Terkadang saya iri dengan istri saya yang begitu dekat dengan anak perempuan saya yang baru berumur 11 bulan itu. Bagaimana tidak, baru ditinggal ibunya ke kamar mandi lima belas menit saja, sudah seperti ditinggal bertahun – tahun. Ketika istri saya selesai dari kamar mandi, anak perempuan saya langsung nempel, ndusel dengan istri saya. Lha saya, kerja 7 jam, pulang dari kerja boro – boro dikangeni, malah dicueki.
Tetapi, di sisi lain saya memaklumi itu semua. Dan percayalah, permakluman itu lebih besar dari rasa iri saya. Bagaimana tidak, anak saya hampir non – stop berada di sisi istri saya. Tidur, makan, nenen, main – main. Dengan keintiman semacam itu, dengan frekuensi yang begitu sering, wajar kalau anak saya terlihat tidak bisa lepas dari ibunya.
Lho kok nonstop, berarti ayahnya tidak pernah ngemong anak? Pernah, makanya saya bilang hampir nonstop bukan nonstop. Saya menggantikan istri saya ngemong anak kalau istri saya baru masak, mandi, mencuci, dan bersih – bersih. Juga di beberapa waktu senggang saya.
Lho kok istrinya banyak kerjaan rumah, berarti suami tidak pernah melakukan pekerjaan rumah? Pernah, saya tidak jarang mencuci baju dan membersihkan rumah. Kalau memasak, jujur saya memang tidak bisa (jangan diolok – olok ya).
Intinya berbagai hal itu, saya kerjakan berganti – ganti antara saya dan istri saya. Tetapi frekuensi kebersamaan istri saya dengan anak saya lebih sering daripada saya dengan anak saya. Sebagaimana frekuensi mencari nafkah dalam keluarga kecil kami yang hanya dilakukan oleh saya.
Ramadhan dan Tresno Jalaran Soko Kulino
Dalam budaya Jawa populer ada ungkapan tresno jalaran soko kulino (cinta karena terbiasa). Jangan sempitkan cinta di sini hanya persoalan remeh hubungan laki – laki dan perempuan yang kata banyak remaja lebih dari sekadar teman itu. Peristiwa anak saya dan ibunya yang begitu nempel, ndusel adalah salah satu contoh peristiwa tresno jalaran soko kulino tadi.
Bulan Ramadhan adalah sebuah kemewahan bagi muslim. Bagaimana tidak, umat Islam akan terkondisikan secara kondusif untuk terbiasa berkorban karena Allah. Semua umat Islam, secara serentak berpuasa. Hal yang tidak mungkin ada di bulan lain. Segala nafsu yang ditahan (makan, minum, syahwat birahi, amarah) dilakulan karena Allah.
Kalau bukan karena Allah, karena apa ? Materi tidak, status sosial juga tidak. Artinya Ramadhan itu sendiri adalah sebuah rentang waktu di mana umat Islam dan Allah berproses dalam sebuah frame tresno jalaran soko kulino dengan kadar yang lebih tinggi dibanding bulan – bulan yang lain.
Berhasil atau tidaknya proses yang dijalani seseorang di bulan Ramadhan akan terbukti di bulan – bulan pasca Ramadhan. Bukan di bulan Ramadhan itu sendiri.
Kita lihat diri kita, apakah setelah Ramadhan selesai kita akan jadi semakin rakus, pemarah, dan tidak bisa mengendalikan syahwat birahi? Kalau iya, mungkin saja puasa kita selama bulan Ramadhan gagal. Yang artinya kesempatan yang diberikan Allah langsung untuk berproses secara tresno jalaran soko kulino kita sia – siakan belaka. Kalau tidak, mungkin saja berhasil.
Allah Menyindir Umat Islam
Ramadhan kali ini berbeda. Tidak ada hiruk pikuk. Sebagian besar orang disarankan untuk menjalani Ramadhan di rumah saja. Karena pandemi, jika tidak dicegah akan menyebar, tak terkontrol dan merugikan manusia itu sendiri.
Ramadhan berubah menjadi waktu yang benar – benar sunyi. Banyak orang merasa kecewa. Yang tadinya di waktu – waktu Ramadhan banyak perayaan – perayaan: banyak makanan di masjid, banyak orang jualan makanan di pinggir jalan, pelampiasan menyantap makanan setelah buka puasa, buka puasa bersama komunitas – komunitas di mana kita bernaung, kini tidak bisa seperti itu. Tetapi, bukankah sebenarnya Ramadhan itu identik dengan kesunyian, bukan perayaan ?
Entah mengapa Ramadhan dan Pandemi ini membuat saya jadi berimajinasi, bahwa sebenarnya umat Islam disindir oleh Allah. “Hai umat Islam, jangan sibuk dengan duniamu yang fana itu, di sini ada Aku yang menunggumu untuk bermesraan.” Kira – kira seperti itulah imajinasi sindiran Allah yang saya maksud jika diterjemahkan dalam rangkaian kalimat.
Tentunya tidak semua umat Islam akan mendekat kepada Allah lantas berhubungan secara lebih intim dengan-Nya. Tapi, juga tidak mungkin juga tidak ada yang mendekat.
Kalau dulu, sebelum pandemi kita mengidentikkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un hanya ketika ada orang meninggal saja. Di masa pandemi ini, setiap waktu adalah innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Tetapi, bukankah seperti itu jalan dari kehidupan. Berasal dari Allah dan nantinya akan menuju kepada Allah atau kembali kepada Allah lagi. Bagaimana cara untuk melalui jalan itu kalau tidak dengan cara mendekat, berhubungan secara intim dengan Allah?
Mungkin, mungkin lho ini, sekarang kita sedang dibimbing oleh Allah untuk menjalankan Ramadhan yang sesungguhnya. Supaya nanti, kalau kita sedikit saja jauh dari Allah, kita akan merasa kangen. Sebagaimana anak perempuan saya yang masih balita itu, yang baru ditinggal lima belas menit oleh ibunya saja sudah seperti ditinggal bertahun – tahun.