-Ricklefs- Ada pepatah klise tapi penting untuk dituliskan kembali, “Harimau Pergi Meninggalkan Belang, Manusia Mati Meninggalkan Nama”. Pepatah ini menyiratkan untuk orang yang masih hidup betapa dikenangnya nama seseorang itu karena ada jejak yang ditinggalkan, membuat orang lain merasa berguna akan kehadirannya. Meninggalnya Guru Besar Sejarah dari Australia ini yang studi tentang Indonesia, sekali lagi, mengingatkan pesan tersebut kepada kita.
Dari hasil testimoni baik dari murid-muridnya sekaligus orang-orang dekatnya, saya bisa mengerti bahwasanya beliau tidak hanya orang yang hangat, melainkan juga baik hati dan selalu membantu dalam dunia akademik. Tanpa tangan dingin dari Ricklefs, Greg Fealy mengakui bahwasanya jasa beliaulah sebagai pembimbing yang membuatnya menekuni Politik Islam hingga saat ini.
Perbincangan dan pertemuannya dengan para sarjana Indonesia juga memunculkan respon positif bahwasanya ia merupakan orang yang ramah. Posisinya sebagai Sarjana Internasional yang diakui dunia tidak membuatnya menyombongkan diri dan angkuh di tengah sejumlah sarjana Indonesia yang baru memulai kariernya dan belum apa-apa.
Keramahan ini saya rasakan juga saat bertemu dengannya, tepatnya saat ada kuliah umum yang diisi oleh Saba Mahmood pada pertengahan Juni 2007 di Perpustakaan Nasional Singapura. Saat antri makan siang, saya memperkenalkan diri dari Indonesia. Layaknya sarjana Indonesia yang baru keluar negeri dan merasa tahu banyak hal mengenai Indonesia, saya bercerita bagaimana infiltrasi PKS dalam tubuh Muhammadiyah. Alih-alih menyanggah dan kemudian mengkritik, ia membiarkan saya menyelesaikan bicara, meskipun dengan bahasa Inggris yang terbatas. Setelah saya bicara, ia membenarkan dan kemudian menjelaskannya tanpa ada pretensi seakan-akan menggurui saya.
***
Di sini, keramahan terhadap orang baru, meskipun bukan siapa-siapa menjadi pegangan penting bagi saya sekaligus para sarjana Indonesia yang lain bagaimana menyikapi diri saat bertemu orang baru, tanpa melihat posisi orang tersebut. Dengan kata lain, keramahan ini bukan sekadar sikap, melainkan juga mental yang membentuk cara pandang kita terhadap dunia dan membangun relasi. Ricklefs setidaknya mempraktikkan kepada orang-orang baru dan bukan siapa-siapa yang ditemuinya, membuat orang yang mengenalnya sangat mengenangnya dengan baik.
Meskipun terkena kanker, ia masih berjuang untuk menyelesaikan karyanya dalam bentuk buku. Dalam satu perbincangan terakhir dengan muridnya yang diunggah di Youtube dengan judul Edwar Said: The Last Interview diunggah oleh Ambakisye Dukuzumurenyi pada 24 Februari, Edward Said menerangkan kondisinya. Alih-alih tetap bisa menulis, kondisi penyakit kanker memaksanya untuk berhenti melakukan aktivitas akademik, baik itu membaca maupun menulis.
Kemampuan analisisnya telah direnggut oleh penyakit tersebut, membuatnya hanya bisa konsentrasi untuk melakukan penyembuhan. Meskipun harus dilihat lagi terkait dengan tingkatan penyakitnya, kondisi tersebut berbeda dengan Ricklefs. Ia masih keras kepala untuk tidak berhenti menyelesaikan karya terakhirnya dengan judul “Soul Catcher: Java’s Fiery Prince Mangkunagara I, 1726-95” tahun 2018.
Ya, kita boleh saja berdebat dengan membandingkan lingkungan akademik dan fasilitas yang dimiliki oleh kampus di mana Ricklefs bernaung. Namun demikian, satu hal yang harus dicontoh adalah bagaimana semangatnya untuk terus berkarya di tengah kondisi sakit yang dialaminya. Itu bukan perkara mudah.
Sementara di Indonesia, sebenarnya selain masih cukup sehat dan memiliki waktu luang, tidak sedikit para sarjana Indonesia yang memang tidak berkarya dengan dalih macam-macam. Namun, saat otoritas pengetahuannya diambil alih para buzzers dengan hanya mengandalkan kemampuan otak atik gatuk dan data pencarian Google, mereka kemudian resah dan tidak terima.
***
Jika membaca karya-karya beliau, kita akan mengerti bahwasanya argumen yang dibangun tidak hanya kuat melainkan juga sulit untuk disanggah. Dengan data dokumen, catatan, foto, amatan empiris, sekaligus wawancara dengan pelaku sejarah di daerah-daerah yang ia riset, kekuatan itu terlihat dalam tulisannya. Karena itu, Robert W. Hefner saat menulis tinjauan buku Islamisation and Its Opponents in Java: c. 1930 to the Present yang terbit di NUS Press pada tahun 2012, di mana tinjauan itu terbit di Jurnal Indonesia pada 2013, ia tidak dapat menyanggah argumen dan analisis yang diberikan oleh Ricklef tersebut. Menurutnya, analisis yang diberikan Ricklefs sebagai sebuah amatan yang tidak bisa disanggah bagaimana proses Islamisasi itu berjalan dan menguat di Jawa.
Apresiasi yang diberikan oleh Hefner ini sebenarnya seiring dengan hasil kerja keras dalam penyelesaian buku tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Suhadi Cholil (2019), untuk menyelesaikan karya tersebut, Ricklefs membutuhkan waktu 5 tahun lamanya. Ia pun tidak bekerja sendiri, ia dibantu oleh para asistennya yang tersebar di beberapa daerah, termasuk Suhadi Cholil, untuk membantu riset tersebut.
Menyelesaikan karya kurun waktu tersebut sebenarnya menunjukkan bahwaanya tidak hanya kerja keras, ketekunan, dan kesabaran, melainkan juga melawan kebosanan untuk bekerja dalam aktivitas yang sangat sunyi keberanian melawan kebosanan. Memang, usaha semacam ini menjadi tampak terlihat usang di tengah kehadiran media sosial dan dunia google di mana kecepatan seakan menjadi jalan satu-satunya yang membuat orang bertahan dan kondisi viral menjadi jalan bagaimana orang menjadi tampak dipandang dihadapan warganet yang lain.
***
Meskipun demikian, kerja keras tidak bisa membohongi hasil karya. Melalui karya-karyanya, Ricklef tidak hanya membangun fondasi mengenai sejarah Indonesia dan Jawa Modern melainkan menjadi penerang untuk mereka yang melakukan studi mengenai Indonesia. Saat ia meninggal pada hari Minggu, 29 Desember 2019, tidak sedikit para sarjana dan intelektual dalam dan luar negeri yang merasa kehilangan sekaligus berhutang terhadap pengetahuan sejarah mengenai Indonesia yang dituliskan melalui karya-karyanya.
Saat orang menulis mengenai sejarah Indonesia, mau tidak mau, kini harus mengutipnya. Jika tidak, ktia bagian dari orang bebal; yang mengharapkan satu-satunya pengetahuan dari potongan berita dan kabar burung yang seringkali beriringan dengan hoaks melalui WhatsApp grup.