Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan mengenakan hijab. Sontak kasus ini hampir merajai pemberitaan nasional dan internasional.
Iran menjadi buah bibir (baca: viral) pasca kasus tersebut. Namun, tidak lama akhirnya orang-orang ‘sepertinya’ sudah tidak lagi membicarakan hal tersebut. Lalu kemudian pada 14 April 2024 yang lalu, Iran kembali viral atas aksi ‘nekadnya’ menghantam Israel dengan ratusan drone dan rudal balistik. Sirine peringatan bertiup kencang hingga masyarakat pun panik. Serangan Iran ke Israel merupakan balasan setelah sebelumnya Israel menyerang konsulat Iran yang ada di Damaskus, Suriah pada 01 April 2024.
Bagaimana tidak? Tidak ada satu pun negara lain yang secara terbuka melakukan serangan Israel. Mafhum Israel dianggap sebagai negara dengan militer yang kuat, bahkan sampai memiliki irone dome (kubah besi pertahanan udara yang dapat menghalau dan menghancurkan roket musuh). Namun, dunia dihebohkan atas keberhasilan rudal Iran menembus pertahanan sampai merusak pangkalan udara Israel, Nevatim Airbase, di bagian selatan.
Serangan Iran: Dari Euforia, Dukungan dan Sentimen Sunni-Syiah
Beberapa hari pasca serangan Iran, media sosial terutama X, memenuhi cuitan tentang Iran. Hampir semua pemberitaan menarasikan efek dari konflik Iran-Israel. Tak pelak pencarian kata ‘Iran’ di X sampai satu juta kali selama dua hari terakhir. Berbagai pendapat saling silang. Sidang Dewan Keamanan PBB (yang tiba-tiba diadakan) terlihat menegangkan. Perwakilan dari kedua negara menyodorkan pendapat masing-masing untuk diterima. Ibarat anak kecil, Israel cengengesan, mengamuk dan menuding Iran bisa mengganggu stabilitas Timur Tengah. Sementara Iran, menepis bahwa serangan balasan tersebut sudah sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB.
Selain itu, warga Gaza yang beberapa bulan terakhir mengalami masa-masa yang sulit nampak gembira atas serangan Iran ke Israel. Seperti dilaporkan oleh Republika.co, warga Gaza bersuit dan menyerukan Takbir Allahu Akbar saat langit terang karena roket yang menyebrang.
Dukungan ke Negeri Persia
Tidak lama setelah serangan balasan Iran, beberapa negara secara tegas menyatakan dukungan, seperti China dan Rusia, kelompok perlawanan (muqawwamah) di antaranya Hamas, Hizbullah, Houthi, Islami Resistance (Irak dan Suriah ). Ulama besar Kesultanan Oman Grand Mufti Syeikh Ahmad bin Hamad al-Khalili mengapresiasi tindakan Iran.
Majelis Ulama Indonesia melalui bidang Hubungan Luar Negeri, Sudarnoto Abdul Hakim, seperti diberitakan Beritabaru.news, menyatakan bahwa serangan Iran adalah sikap patriotik terhadap kedaulatan negara. Tindakan Iran juga menunjukkan bahwa Israel adalah Common Enemy atau musuh bersama yang harus diberi pelajaran atas kejahatan besarnya.
Tak ketinggalan juga adalah tetangga kita Malaysia dibawa kepemimpinan PM Anwar Ibrahim begitu tegas anti-Israel dan bahkan sudah pernah disampaikan lewat forum-forum Internasional.
Majalah ternama Forbes (yang lokasinya di Fifth Avenue, New York, AS) yang dirilis pada 15 April 2024, memasang gambar rahbar Iran dengan judul Most Power People In the Word, The Most Powerful Man, Ayatullah Sayyid Ali Khameneni, No Hospital, No Schools, Only Military Bases were Target by Iranian Attack ( Orang yang paling berpengaruh di dunia, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, tidak menargetkan Rumah Sakit, Sekolah tapi hanya pangkalan militer).
Secara tidak langsung sekelas majalah Forbes sudah mengakui keunggulan Iran dan tentu tidak terlepas dari pemikiran pemimpim spiritualnya, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei.
