Menkopolhukam Wiranto mengatakan bahwa pemerintah sedang merumuskan aturan larangan penyebaran ideologi khilafah. Pernyataan Menteri yang juga menolak rekomendasi IPT 1965 itu disampaikannya pada hari Jumat 13 September 2019.
Reproduksi Narasi Islam Radikal
Sejak tragedi Serangan 11 September 2001, narasi mengenai ancaman kelompok Islam radikal terhadap demokrasi kian bergaung dan direproduksi terus-menerus. Agenda pengendalian kelompok-kelompok keagamaan melibatkan aparat negara meliputi satuan-satuan khusus semacam detasemen khusus 81, Kopassus, Denjaka, TNI-AL, TNI-AU, Korps Brimob, dan Kepolisian.
Proyek deradikalisasi punya akar pada tahun 2003, ketika SBY selaku Menkopolhukam saat itu membentuk desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (KPT) yang dikepalai oleh Irjen Pol Ansyaad Mbai. Pada tahun 2010, proyek deradikalisasi semakin kokoh dengan dibentuknya BNPT melalui Perpres No. 46 Tahun 2010. Setelah direvisi pada tahun 2012, jabatan Kepala BNPT setara Menteri.
Proyek deradikalisasi sangat rentan dengan pelanggaran HAM. Pada tahun 2016, Komisi untuk Orang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyebut UU mengenai terorisme rentan memicu pelanggaran HAM. Pada saat itu, pemerintah sedang mempersiapkan revisi UU No. 15/2003 tentang Terorisme (sebelumnya, UU tersebut berasal dari Perpu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Sebagaimana diketahui, setidaknya ada 121 orang terduga teroris yang meninggal tanpa proses pengadilan. Rilisan Laporan Komnas HAM 2016 menyebutkan bahwa polisi tidak memperhatikan hak-hak tersangka dan anggota keluarga terduga pelaku teror.
Kematian Siyono, salah satu terduga pelaku teror adalah contoh kegagalan proyek deradikalisasi. Suratmi (istri Siyono) mengadukan kematian suaminya pada tanggal 8 Maret 2016 di Brengkungan, Klaten dalam penangkapan dan penahanan Densus 88 Anti Teror kepada Komnas HAM dan PP Muhammadiyah. Siyono ditangkap oleh tiga orang berpakaian sipil tanpa membawa surat penangkapan setelah menjadi imam sholat maghrib di Masjid Muniroh.
Pada tanggal 8 April tahun 2017, korban meninggal akibat operasi deradikalisasi Brimob dan TNI berjumlah 6 orang di Tuban, Jawa Timur. Pola penanganan terduga terorisme tidak lagi mengindahkan prinsip HAM sebagaimana yang tercantum dengan jelas dalam Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Benang Kusut Deradikalisasi
Perjalanan proyek deradikalisasi selalu bermasalah karena standar penanganan kerap mengabaikan aspek HAM. Babak baru bisnis politik keamanan ini akan terus menganggu jalan Indonesia menjadi negara demokrasi. Proyek deradikalisasi selalu dibarengi dengan semakin lemah dan lambannya pemerintah menuntaskan kasus-kasus HAM lain yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan, pengadilan HAM bagi pelaku pelanggaran HAM untuk kasus genosida 1965, Tanjung Priok, Timor Timur, dan Abepura.
Wacana aturan pelarangan penyebaran ideologi khilafah terjadi bersamaan dengan revisi UU KPK yang berakibat fatal pada nasib satu-satunya lembaga negara masih yang dianggap bersih dan sukses menjalankan fungsinya. Juga setelah intimidasi terhadap aktivis pro-Papua, Veronika Koman. Proyek deradikalisasi akan terus berjalan sementara Kemkominfo, atas nama penangkalan hoaks, memilih untuk memblokir internet ketimbang melakukan fungsinya sebagai penyelenggara pelayanan informasi publik.
Benang kusut proyek deradikalisasi tidak berjalan dengan orientasi yang jelas. Ketidakmampuan dalam mendefinisikan “ancaman keamanan” dan “penanganan berbasis HAM” akan menjadi masalah laten. Apalagi definisi mengenai “radikalisme agama”, konsep terpenting yang menyelubungi proyek-proyek deradikalisasi, gagal dijelaskan. Dalam berbagai sosialisasi mengenai ancaman radikalisme agama, tidak ada satupun upaya pendefinisian berbasis dinamika sosiologis dan antropologis. Hampir semua pendekatan didasarkan pada logika keamanan yang sangat sempit.
Jelas, bahwa yang disebut “radikalisme agama” menjadi lawan “NKRI harga mati”. Konsep baru yang direvitalisasi mirip dengan skema naratif “ideologi Pancasila” pada masa Soeharto tiga puluh dua tahun memimpin. Pelarangan ideologi khilafah hanyalah salah satu bentuk simbol komando operasi penanganan “ancaman NKRI”. Sebelumnya, kita mengenal istilah “separatisme” yang berfungsi sama persis dengan “khilafah” pada hari ini ketika gejolak di Aceh dan Papua terjadi. Sama persis dengan “komunis” atau “marxisme” pada masa-masa awal pembentukan Orde Baru.
Pelarangan Ideologi Khilafah Rentan Pelanggaran HAM
Pelarangan penyebaran ideologi khilafah hanya pengganti pelarangan “penyebaran ideologi marxisme dan komunisme” pada TAP MPR No. 25/1966. Berkaca dari kenyataan ini, maka wajar jika sejumlah pengamat menyatakan pemerintah Indonesia gagal dalam mereformasi kebijakan pertahanan. Kegagalan itu berimbas pada ambiguitas agenda pertahanan. Ketimbang merumuskan ulang arti penting kebijakan pertahanan yang semakin berbasis pada kesejahteraan publik, sejumlah UU justru seperti menampakkan kemunduran inovasi. UU No. 34/2004 tentang TNI misalnya menyediakan landasan hukum supremasi militer terhadap sipil.
Perkembangannya pada tahun 2019, setelah berbagai perdebatan sebelumnya, orientasi kebijakan pertahanan alih-alih bergerak menuju profesionalisme militer, justru mundur semakin jauh. Melalui revisi undang-undang TNI tahun 2004 itu, Panglima Marsekal Hadi Tjahjanto berencana menempatkan perwira tinggi aktif TNI di kementrian dan lembaga negara. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ada sekitar 500 orang perwira menengah dan 150 orang perwira tinggi TNI yang tidak memiliki tugas (Widadio, 2019).
Proyek deradikalisasi terjadi bersamaan dengan kebuntuan perumusan kebijakan pertahanan. Sengkarut penanganan “radikalisme agama” dan berbagai turunannya seperti larangan penyebaran ideologi khilafah hanya akan memperpanjang potret kegagalan reformasi keamanan. Ditambah lagi bahwa proyek deradikalisasi ini menjadi lahan baru perebutan sumber daya yang juga dinikmati oleh aktor-aktor politik dan kelompok ormas yang gagal menempatkan dirinya pasca reformasi. Proyek deradikalisasi di bawah narasi larangan penyebaran ideologi khilafah hanya akan mengembangbiakkan jargon-jargon kosong tentang NKRI.
Padahal, dengan anggaran besar yang telah dikeluarkan untuk operasi deradikalisasi, kita tidak dapat mengukur sejauhmana proyek ini pantas mendanai sosialisasi berbiaya besar yang diselenggarakan negara bermitra dengan ormas tertentu. Pertarungan di antara ormas dan kelompok sipil pun hanya akan menjadi lintasan baru perebutan sumber daya negara. Ini justru berbahaya bagi aktor-aktor elit keamanan yang memantau langsung dinamika. Padahal, kita tahu, ormas keagamaan modernis lebih mampu diandalkan dalam proyek deradikalisasi yang sebenarnya.