Pendahuluan
Tulisan ini sayangnya tidak berkaitan dengan aspek mana pun dari Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024. Untungnya, Pilpres dan Pemilu hanyalah satu aspek dari hidup manusia modern saat ini. Sebagaimana aspek-aspek lain selama ini, setelah momentumnya berlalu, orang akan beralih ke urusan lain, biasanya urusan yang lebih mendesak kebutuhan masing-masing. Namun, sebagai sesama manusia, meski keahlian orang berbeda-beda, kita patut menghargai perjuangan orang-orang yang serius mengawal demokrasi, seperti para jurnalis, penulis, akademisi, politisi, dan pemerintah.
Meski tulisan ini tampaknya berbicara soal filsafat, tapi kenyataannya pesan utamanya adalah soal psikologi sehari-hari manusia. Begitu juga, meski tulisan ini berbasis pada karya tulis zaman dulu, kenyataannya perhatian tulisan zaman dulu itu justru dibutuhkan orang zaman kini. Dan meski tulisan tempo dulu tersebut dibuat oleh seorang pemikir Muslim, faktanya urusan psikologis, filosofis, dan religius yang ia angkat juga dibutuhkan oleh manusia mana saja, dari agama mana saja.
Agama, sejak kemunculannya bersamaan dengan Revolusi Kognitif spesies manusia hingga zaman Revolusi Kecerdasan Buatan saat ini, masih setia menjadi pengisi hari-hari umat manusia. Di semua negara saat ini, orang masih membaca kitab suci, mendatangi rumah ibadah, meminta nasihat pada pemimpin agama, dan berziarah ke tanah dan bangunan suci. Saking pentingnya agama –apalagi bagi masyarakat seperti di Indonesia– perubahan sosial dan politik biasanya membutuhkan dukungan agama. Indonesia dekade 1970-an hingga 1990-an pernah membutuhkan dukungan dari Islam bernama gerakan Pembaruan Pemikiran Islam. Tujuannya untuk mendorong modernisasi pikiran dan sikap politik umat Islam. Tapi, apakah Indonesia abad 21 masih butuh hal semacam itu? Atau, mungkinkah sebenarnya Pembaruan Islam sudah lewat masanya?
Orang Muslim dan Filsafat
Filsafat tidak dimulai oleh orang-orang Yunani. Besar kemungkinan mereka adalah produk puncak dari banyak unsur pemikiran filosofis dari berbagai daerah di masanya dan masa sebelumnya. Setelah perjuangan yang tidak mudah dalam menengahi antara mitos dan logos, antara agama dan akal, filsafat Yunani mampu melahirkan dimensi-dimensi penting dalam pemikiran filosofis: logika, etika, fisika, dan metafisika.
Ketika imperium Islam melebarkan tanah kekuasaannya hingga meliputi Suriah dan Irak, mereka bertemu filsafat Yunani ini di sana. Mungkin awalnya Muslim hanya tertarik pada ilmu kedokteran dan matematika yang sangat praktis dan mendesak bagi mereka. Tapi lama-kelamaan mereka tergoda juga untuk mempelajari semua aspek filsafat Yunani yang saat itu tersedia di hadapan mereka.
Namun, seperti bisa disadari oleh orang seperti Al-Kindi, salah satu filosof Muslim generasi pertama, pasti ada penolakan terhadap kegiatan ilmiah baru di kalangan Muslim ini. Jika di tangan kita sudah ada kitab suci dan ucapan Nabi, untuk apa lagi kita mempelajari konsep-konsep ketuhanan, kenabian, dan kehidupan dari buku-buku karangan Plato dan Aristoteles?
***
Sebagai orang Yunani, para filosof tersebut sudah pasti memiliki sejumlah pandangan yang asing bagi orang Arab Muslim saat itu. Misalnya, bagi Ibn Taymiyah, teori emanasi dari Neoplatonisme yang berusaha menggambarkan proses penciptaan, lebih kedengaran seperti mitologi daripada sebuah konseptualisasi ilmiah. Tapi, untungnya, di luar teori emanasi masih ada lebih banyak aspek yang filsafat Yunani bicarakan yang terbukti sangat berguna bagi Muslim. Dan sejumlah filosof Muslim tampil ke depan untuk membela filsafat dari penolaknya.
Di bawah ini kita akan melihat bagaimana Averroes (Ibn Rusyd) membuktikan bahwa tidak ada yang salah dengan filsafat. Muslim ataupun bukan, seorang manusia sangat membutuhkan inspirasi-inspirasi filsafat. Jika filsafat bertujuan mencerdaskan diri manusia, maka terang sudah alasan mengapa manusia perlu berfilsafat. Dalam kitab Fasl al-maqal, Averroes mengajukan tiga proyek besar untuk menyegarkan pemikiran umat Islam –dan umat beragama dan beriman pada umumnya: (1) pembelaan terhadap filsafat, (2) pembelaan terhadap dialog mutual antar peradaban yang berbeda, dan (3) meluruskan arti dan fungsi agama bagi kehidupan manusia. Tulisan kali ini hanya akan membahas yang pertama.
Hakikat Filsafat
Islam merupakan agama teosentris. Ia meletakkan Tuhan sebagai pusat kehidupan manusia. Tuhan (Allah dalam bahasa Arabnya) tidak hanya menjadi sosok di balik terciptanya alam semesta, namun Dia juga peduli terhadap kondisi kehidupan dunia umat manusia. Oleh karena itu, Tuhan mengutus nabi-nabi dari kalangan manusia, untuk menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan agar manusia lepas dari keburukan hidup di dunia dan memperoleh keselamatan yang sesungguhnya. Ajaran-ajaran tersebut kemudian didokumentasikan ke dalam kitab-kitab suci.
Konsekuensi penulisan dan pembukuan ajaran-ajaran ini adalah ambiguitas maksud Tuhan yang sebenarnya. Ketika Tuhan memberi perintah memerangi orang kafir, apa yang dimaksud kafir, dan apa yang dimaksud perang? Sejak awal sekali sudah ada ketegangan yang tinggi antara Muslim yang hanya percaya pada arti literal ayat suci dan Muslim yang percaya pada arti alegoris (majaz) ayat suci.
Bagi mereka yang bersedia menerima metode interpretasi alegoris (majazi dalam bahasa Arabnya), tidak mungkin tidak mendahulukan kebenaran rasional sebelum memahami ayat suci. Itu berarti, pikiran manusia tidak kosong dari kemampuan memahami benar atau salah, bahkan sebelum perihal benar atau salah itu ia pelajari dalam kitab suci. Justru, setelah wahyu menjadi kitab suci –artinya, setelah wahyu audio-visual yang para nabi terima dibakukan dalam tulisan-tulisan dan dibukukan– manusia hanya memiliki pikiran sebagai satu-satunya jalan untuk memeriksa apakah makna yang mereka berikan pada ayat suci sudah benar atau salah.
***
Averroes berdiri dalam posisi seperti itu. Apa yang dipandang sebagai ajaran Tuhan dalam kitab suci tidak mungkin bertentangan dengan pemahaman yang benar dari pikiran manusia. Andaikan suatu ayat membawa makna literal yang tidak benar untuk diterima dan diterapkan, maka pikiran manusia seharusnya mampu menemukan makna alegoris yang lebih masuk akal. Tentu saja, pada mulanya akan terasa aneh jika dikatakan bahwa Islam menolak filsafat, yang artinya Tuhan menolak filsafat. Bagi Averroes dan filosof Muslim lainnya, penolakan itu bukan oleh Tuhan, melainkan oleh sekelompok manusia. Averroes justru hendak membuktikan bahwa Tuhan yang maha benar mustahil menolak hal sebagus dan seberguna filsafat.
Di tempat pertama dalam Fashl al-maqal Averroes menjelaskan arti filsafat. Menurutnya, filsafat tidaklah lebih dari sekadar proses berpikir dan mempelajari segala sesuatu di alam semesta sebagai hasil karya yang mempesona dari Sang Pencipta.
Averroes menunjukkan bahwa dalam Al-Quran berpikir dan belajar inilah yang dimaksud oleh sejumlah ayat suci yang menyuruh pada kegiatan nazhar (pengamatan dan pemikiran rasional) dan i’tibar (belajar dan perenungan mendalam) terhadap ciptaan-ciptaan Tuhan yang dapat manusia saksikan –baik berkenaan dengan fenomena alam maupun kejadian sejarah.
Jika dokumentasi ajaran Tuhan ternyata menyelipkan satu ajaran untuk berpikir dan belajar tentang ciptaan Tuhan, lantas mengapa harus menolak kegiatan filsafat yang pada dasarnya adalah berpikir dan belajar itu sendiri? Averroes juga menambahkan bahwa cara Al-Quran menyuruh manusia untuk mengamati, berpikir, dan belajar merupakan cara untuk mengguggah hati nurani mereka sendiri agar mau berpihak pada kebenaran dan menolak kebatilan.
Fikih Membela Filsafat
Dalam membela filsafat, Averroes mengambil sudut pandang seorang ahli fikih. Averroes adalah seorang ilmuwan lintas disipliner, sehingga mudah baginya untuk menggunakan sudut pandang yang ia anggap perlu. Dalam konteks Islam sebagai agama yang secara historis dibentuk kebanyakannya oleh sudut pandang tekstualis dan legal (fikih), maka pembelaan yang terbaik atas filsafat seharusnya juga menggunakan sudut pandang ini.
Apalagi jika diingat bahwa karakteristik Islam sebagai agama manusia adalah teosentrisme. Posisi Tuhan yang amat menentukan ini, sepanjang sejarah satu milenium lebih keberadaan Islam, lebih mudah dipahami apabila Tuhan itu sendiri dipersonifikasikan dalam wujud konkrit –yakni kitab suci yang dipercaya sebagai wahyu dari-Nya. Maka, untuk memahami pendapat Tuhan, misalnya tentang filsafat, sebaiknya dicari dan ditemukan di antara “semak-semak” ayat suci yang merupakan ujaran-Nya sendiri.
Oleh karena itulah di Fashl al-maqal Averroes berkata bahwa tujuannya menulis buku tersebut adalah untuk membuktikan apakah filsafat secara umum, dan ilmu logika secara khusus, diizinkan oleh hukum Islam, yang berarti oleh hukum Tuhan itu sendiri.
***
Jika filsafat dan logika ternyata tidak mengandung bahaya apa pun, maka hukumnya mubah (boleh dilakukan). Jika ternyata ada bahaya yang mengintai secara intrinsik, maka hukumnya mahzur (terlarang dilakukan). Jika justru bukan bahaya yang ada secara intrinsik melainkan manfaat, maka hukumnya mandub (sangat dianjurkan dilakukan). Tapi jika pada kenyataannya bukan hanya manfaat, dan bukan hanya ia tidak mengandung bahaya secara intrinsik, melainkan Tuhan itu sendiri memberi perintah untuk melakukannya, maka hukumnya adalah wajib (harus dilaksanakan).
Kesimpulan Averroes adalah, sudah tentu, bahwa hukum berfilsafat dan mempelajari ilmu logika adalah wajib, karena alasan adanya perintah Tuhan secara tekstual dalam Al-Quran.
Yang dimaksud dengan logika (qiyas aqli dalam bahasa Arabnya) adalah mencari tahu kebenaran dari sesuatu yang belum diketahui dengan memanfaatkan kebenaran sesuatu yang telah diketahui. Dalam bahasa Arab, proses mental terjadinya logika dalam diri manusia disebut i’tibar. Tuhan dalam Al-Quran berfirman: fa’tabiru ya uli al-abshar, yang bermakna perintah “ber-i’tibar-lah wahai orang-orang yang memiliki pandangan!”
Averroes menjelaskan bahwa ayat perintah i’tibar ini adalah dorongan kepada Muslim untuk menguasai baik itu logika rasional (qiyas aqli) maupun logika legal (qiyas fiqhi). Contoh logika rasional adalah: “Mr. Anu adalah manusia, dan saya juga manusia. Mr. Anu meninggal dan kepalanya dibedah. Dalam batok tengkorak Mr. Anu ada benda bernama otak. Maka, hal ini juga berlaku bagi saya, yakni dalam batok tengkorak saya ada benda bernama otak. Otak manusia itu ada.”
***
Yang dimaksud dengan filsafat (falsafah dalam bahasa Arabnya), sebagaimana Averroes mendefinisikannya, adalah kegiatan berpikir dan mempelajari alam semesta sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang mempesona. Tuhan dalam Al-Quran berfirman: awalam yanzhuru fi malakut al-samawati wa al-ardhi wa ma khalaqa Allahu min syay’in, yang bermakna “apakah mereka tidak mengamati dan memikirkan fenomena langit dan bumi dan apa saja yang telah Tuhan ciptakan?” Averroes menjelaskan bahwa inilah ayat yang mendorong jiwa seorang manusia untuk berfilsafat.
Jika sampai di sini saja kita mau merenungkan pembelaan Averroes di atas, maka sejak dari level paling mendasar sekalipun sebenarnya tidak ada pertentangan antara agama dan filsafat.
Agama disebut agama karena ia mempercayai sosok Tuhan maha kuasa yang menurunkan ajaran-ajaran perihal kehidupan yang benar kepada umat manusia. Dan sebagaimana dalam segala kasus dan situasi, umat beragama akan mengikuti tuntunan, apalagi perintah, yang Tuhan berikan dalam kitab suci. Jika ternyata berfilsafat dan berlogika tertulis di antara tuntunan dan perintah tersebut, maka alasan apa lagi yang seorang Muslim harapkan agar filsafat dan logika diharamkan (atau sebaliknya, dihalalkan)?
Kesimpulan
Di banyak tempat, di Barat maupun Timur, filsafat biasanya lahir dari “rahim” pikiran kritis seseorang atau sekelompok manusia. Banyak hal yang filsafat kritisi, terutama sekali agama. Bukan karena agama dan filsafat secara hakikatnya pasti bertentangan, melainkan karena agama dalam segala mitos dan kebudayaannya adalah aspek yang paling banyak mendominasi cara hidup manusia sebelum datangnya era modern. Filsafat, di Timur maupun di Barat, tidak secara langsung “menyerang” agama, melainkan bermaksud mengkritisi cara hidup manusia dan masyarakat yang ternyata kurang benar dan kurang bermanfaat.
Seperti Averroes garis bawahi, filsafat pada dasarnya adalah pengamatan, pemikiran, dan pembelajaran secara rasional terhadap apa saja. Itulah mengapa di muka saya mengatakan bahwa sebenarnya filsafat lebih berkenaan dengan dunia psikologis sehari-hari semua orang.
Filsafat bukanlah sekumpulan ajaran tentang ateisme, agnostisisme, dan nihilisme. Ada orang yang berfilsafat lantas menjadi ateis dan nihilis, namun itu bukan berarti ateisme atau nihilisme merupakan dogma dalam filsafat yang wajib dipercaya. Filsafat tidak berdogma, karena ia bukan agama. Filsafat, sekali lagi, hanya dorongan alamiah untuk mengamati dan berpikir secara baik dan benar. Di antara disiplin mental yang manusia butuhkan untuk menghasilkan kebenaran dari proses mengamati dan berpikir itu adalah logika, matematika, dan juga statistika.
Adalah dengan logika, matematika, dan statistika, kita bisa menghitung dengan paling presisi hasil perolehan suara dari Pemilu dan Pilpres 2024. Jika lembaga survei atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) kita menolak logika, matematika, dan statistika, maka bisa dipastikan bahwa bukan kebenaran yang mereka tampilkan, melainkan kengawuran. Tapi, jika hasil logika, matematika, dan statistika saja tidak diterima, maka yang ngawur adalah yang tidak menerima. Tapi, jika yang tidak menerima bisa mengajukan bukti kecurangan, maka sebaiknya kecurangan ini jangan dibiarkan. Tapi, sayangnya, tulisan ini tidak membahas aspek mana pun dari kecurangan tersebut.
Editor: Soleh