Di Balik Serangan Iran: Sentimen Sunni-Syiah
Sisi lain dari kehebohan serangan Iran adalah media sosial kembali diramaikan narasi ‘Iran Hanya Bersandiwara’, ‘Syiah-Yahudi tetap Merangkul’, ‘Jangan Euforia berlebihan, Waspada Syiah’. Nampaknya sentimen Sunni-Syiah kembali bergaung dan menghiasi percakapan media sosial. Sebelumnya di Dewan Keamanan PPB, perwakilan Israel, di salah satu komentarnya menuduh Iran ingin membangun semacam kerajaan Syiah sambil memperlihatkan tab yang berisi konten rudal Iran melintas di atas Masjid al-Aqsa. Ia juga mewanti-wanti Arab Saudi dan UAE agar hati-hati dengan pengaruh Syiah lalu menyamakannya dengan Nazi. Pernyataan ini disiarkan oleh Al-Jazeera dan ramai setelah dibagikan oleh akun X @walfare_analysis.
Ada juga yang dilematis dalam melihat situasi saat ini. Pada satu sisi Iran secara mayoritas adalah Syiah. Dan merupakan negara berdaulat yang berani menyerang Israel. Di sisi lain, dibandingkan negara Arab yang mayorits Sunni dan tetangga dekat Palestina tak satupun di antara mereka yang berani ‘menegur’ Israel malah menormalkan kembali hubungan diplomatiknya.
Sebagian masyarakat masih terjebak kubangan narasi ‘Sunni-Syiah’. Jika ini yang masih dikedepankan, tentunya tujuan bersama dalam memberikan dukungan kemerdekaan ke Palestina akan melandai.
Kita juga perlu lebih banyak lagi ruang-ruang diskusi yang objektif terkait geopolitik Timur Tengah.
Indonesia Tetap Non-Blok
Isu Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel sempat beredar di pemberitaan. Salah satunya melalui The Time of Israel: Indonesia Agrees to Normalize ties with Israel as part of bid to join OECD-Official. Salah satu isi berita tersebut menyebutkan: “Normalisasi akan menandai perubahan yang menakjubkan bagi Indonesia pada saat sentimen anti-Israel di dunia Muslim semakin tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya akibat perang di Jalur Gaza”.
Namun pada pada 11, April 2024 Kemenlu melalui juru bicara, Lalu Muhammad Iqbal, menepis isu tersebut. Normalisasi Indonesia-Israel karena adanya rencana Indonesia masuk sebagai bagian dari Organization fo Economic Cooperation for Development (OECD).
Kita perlu mengamini, sejak era Bung Karno sampai era Jokowi, pandangan politik Indonesia masih ‘istiqomah’ dalam mendukung perjuangan Palestina agar menjadi negara yang berdaulat. Dalam jumpa pers, 16 April 2024, Sekretariat Presiden, Menlu Retno Marsudi, mengatakan sudah berkomunikasi dengan beberapa pejabat di Timur Tengah bahkan Iran agar tetap menahan diri dan menegaskan bahwa eskalasi tidak akan membawa manfaat bagi siapa pun.
Di sisi lain, seperti dikutip dari Antara.com, wakil ketua MPR RI, Syarifuddin Hasan, juga mengapresiasi langkah tanggap yang dilakukan Menlu. Perundingan di meja hijau, perlunya deeskalasi, langkah solutif dan berkelanjutan adalah harapan di lembaga legislatif ini.
Harus diakui bersama bahwa kekuatan Indonesia di kancah internasional memang sebatas ‘diplomatik’ saja. Kita tidak perlu membandingkan dengan negara lain yang siap pasang badan dengan kekuatan militernya. Indonesia harus tetap berada di antara Amerika, Rusia, Iran atau China sebagai mediator.
Lalu apa langkah masyarakat Indonesia? Tentu dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah pro-aktif menyuarakan perdamaian global. Selain ini kita harus berperan aktif di media sosial untuk meng-counter narasi-narasi yang pro-zionis. Perlu digaris bawahi “tweet war” tak kalah pentingnya dengan ‘drone war’. Banyaknya dukungan masyarakat dunia yang turun ke jalan menentang genosida Israel salah satunya karena aktifnya “tweet war” netizen.
Editor: Faiz