persoalan bersama dan harus dicarikan solusi secara cepat.
Saat ini, lockdown menjadi terobosan yang dilakukan oleh sebagian negara untuk menanggulangi penyebaran Covid-19. Misalnya Malaysia, Prancis, Filipina, Argentina dan Negara lainnya. Tetapi hal ini akan menghentikan mobilitas manusia. Padahal bisakah manusia di era saat ini tidak melakukan mobilitas, terutama pekerja lepas?
Lockdown sepertinya memang cocok dengan elit menengah ke atas yang secara finansial cukup untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Selain itu, dengan lockdown siapkah suatu negara akan segala konsekuensi ekonominya? Suatu kondisi yang cukup dilematis.
Sudah banyak lembaga/instansi dan perseorangan yang membatalkan dan terbatalkan program kegiatannya karena dampak virus ini. Di ranah perguruan tinggi misalnya sudah banyak yang menginstruksikan civitas akademika-nya untuk menghentikan sementara kegiatan seremonial yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari seperti wisuda, sampai seminar nasional dan internasional.
Selain itu, ada juga beberapa perguruan tinggi yang menginstruksikan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) dilaksanakan secara online yang bisa diakes dari tempat tinggal tanpa tatap muka langsung. Hal ini dilakukan untuk mengurangi frekuensi interaksi dan mobilitas manusia di ruang akademik. Covid-19 menjadi perhatian kita bersama dan tindakan tersebut merupakan langkah preventif untuk mereduksi penyebarannya.
Dalam konteks ini, jauh sebelum kejadian wabah virus Covid-19, Bill Gates (2016) dalam sebuah forum telah mengingatkan bahwa “tantangan kita di masa depan bukan lagi persoalan geopolitik dan perang bersenjata, akan tetapi virus. Untuk itu, sudah saatnya kita peduli untuk memaksimalkan upaya proteksi ketahanan tubuh manusia melalui vaksinasi, terutama di negara-negara miskin”.
Belajar dari China
Melihat fenomena ini, kapankah kemudian penyebaran virus ini bisa direduksi? Dan kapankah Covid-19 berhenti menghantui ruang publik kita? Hemat saya, Covid-19 tidak akan bisa berakhir tanpa ada upaya tegas untuk menghentikan sejenak mobilitas manusia dari tempat wabah itu muncul atau wilayah yang terjangkit. Pemerintah juga harus segera mengeluarkan kebijakan yang tepat guna, bukan hanya berisikan imbauan-imbauan yang semakin menimbulkan kepanikan di masyarakat.
Covid-19 sendiri penyebarannya masih akan terus terjadi di berbagai kota yang padat-berkerumun, untuk itu kebijakan pemerintah pusat harus berkoordinasi dengan daerah. Kita harus belajar dari China sebagai negara pertama yang terjangkit Covid-19 dengan 90 ribu kasus, mampu meminimalkan korban jiwa sekitar 4 ribu-an warga yang meninggal.
Mitigasi yang dilakukan pemerintah China menjadi contoh ideal. Bahkan pasca penurunan korban yang signifikan, mereka turun langsung untuk membantu Italia dan negara-negara lainnya.
Selain itu, China dengan segala kemampuannya bergotong royong dengan negara-negara yang terjangkit corona, mulai dari penyediaan vaksin, tenaga medis dan lain sebagainya tanpa ada instruksi dari siapapun. Mereka melakukannya murni atas dasar solidaritas kemanusiaan. China mengajarkan gotong royong sebagai aktualisasi bersama seluruh negara untuk memerangi virus yang telah memakan puluhan ribu korban.
Italia sebagai Negara terbesar kedua penyebaran Covid-19, sebelumnya tidak terlalu memperhatikan covid-19, sehingga kemudian penyebarannya sukar dibendung. Belajar dari fenomena tersebut, pemerintah Indonesia harus bersinergi dengan pihak-pihak terkait. Perlunya bergotong royong untuk menyikapi bencana kemanusiaan ini.
Kemudian pentingnya sejenak melakukan upaya social distancing untuk mencegah penyebaran Covid-19. Tetapi, upaya tersebut juga harus selaras dengan penanganan bantuan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Hal inilah yang mendesak bisa dilakukan dengan cepat oleh pemerintah, agar dapat mengurangi persebaran virus corona di masyarakat.
Karena jika hal ini tidak segera diantisipasi dengan kebijakan yang proporsional, maka kita akan menjumpai korban yang terus menerus bermunculan. Serta kerugian secara sosial dan ekonomi akan semakin menambah daftar panjang beban pemerintah. Naudzubillah.
Editor: Nabhan