Feature

Patologi Etno-Religion Muhammadiyah dan NU

2 Mins read

Mari jujur bahwa “seteru” antara Muhammadiyah dan NU bukan seteru biasa. Ini bukan sekedar soal niat yang dibaca jahr atau sir. Ada tidaknya bacaan qunut dalam shalat Subuh. Atau sebutan sayidina dalam shalawat. Tapi, telah jauh mengakar karena terus dirawat dalam berbagai doktrin dan tausiyah. Semacam etno-religion yang memproduksi ke-aku-an. Dan pikiran benar sendiri. Semoga semua masalah bisa diurai.

Patologi Etno-Religion

Kedua ormas besar itu mengandung etno-religion yang tidak sederhana. Rumit dan klasik. Ini bukan hanya soal dua ormas yang berdiri, kemudian menyelenggarakan pengajian atau bersaing membangun masjid dan berebut umat. Jujur kami saling ‘bermusuhan.’ Ada beberapa kelompok pandangan terhadap Muhammadiyah dan NU.

Pertama sebagian kecil jamaah Muhammadiyah menganggap NU adalah kawanan ahli bid’ah, tempat di mana TBC bakal diberantas. NU adalah proyek dakwah yang harus ‘disunahkan’ dan ‘dibersihkan’ dari TBC. NU adalah kawanan orang-orang jumud, kolot, tradisional yang harus diberi pencerahan dan pemodernan. Pikiran ini demikian kuat di kalangan sebagian Muhammadiyah yang mengandung militansi sebagai bentuk gerakan purifikasi. Sampai di sini, maka terlihat gerakan Muhammadiyah begitu ofensif. Nahi munkar kerap diarahkan untuk memberantas bid’ah, takhayul, dan churafat.

Sebaliknya bagi NU, Muhammadiyah adalah kaum puritan, kawanan kecil tapi militan, yang melawan tradisi dan kemapanan. Bahkan, disebut pula sebagai inkarnasi Salafi Wahabi. Beberapa ulama menyebut Muhammadiyah tidak masuk kategori golongan Ahlu Sunah. Radikal dan fundamentalis. Muhammadiyah anti adat, tak suka tradisi. Muhammadiyah adalah Wahabi itu sendiri yang secara diametral berhadapan dengan tradisi pesantren dan doktrin Aswaja. Karena itu, ‘aqidah’-nya beda. Muhammadiyah itu bukan kita.

Setidaknya, kedua ormas besar terindikasi saling merawat perbedaan dan selisih kecil-kecil. Meski irisan perbedaan ideologi keduanya juga semakin menipis. Terlihat berbagai upaya untuk mendamaikan keduanya makin menguat. Meski tidak menyatukan secara ideologis.

Baca Juga  Iman dan Darah

Stigmatisasi

Walhasil, para peneliti Barat malah ikutan ‘ngompori’ dengan berbagai stigma yang ditabalkan pada keduanya agar berhadapan secara diametral. Para pengamat Barat malah memposisikan Muhammadiyah dan NU antitesis bagi yang lainnya: tradisionalis><modern, desa><kota. Ahli bidah><ahli sunah. Moderat><puritan. Kolot><pembaharu. Meski stigma macam ini sudah usang, seiring berkembangnya waktu dan dinamika keduanya.

Bagi saya, perbedaan Muhammadiyah dan NU sesunguhnya sudah tak bisa lagi relevan dengan pikiran dialektik itu. NU sudah berubah, pun dengan Muhammadiyah. Ibarat pendulum bisa bergeser ke kanan atau ke kiri sesuai sunatullah.

Sayangnya, ‘pikiran konfrontatif’ tak ikut reda. Bahkan tensinya cenderung naik, meski stigma dialektik keduanya telah menipis atau boleh jadi sudah tiada. Puluhan universitas modern, boarding school, rumah sakit yang sebelumnya dimonopoli Muhammadiyah justru lahir dari rahim pesantren yang dulunya pernah di cap kolot. Muhammadiyah pun juga balance tidak melulu membangun universitas, rumah sakit, atau sekolah-sekolah sekuler, tapi juga membangun tradisi pesantren berbasis agama yang sangat kuat.

Bersama Menggagas Moderasi

Realitasnya, ada ikhtiar agar keduanya saling mendekat dan ada yang pasang harga mati agar tetap berjauhan. Padahal, sudah tak lagi bisa ditarik batas tegas untuk membuat perbedaan. Tapi kenapa masih bersaing? Membangun rivalitas dan konflik-konflik yang terus dirawat ? Ada banyak jawaban, sebanyak itu pula soalan. Jadi, tak perlu dinafikkan. Sebab perbedaan keduanya adalah niscaya sebagai sebuah sunatullah.

Kami sadar tidak semua jamaah Persyarikatan paham sikap wasatihyah yang digagas para ulama Muhammadiyah. Terjadi pengerasan bahkan tidak menutup kemungkinan ada sebagian kecil yang mengalami migrasi ideologi. Dan kita sedang bekerja keras membangun gagasan gerakan wasathiyah dan moderasi.

Saya pikir, di NU juga sama. Tidak semua sepaham dengan konsep Islam moderat yang dikemas dalam Islam Nusantara. Tidak dinafikkan ada sebagian Nahdhiyin yang keras dan kaku bergaul. Kita berada pada titik yang sama melawan fanatisme dan radikalisme di tubuh sendiri. Ini tulisan cinta agar damai dan sentosa. 

Baca Juga  Erfan Dahlan: Putra KH Ahmad Dahlan yang Menjadi Mubaligh Ahmadiyah

Tahukah antum, ketika aku menulis tentang hal ini, aku menangis karena malu. Apa yang akan aku katakan nanti saat bertemu dengan Baginda Nabi SAW tentang perselisihan ini? Wallahu taala a’lam.

Editor: Arif

Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds