Falsafah

Membaca Teks-Teks dengan Hermeneutika Paul Ricouer

4 Mins read

Pertarungan Teks

Hermeneutika Interpretasi Paul Ricouer dalam Pertarungan Teks, belakangan terjadi krisis terhadap cara banyak orang menanggapi sebuah permasalahan.

Sehingga, tidak sedikit kemudian jatuh pada langkah praktis-ekstrim seperti pembunuhan, pemberontakan, dan seterusnya.

Dalam studi Islam, studi mengenai teks telah banyak dipersoalkan oleh para ijtihadiyyun (pembaharu). Dalam tulisan ini, penulis memilih Paul Ricoeur sebagai tokoh untuk melihat teks secara ontologis. Sebab studi teks Ricouer masuk pada wilayah hakikat dari sebuah teks.

Genealogi Pendekatan Fenomenologi Paul Ricouer

Mengutip Alex Sobur dalam bukunya Filsafat Komunikasi bahwa fenomenologi telah didefinisikan oleh Plato yakni kajian khusus terkait fenomena. Kemudian, Heidegger mendefinisikan lebih jauh bahwa fenomena juga berasal dari kata ‘Phaino” yang berarti membawa cahaya, menempatkan secara terang benderang, menunjukkan dirinya sendiri dalam dirinya, totalitas apa yang tampak dibalik cahaya dalam diri.

Definisi tersebut kemudian menjadi benih berkembangnya kajian fenomenologi dalam studi filosofis di era post-modernis, dengan percampuran old science and new knowledge.

Fenomenologi sebagai kajian filosofis mulai dikenal dan berpengaruh luas justru melalui visi dari Edmund Husserl (1859) dengan karyanya Logical Investigation (1901). Tidak puas dengan karya tersebut, Husserl menulis karya monumentalnya di Perancis saat menjadi dosen filsafat pada tahun 1917.

Saat itu, Husserl memperkenalkan konsep phenomenology trancendental dengan fokus pada aspek-aspek meditasi (meditation self). Sehingga tidak sedikit yang menyebutnya sebagai Founder of Phenomenology.

***

Setelah Husserl dengan berbagai karyanya tentang fenomenologi kemudian dilanjutkan oleh muridnya Martin Heidegger dalam bukunya Being and Time (1927), Heidegger mengembangkan pemahaman Husserl tentang being itself dengan memunculkan fenomenologi eksistensial. Pada era setelah atau bersamaan dengan Heidegger, muncul nama-nama besar fenomenolog yang lain seperti gadamer dengan fenomenologi hermeneutikanya, kemudian Sartre, Merleau-Ponty, termasuk salah satunya ialah Paul Ricoeur.

Baca Juga  Memperdebatkan Kebenaran “Sprachspiele” dalam Ruang Publik Beragama

Sebenarnya, untuk melihat Ricoeur sebagai seorang tokoh hermeneutika fenomenologi bisa dipetakan secara sederhana. Sebab, ia termasuk tokoh hermenetuika yang “sedikit” berbeda dari para pendahulunya dengan konsep interpretasinya.

Sebelumnya, kita mengetahui bahwa tiga arus utama dalam hermeneutika diwakili oleh masing-masing tokoh seperti hermenetuika romantis diwakili oleh Scheilmacher, William Dilthey, dan Emilio Betti. Kemudian, hermeneutika ontologis diwakili Hans-George Gadamer, Martin Heidegger, dan Rudolf Bulmann. Serta yang terakhir hermenutika dialektis yang diwakili oleh K. Otto Appel dan Jurgen Habermas.

Paul Ricoeur disinyalir telah melampaui para pendahulunya disebabkan menggabungkan ketiga arus utama dalam pemikiran hemeneutika tersebut. Oleh karena itu, Ricoeur tidak mewakili siapapun dalam tiga arus utama tersebut. Namun hermeneutika Ricoeur jika ingin dipetakan secara sederhana yakni awalnya berangkat dari analisis eksistensial kemudian beralih ke anilisis eidetik, fenomenologis, historis, hermeneutika, dan ujungnya pada semantik.

Konsep Interpretasi dan Makna Paul Ricoeur

Kontribusi utama Ricoeur terhadap kajian hermeneutika terletak pada teorinya mengenai konflik interpretasi. Dalam diskursus hermeneutika, Paul Ricoeur memfokuskan diri kepada sistem atau metode interpretasi.

Paul Ricoeur merancang hermeneutika sebagai teori interpretasi dalam bangunan epistemologi dan lebih spesifik mengarah pada masalah fundamental yakni hermeneutika kenyataan “aku berada” (hermeneutika keberadaan subjek).

Paul Ricoeur berusaha menemukan keberadaan diri lewat teks. Paul Ricoeur selalu memunculkan sebuah pertanyaan yang mendasar yakni memaknai keberadaan diri sebagai manusia.

Paul Ricoeur berpendapat teks dan pemahaman tekstual dapat menemukan jejak-jejak keberadaan manusia. Barangkali inilah yang dimaksud dengan antropologi filosofisnya, karena selalu mempertanyakan makna keberadaan manusia.

Dalam melakukan interpretasi sebuah teks, Ricoeur mengisyarakatkan agar melepaskan ikatan maknawi dari sang pengarang, maka teks dapat membawa makna baru.

Baca Juga  Kritik Ibnu Bajjah Terhadap Konsep Ma’rifah Al-Ghazali

Dengan demikian, tugas interpretasi bersifat produktif, sehingga interpretasinya Ricoeur itu selalu melahirkan makna baru yang tidak serupa dengan makna lama yang dimiliki sang pengarang.

Sedangkan, makna baru itu dapat kita peroleh dengan cara mengidentifikasi dan mereidentifikasi teks yang tersembunyi atau “hidden meaning” dalam makna zahir atau literal meaning.

Dengan makna baru tersebutlah diharapkan dapat memenuhi keberadaan ontologis sang pembaca atau pemenuhan keberadaan dirinya. Oleh karena itu, intepretasi yang dimiliki Ricoeur ini disebut juga interpretasi subjektif, kontsruktif, dan aktif.

***

Psikologi dan situasi historis sang pengarang tidak lagi menjadi fokus utama di dalam interpretasi Paul Ricoeur, dikarenakan di dalam teori interpretasinya terdapat konsep otonomi teks.

Baginya, obyek interpretasinya adalah sesuatu yang ingin diungkapkan oleh teks itu sendiri yang disebut dengan “the world of the text”. Aktivitas itu terjadi karena adanya suatu dorongan yang berupa tujuan, sedangkan yang menjadi tujuan utmanya adalah makna.

Dalam tataran semantik, Ricoeur berpandangan bahwa sebuah teks itu memiliki dua muatan yang berupa makna, yaitu makna sensual dan makna referensial. Demi mendapatkan makna yang utuh dari sebuah pemahman, kita harus melakukan dialektika antara makna sensual dan referensial, dengan kata lain, makna sensual dan referensial ini harus selalu eksis. Sebab jika kehilangan satu dari kedua makna tersebut, makna yang akan di dapat akan kehilangan dimensi imanen dan transenden sebuah teks.

Implementasi Teori Interpretasi Paul Ricoeur dalam Kajian Hermeneutika Fenomenologi

Paul Ricoeur dalam mengupayakan eksistensi penafsir menggunakan tiga langkah operasional dalam interpretasi, antara lain ialah semantik, reflektif, dan eksistensial.

Dalam konsep Paul Ricoeur, kajian semantik seputar  bahasa dan kebahasan menjadi tahap pertama yang harus dilakukan oleh sang penafsir, karena elemen ini sangat fundamental yang menghubungkan antara obyek yang hendak dipahami dan obyek yang melakukan pemahaman, pendek kata, dari symbol ke symbol, pemaknaan symbol literal (makna obyektif). Sebab itu pula Ricoeur mengatakan bahwa bahasa merupakan wahana utama bagi ekspresi ontologi.

Baca Juga  Mulla Shadra (1): Pendiri Madzhab “Hikmah Mutaaliyah” Filsafat Islam

Kemudian masuk pada tahap reflektif. Di tahap kedua ini yang menjadi jembatan atau yang menjadi penghubung antara taraf semantik dan taraf eksistensial. Manurutnya, bahasa harus berhubungan dengan eksistensial karena pemahaman manusia menjadi aktivitas yang sentral di dalam bahasa.

Langkah ini yang mengambil bentuk proses transformasi yang menghubungkan antara pemahaman teks dan pemahaman diri sendiri. Kemudian dalam tahap reflektif ini juga terjadi pemberian makna simbol dengan cara melihat dengan kritis dan mendasar dari pandangan pelaku asli (subjektif).

Dan yang terakhir ialah tahap eksistensial. Pada tahap inilah yang membuat interpretasi sampai kepada yang “ada”, dalam artian menyingkap hakikat dari pemahaman. Tahap ini hanya dapat tercapai melalui berbagai metode-metode interpretative, konflik-konflik interpretasi yang terdapat di dalam tahap semantik dan reflektif. Langkah-langkah ini yang membedakan teori Ricoeur dengan teorinya Heidegger.

Dalam rangka mendapatkan pemahaman menggunakan tiga tahap di atas Ricoeur menggunakan teknik distansiasi dan dilanjutkan dengan tehnik aprosiasi. Sedangkan di dalam penulisan teks nantinya akan terjadi pemisahan diri atau membuat jarak (distansiasi).

***

Aprosiasi dan otonomi semantik teks adalah mitra kedaulatan dalam artian pertama kali pembaca harus melepaskan diri dari keterkaitan teks dengan pengarang atau melakukan distansiasi, lalu dilanjutkan dengan mengembalikkan jarak yang memindahkan tersebut untuk memperoleh jati diri. Oleh karena itu, distansiasi merupakan dekontekstualisasi, sedangkan aprosiasi adalah rekontekstualisasi.

Iftahul Digarizki
8 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds