Feature

Pelajaran Bermuhammadiyah dari Kolokium JIMM

2 Mins read

Pada tanggal 6-7 Maret 2020, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) kembali menggelar pertemuan nasional. Bentuknya Kolokium Interdisipliner, dihelat di Kota Malang.

Peserta acara itu berasal dari berbagai daerah, bahkan hingga perairan Maluku dan Papua Barat. Meski hanya dua hari, JIMM mendesain acara intelektual yang cukup padat diskusi dan penuh ide-ide segar.

Salah satu sesi yang secara pribadi senang saya amati adalah sesi khusus malam hari, yakni sesi reorientasi langkah JIMM dalam menyemarakkan dan menyokong kiprah Muhammadiyah.

Karena itulah, panitia menghadirkan sejumlah pembicara untuk mengulas sejarah dan perjuangan JIMM, kemudian membuka sesi usulan kiprah alternatif yang bisa dilakukan JIMM. Namun yang terjadi malah sebaliknya.

Pada sesi itu, peserta lebih banyak mengajukan pertanyaan, yang sebetulnya merupakan kegelisahan mereka pada Muhammadiyah, yang dakwahnya kerap kedodoran di berbagai ranah.

***

Ada kecenderungan untuk melihat JIMM sebagai representasi pimpinan pusat Muhammadiyah yang berwewenang membuat perubahan. Memang gelisah itu tanda sayang, tapi sayangnya cuma gelisah.

Sebagai kader yang baru ber-Muhammadiyah selama 11 tahun (sejak dibaiat di IMM pada tanggal 19 November 2009), dan dididik di JIMM selama 7 tahun, sesi ini memberi saya perspektif baru.

Mas Subhan Setowara angkat bicara di ujung sesi, setelah semua kritik ditampung. Ia memberi nasehat kepada para cendekiawan JIMM sebagai berikut:

“Tugas kaum muda Muhammadiyah adalah memperpanjang kaki-kaki intelektual. JIMM adalah acara yang dihelat untuk mengkaji keadaan baru, potensi baru, dan arah baru. Siapa yang mengeksekusi semua itu? Kaum muda, anggota JIMM yang hari ini berkumpul. Pulang ke tempat masing-masing, menghadapi kondisi masing-masing, dengan potensi masing-masing, kaum muda berpraksis”.

Menurutnya, sebagai kader Muhammadiyah, mempertanyakan kiprah Muhammadiyah tidaklah pas. “Seakan-akan anda ini bukan orang Muhammadiyah. Muhammadiyah ini, ya, kita yang mengisi,” terangnya.

Baca Juga  Begini Tiga Olok-Olok NU untuk Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah benda mati, sehingga tidak bisa berkiprah. Yang berkiprah itu kader. Forum-forum yang diselenggarakan JIMM bisa menjadi sarana bertukar pengalaman dan ide-ide kiprah.

Selama ini, saya sering mempertanyakan kiprah Muhammadiyah di bidang lingkungan hidup. Nasehat di atas membalik perspektif saya, bahwa orientasi lingkungan hidup dalam tulisan dan diskusi saya selama hampir 2 tahun terakhir adalah bentuk dari kiprah Muhammadiyah juga, bersamaan dengan beberapa gerakan lingkungan hidup yang diinisiasi sejumlah kader Muhammadiyah. Itulah kiprah nyata.

Namun, saya ingin sedikit memberi catatan: kita tetap punya alasan yang baik untuk mempertanyakan kiprah Muhammadiyah. Ada kerinduan melihat kiprah yang benar-benar dari Muhammadiyah sebagai institusi.

***

Dalam banyak situasi genting, kiprah satu dua individu Muhammadiyah tidak bisa dihitung sebagai kiprah organisasi. Umat butuh Muhammadiyah, sebagai institusi, hadir membersamai umat.

Sering terdengar absennya Muhammadiyah dalam gerakan protes terhadap kuasa oligarki di tingkat lokal, yang mengancam sosial, ekonomi, dan ekologi lokal. Banyak pimpinan lokal Muhammadiyah yang tidak menganggap protes itu sejalan dengan Islam atau Muhammadiyah. Artinya, kritik terhadap kiprah bisa saja merupakan kritik terhadap disorientasi ideologis di kalangan pimpinan.

KH. AR. Fachruddin pernah mengkritik Muhammadiyah sebagai ‘gajah bengkak’. Saya pikir kritik itu berkenaan dengan disorientasi ideologis: dari Muhammadiyah yang gahar mengabdi menjadi Muhammadiyah yang amat birokratis. KH. AR. Fachruddin mengkritik kiprah Muhammadiyah sebagai organisasi, bukan kiprah dirinya sebagai individu Muhammadiyah.

Nasehat kedua Mas Subhan Setowara tertuju pada para ayahanda, yakni mentorship. Orang tua di Muhammadiyah perlu menjadi mentor dan mencari junior yang bisa dimentori.

Keuntungannya besar: selain regenerasi kader di Muhammadiyah, pemikiran para ‘ayahanda’ ada yang akan meneruskan. Mentorship berguna untuk mengembangkan potential ability menjadi current ability.

Hal ini sesuai dengan pesan Dr. Abdul Mu’ti, agar setiap kader merasakan suka dukanya dikader. Jangan sampai Muhammadiyah memanen kader yang tidak dirawat dan dibesarkannya dengan susah payah.

Baca Juga  Budaya Melayu (3): Si Rocok dan Kisah Ekspedisi Pamalayu

Atau bahkan, yang terburuk, memungut dan melindungi orang yang tidak jelas ideologi, kompetensi, dan loyalitasnya pada Muhammadiyah. “Siapa lagi yang melakukan itu kalau bukan yang tua-tua ini,” tandasnya.

Editor: Yahya FR
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds