PerspektifTasawuf

Pembela Sunnah, Pembela Kedokteran

5 Mins read

Oleh: Musa Al Azhar, Lc., Dipl.

Beriringan dengan semakin luasnya wabah Covid-19 di berbagai belahan dunia. Termasuk tanah air Indonesia. Pada saat yang sama, mulai mewabah juga virus ‘ketidakpercayaan terhadap otoritas keilmuan’. Covid-19 menyerang pernafasan sampai berujung kematian, ‘ketidakpercayaan’ menyerang akal dan jiwa (yang nampaknya juga bisa berujung kepada ‘menyerang pernafasan dan menyebabkan kematian).

Wabah Baru: Ketidakpercayaan Otoritas Kedokteran

Gejala ‘wabah’ yang kedua ini misalnya ditunjukkan dengan sikap penentangan terhadap anjuran dari para ‘ulama kedokteran’ untuk mengambil langkah-langkah tertentu yang dianggap dapat menghambat proses penyebaran covid-19 seperti tidak keluar rumah kecuali mendesak, tidak banyak berkumpul, melakukan jaga jarak dengan orang lain ketika harus bertemu dan sampai yang ekstrim: kabur dari isolasi.

Mirisnya tidak sedikit para penentang yang merekrut dalil-dalil dan ajaran agama (seperti ajaran tawakkal kepada Allah, keutamaan salat Jumat dan jamaah dsb) sebagai pembela sikap penentangan mereka.Padahal, fatwa dari pihak yang punya kapasitas-otoritas pemahaman dan penjelasan maksud dari dalil-dalil dan ajaran agama pun mendukung dan berpihak kepada fatwa-fatwa ulama kedokteran.

Bahkan menjadikan fatwa ulama kedokteran sebagai salah satu pertimbangan utama untuk mengeluarkan fatwa keagaaman. Salah satu poin dari fatwa keagamaan pun berisi anjuran kepatuhan terhadap fatwa ulama kedokteran.

Sumber kebenaran menurut ajaran agama ini adalah wahyu dan wujud. Mempertimbangkan pencapaian perkembangan ilmu alam, perubahan pola hidup manusia, perkembangan teknologi dan sebagainya untuk menyimpulkan hukum agama dari al-Quran dan al-Sunnah sudah bukan hal baru dalam keilmuan umat Islam.

Pembahasan hukum penggunaan air musyammasy misalnya, ilmu kritik hadis dan ilmu kedokteran seperti berpadu untuk menjadi bahan pertimbangan Imam Syafi`i (al-Umm 1/7)dan para ulama Syafi`iyah (al-Majmû` 1/17-19, Mughni’l Muhtâj 1/47-48) memutuskan apa hukum menggunakan air musyammasy untuk bersuci (berikut detail percabangan pembahasannya). Interkoneksi. Juga penggunaan pengamatan benda langit untuk keperluan pelaksanaan ibadah pun sudah ada sejak zaman salaf. (al-Risâlah hal. 113)

Bahkan di generasi para sahabat. “Aisyah RadhiyalLâhu `anha itu”, kata Urwah bin Zubair bin al-`Awwam, “Saya belum pernah melihat yang lebih alim dari beliau dalam bidang fikih, kedokteran dan syair”. (al-Istî`âb fî Ma`rifati’l Ashhâb 4/1883).

Baca Juga  Partai Keluarga Menjadi Primadona

Kalau membahas sunnah, siapapun yang mempelajari hadis Nabi shallalLahu `alaihi wa Sallama, akan menemukan keselarasan akan perintah untuk mengambil sebab kesehatan dan kesembuhan (misalnya) dengan perintah untuk menyandarkan segala sesuatu kepada Kuasa Allah. (Hadis-hadis mengenai perintah berobat sampai bagaimana menyikapi wabah sudah sering disampaikan).

Kembali kepada sikap penentangan terhadap penjelasan otoritas keilmuan (dalam hal ini ulama kedokteran/dokter maupun lembaga fatwa keagamaan). Sikap tersebut lahir dari pihak yang perlu dipertanyakan kapasitasnya baik dalam bidang agama maupun kedokteran.

Imam Syafi`i: Pembela Sunnah

Adalah Imam Syafi`i (204 H), yang dikenal sebagai pembela sunnah. Berjasa besar menjawab kebutuhan umat akan kodifikasi kaidah-kaidah pemahaman teks al-Quran dan Sunnah sekaligus verifikasinya melalui kitab al-Risalah-nya yang terkenal. “Al-Risalah itu kitab pertama dalam ilmu usul fikih sekaligus kitab pertama dalam ilmu hadis” (al-Muhaddits Ahmad Syakir, pentahkik kitabnya).

Ilmunya dilestarikan oleh para muridnya; diajarkan bersanad sebagai bahan kaderisasi ulama (khathib, mufti dan qadhi), dibela argumentasi-argumentasinya, dijawab PR-nya (Imam Syafi`i dalam beberapa persoalan menunda pemutusan hukumnya karena ada hadis terkait yang perlu diperdalam dan dipastikan hukumnya), dikaji ulang hasil ijtihadnya, disusun ulang hasil kajian para ulamanya sampai bisa menjadi buku ajar paling sederhana sekalipun, diarsip nama-nama ulama yang mengikuti metodologinya, dan disebarkan bahkan sampai pelosok nusantara di jauh sana.

Tajuddin al-Subki, menganggap Imam Syafii sebagai mujaddid abad kedua (setelah Khalifah Umar bin Abdul Aziz) yang kemunculannya disebut dalam hadis (Thabaqât al-Syâfi`iyyah al-Kubra 1/199). Sekaligus sebagai perwujudan dari “Sang Alim Quraisy yang ilmunya memenuhi dunia” yang pernah diinfokan kemunculannya oleh Rasulullah shallalLâhu `alaihi wa Sallama (Thabaqât al-Syâfi`iyyah al-Kubra 1/198).

Al-Baihaqi (458 H) salah seorang ulama hadis yang diduga kuat mencapai derajat ijtihad, dikenal kontribusi besarnya dalam menghidupkan ilmu Imam Syafi`i. Selain menghimpun hadis yang memperkuat madzhab Imam Syafi`i (misalnya dalam Ma`rifat al-Sunan wa’l Âtsâr), beliau juga menulis dua jilid biografi bersanad Imam Syafi`i, diberi judul Manâqib al-Syâfi`i.

Perhatian Imam Syafii pada Ilmu Kedokteran

Ada satu part yang cukup menarik dan berkaitan dengan pembahasan kedokteran dan agama di atas. Al-Baihaqi memberinya judul ‘Bâb; Mâ yustadallu bihi `ala Ma`rifat al-Syâfi`i, RahimahulLâhu, bi al-Thibb’ atau ‘Bab: Hal-hal yang Menunjukkan tentang Pengetahuan Imam Syafi`i terhadap ilmu Kedokteran’. Dalam versi cetak, Bab ini ada di jilid 2 halaman 114-124.

Baca Juga  Wen Hui Bao dan Pilihan Politik Institusi Media Massa

Ia mengawali dengan menyebutkan sanadnya yang bersambung kepada Rabi` bin Sulaiman (murid Imam Syafi`i) yang bercerita bahwa Imam Syafi`i pernah mengatakan: “Ilmu itu ada dua macam; ilmu Fiqhu’l Adyân dan ilmu Thibb al-Abdân”.

Abu Bakar bin Thahir menjelaskan maksud dari perkataan tersebut bahwa bagi orang awam, ilmu fiqhu’l adyân itu adalah ilmu fikih, sedangkan ilmu al-Abdân itu ilmu kedokteran. Sedangkan bagi para ahli hikmah, ilmu al-Adyân maksudnya adalah ilmu tentang agama Islam dan hakekatnya sedangkan ilmu al-Abdân adalah ilmu tentang adab dan syariat Islam.

Al-Baihaqi juga meriwayatkan sebuah nasehat bersanad dari Imam Syafi`i, “Apabila anda masuk ke sebuah negeri yang di dalamnya anda tidak menemukan hakim yang adil, air yang mengalir dan dokter maka jangan tinggal di sana!”

Nasehat yang semisal pun pernah disampaikan Imam Syafi`i,

“Jangan tinggal di sebuah negeri yang di dalamnya tidak ada orang alim yang bisa mengajari anda agama dan dokter yang bisa mengajari urusan tubuh anda”.

Terhadap ilmu kedokteran pun Imam Syafi`i punya perhatian khusus, “Dua ilmu yang banyak dilupakan orang; kedokteran dan bahasa Arab”.

Selain itu ada keprihatian khusus pula yang diceritakan oleh Harmalah bin Yahya, murid Imam Syafii. Bahwa Imam Syafii sedih betul ketika umat Islam ini kehilangan ilmu kedokteran. “Umat Islam menghilangkan sepertiga ilmu (dalam riwayat lain separuh ilmu) dan mewakilkannya/ menyerahkan urusannya kepada orang Yahudi dan Nasrani!”, kata Imam Syafi`i.

Gaya Hidup Sehat Imam Syafii

Imam Syafi`i pun punya beberapa tips kesehatan seperti minum madu, manfaat kacang tanah bagi nutrisi otak, manfaat daging bagi akal, manfaat anggur, susu dan sari tebu untuk pengobatan dan sebagainya. Pernah suatu ketika Imam Syafi`i sakit demam, kemudian minta jeruk citrus untuk diperas dan dimunum. Ini diceritakan oleh putra Imam Syafi`i.

Terkait gaya hidup sehat, ternyata Imam Syafi`i pun membiasakannya. Misalnya urusan makan siang. Khalifah Harun al-Rasyid pun sampai bertanya, ”Katanya anda ini suka mengawalkan makan siang, kenapa?” Imam Syafi`i menjawab, “Karena empat hal: airnya masih dingin, udaranya masih bagus, tidak banyak lalat, dan supaya mengurangi rasa kepingin saya terhadap hidangan orang lain”.

Baca Juga  Peran Strategis Non-Muslim dalam Sejarah Islam

Urusan mandi, ternyata Imam Syafi`i hanya mau menggunakan air panas untuk mandi junub baik di musim dingin maupun musim panas. Tidak cukup di situ, urusan bentuk tubuh, Imam Syafi`i punya perhatian terhadapnya. Menurut beliau, tubuh yang terlalu banyak lemak itu tidak akan jadi tempat yang baik bagi akal.

Selain itu, Imam Syafi`i menilai bahwa orang dengan keadaan seperti itu tidak akan beruntung. Karena seorang yang berakal tidak lepas dari dua hal, yakni sibuk memikirkan urusan akhiratnya atau urusan dunia dan penghidupannya, sedangkan kegemukan tidak terjadi jika banyak pikiran. Jika seseorang tidak memikirkan akhiratnya atau dunianya berarti dia sama saja dengan hewan, jadi kebanyakan lemak. (Meskipun Imam Syafi`i menyebut hal ini tidak berlaku khusus bagi Muhammad bin Hasan al-Syaibani, ulama besar murid Abu Hanifah yang merupakan guru Imam Syafi`i sekaligus penasehat Khalifah Harun al-Rasyid).

Pengakuan akan pengetahuan Imam Syafi`i terhadap ilmu kedokteran yang berkembang di zamannya ini ternyata juga datang dari para dokter yang hidup sezamannya. Salah seorang dokter yang sangat pintar di Mesir (Mesir merupakan salah satu pusat peradaban besar Islam) pernah bercerita:

“Waktu Imam Syafi`i datang ke Mesir saya berkesempatan duduk bareng Beliau. Pada kesempatan itu, kami terus berdiskusi masalah kedokteran sampai saya mengira bahwa beliau itu dokter dari Iraq (Iraq adalah kawasan yang di dalamnya terdapat ibukota kekhilafahan umat Islam waktu itu). Sampai saya ingin belajar kepada beliau. Tapi Imam Syafi`i tidak menyanggupi. ‘Orang-orang yang di Jami` (murid-murid ngaji Imam Syafi`i) itu tidak akan meninggalkan saya untuk anda’, kata beliau.”

Poin pentingnya, orang yang (termasuk) paling alim dalam agama dan dikenal sebagai pembela sunnah seperti Imam Syafi`i pun punya perhatian besar terhadap pencapaian ilmu kedokteran (pada zamannya). Dengan demikian, “Sang Pembela Sunnah” adalah Pembela Kedokteran dan ilmu-ilmu lain. Bagi para ulama seperti Imam Syafi`i, ilmu-ilmu akan selalu berjalan beriringan sebagai alat untuk mewujudkan penghambaan kepada Allah dan peran memakmurkan bumi.

* Mahasiswa Pasca-Sarjana Universitas al-Azhar, Mesir, Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PCI Muhammadiyah Kairo-Mesir 2020-2022

3 posts

About author
Mahasiswa Pasca-Sarjana Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Mesir | Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PCIM Kairo-Mesir
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds