Pembakaran bendera PKI sudah cukup sering terjadi di Indonesia. Mengapa bendera itu dibakar? Benarkah untuk menghilangkan ingatan kita pada partai tersebut? Tentu hal ini menarik untuk diulik lebih dalam.
Pembakaran Bendera PKI
Contohnya, banyak aksi demo terkait isu kebangkitan PKI dan komunisme diwarnai dengan pembakaran bendera palu arit. Terakhir, aksi demo mengugat RUU HIP kemarin, juga terjadi pembakaran. Namun, pembakaran bendera PKI juga pernah terjadi dalam sebuah upacara bendera, salah satunya di upacara Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang ke 108 tahun di Kabupaten Asahan.
Menariknya, pembakaran bendera disebutkan sebagai simbol penolakan atas paham komunisme dan komitmen persatuan NKRI, termasuk di dua aksi di atas. Jika pembakaran dianggap sebagai simbol penolakan dan komitmen, lalu apakah paham komunisme bisa benar-benar menghilang setelah seluruh jejaknya dieliminasi?
Sedangkan kita sering melihat bahwa isu kebangkitan komunisme di Indonesia biasanya dihubungkan dengan kemunculan simbol palu arit di ruang publik. Itu sebabnya, pembakaran simbol palu arit, seperti bendera PKI, menjadi bagian dari usaha penolakan isu komunisme dan sosialisme yang dianggap masih berkeliaran di Indonesia.
Menariknya, pilihan penghancuran simbol bukan sesuatu yang dianggap sebuah perilaku spontan. Ia tentu didasari dari konstruksi pemikiran yang telah lama terbentuk sehingga terwujud dalam sebuah perilaku.
Perlu kita ketahui, sebagaimana komunisme dan PKI, simbol palu arit juga bagian dari persoalan serius di negeri ini. Ketika Tap MPRS Nomor XXV/MPRS Tahun 1966 dijadikan dasar pembubaran PKI, maka apapun, entah itu logo, bendera, flyer hingga buku yang dianggap bisa terkait PKI atau menyebarkan ajaran komunisme menjadi terlarang di Indonesia.
Uniknya, kemunculan simbol palu arit atau peredaran isu kebangkitan partai tersebut sering selaras dengan pasang surut dinamika politik di negeri ini. Biasanya juga dikaitkan dengan isu agama atau ideologi negara, sebagaimana baru-baru ini terjadi pada isu RUU HIP.
Paranoia yang Berlebihan
Kadang paranoia yang berlebihan malah bisa menjerumuskan kita pada mispersepsi atau perilaku di luar akal sehat. Seperti halnya kasus kaos sebuah grup band metal yang bergambar palu arit di tahun 2016. Akibatnya, walau secara hukum dibolehkan, dinamika pemikiran atau diskursus tentang ideologi komunisme atau pemikiran marxisme bisa dibilang mandek. Kalaupun ada, biasanya dilakukan dalam lingkaran yang sangat terbatas.
Efeknya, pembungkaman diskusi-diskusi yang dianggap berkaitan dengan narasi dalam komunisme, seperti isu gerakan massa, lingkungan, buruh dan lain-lain. Kebanyakan aksi tersebut masih dilakukan oleh penguasa. Sayangnya, paranoia yang sama menghadirkan aksi-aksi preventif atau pencegahan yang kadang hadir dengan kekerasan, seperti razia yang berujung persekusi, yang dilakukan oleh masyarakat.
Itulah sebabnya banyak aksi massa penolakan isu komunisme di Indonesia mengadakan agenda pembakaran logo atau simbol tersebut, seperti bendera atau poster. Pembakaran simbol lebih banyak menjurus pada penciptaan sikap penolakan masyarakat atas paham komunisme di Indonesia. Berbeda dengan penguasa yang dapat memainkan narasi yang lebih beragam ketika resistensi pada objek tertentu, masyarakat hanya bisa mengekspresikan penolakan mereka pada simbol-simbol yang berkaitan dengan objek tersebut.
Biasanya, jika kita berbicara tentang penghancuran simbol, maka kita akan mendiskusikan tentang penentangan atas narasi sejarah dominan. Seperti yang terjadi dalam protes Black Lives Matter yang ramai beberapa waktu lalu.
Sebagaimana banyak diberitakan telah terjadi aksi perobohan patung yang melambangkan penjajahan pada bangsa kulit hitam di beberapa tempat. Di antara patung yang dirobohkan kemarin adalah Edward Colston di Bristol, Inggris, King Leopold II di Belgia, Robert Milligan di London, Jefferson Davis di Virginia, Christopher Columbus di Minnesota, Amerika Serikat.
Dalam aksi perobohan patung di atas, narasi dominan yang dilawan adalah supremasi kulit putih yang dilambangkan lewat patung-patung tersebut. Asumsi peserta aksi tokoh-tokoh yang dipatungkan merupakan sosok yang tak layak dipuja apalagi dipatungkan. Jadi, objek yang sebenarnya dihancurkan adalah narasi atau ide yang tersembunyi dalam sebuah benda yang disakralkan.
Anomali Pembakaran Bendera PKI
Jika kita berkaca dari aksi BLM, maka ada anomali dalam kasus pembakaran bendera PKI. Sebab, jika kita buka sejarah, PKI bukan narasi dominan sepanjang linimasa negeri ini. Buktinya, mereka tidak pernah menjadi pemenang pemilu, apalagi jadi penguasa Indonesia. Apabila PKI dan paham komunisme tidak pernah menjadi narasi dominan dalam sejarah Indonesia, terus apa yang sebenarnya ada dalam penghancuran simbol palu arit? Mungkin pertanyaan ini masih bergelayut dalam kepala kita semua.
Bila menyelisik sejarah PKI, terutama pasca pembubarannya, bisa dibilang seluruh simbol, buku, catatan, anggota-anggota dan lain-lain terkait partai telah dihancurkan. Bahkan TAP MPRS tahun 1965 menjadi legitimasi negara melakukan aneka kekerasan fisik, represi, eksploitasi, hingga beragam kekerasan budaya, untuk membungkam segala pernak-pernik terkait PKI.
Jika dulu seluruh penghancuran digunakan dan dilakukan oleh Negara untuk membungkam apapun yang terkait PKI. Sekarang, pasca PKI dan paham komunisme telah habis di Indonesia, aksi-aksi penghancuran simbol sepertinya lebih diarahkan untuk mengirim pesan pada masyarakat luas bahwa “Awas ada bahaya PKI”.
Sepertinya, pesan tersebut dimaksudkan untuk membentuk atau memelihara cara pandang atau memori kolektif masyarakat tentang musuh negara. Idiom “musuh negara” di sini merujuk pada berbau kiri, komunisme atau PKI, yang dilestarikan hingga menjadi memori kolektif di masyarakat.
Bentuk Cinta Terhadap Negeri?
Perlu diketahui “memori kolektif” di sini merujuk pada replika masa lalu suatu kelompok yang memberikan nilai serta membentuk cara pandang mereka mengenai sesuatu. Dalam kasus ini, pembakaran simbol palu arit dapat dijadikan pelestarian ingatan masyarakat atas PKI, yang sebelumnya dilakukan oleh Negara, sekarang dilakukan dalam lingkungan masyarakat sendiri.
Sehingga, walau sama-sama menghancurkan simbol, ada perbedaan fundamental antara perobohan patung di aksi Black Lives Matter dengan pembakaran bendera PKI. Jika di aksi pertama disimbolkan sebagai perlawanan atas narasi dominan di masyarakat. Adapun aksi kedua lebih dekat dengan pemeliharaan memori kolektif lewat kekuatan simbolik.
Sebab, pembakaran bendera tersebut lebih berorientasi pada kekuatan simbol. Lewat kekuatan tersebut membentuk kenyataan sekaligus makna tentang PKI atau ideologi komunisme sebagai musuh negara dalam waktu singkat di masyarakat.
Sehingga, bayangan akan bahaya komunisme dan PKI bisa tetap dijaga sebagai narasi dominan di negeri ini. Jika benar demikian, maka pembakaran bendera palu arit lebih mengarah pada penggiringan opini atau memelihara bayangan tentang PKI.
Berangkat dari poin inilah, sebenarnya kita dapat melihat sisi lain dari polemik kebangkitan PKI di negeri ini. Jika selama ini isu kebangkitan PKI di Indonesia selalu direspon dengan demo, bakar bendera hingga razia buku atau diskusi, maka isu tersebut sebagai kotak pandora, sebuah misteri dan bahaya bagi negeri ini.
Arkian, selama kita menjadikan isu PKI bagaikan kotak pandora, maka beban itu akan selalu akan kita bawa dan wariskan pada generasi selanjutnya. Beban tersebut hanya akan mewariskan vandalisme dan kekerasan, seperti bakar bendera atau berbagai pelarangan, ketimbang sikap yang lebih elegan. Seperti membaca kembali, belajar, dan mengambil hikmah dari persoalan masa lalu.
Editor: Nirwansyah/Nabhan