Kita sekarang dibuat keteteran. Melawan musuh yang lebih berbahaya daripada peperangan. Musuh yang tak bisa dicerna oleh indra penglihatan. Jumlah jiwa yang direnggut tak karuan, seolah-olah tanpa belas kasihan, bak air bah, yang membanjiri tanpa henti. Bermunajat agar bumi segera pulih kembali.
Corona Virus Desease (Covid-19) merupakan wabah yang nyaris membanjiri seluruh negara. Berbagai ikhtiar telah dilakukan oleh segenap penjuru negeri untuk melawan wabah tersebut. Covid-19 adalah istilah asing, yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat saat ini. Karena ia telah menjadi trending dan epicentrum masyarakat global.
Istilah tersebut merujuk pada suatu makhluk tak kasat mata yang banyak mengakibatkan berbagi sektor mangkrak, tersendat dan bahkan terpaksa ditutup (forced close). Wabah yang bermula muncul pada akhir 2019 di Wuhan, telah menjalar, menyebar, menjajaki, dan singgah hampir di setiap negara di dunia tak pelak, Indonesia.
Kasus Covid-19 pertama di Indonesia, diumumkan pada awal Maret lalu. Tidak butuh waktu yang lama, secara agresif virus tersebut telah berhasil mendirikan cabang-cabangnya di setiap pelosok negeri. Sehingga jumlah kasus corona terus meningkat per harinya.
Tentunya hal tersebut berimplikasi pada berbagai sektor seperti; ekonomi, sosial-budaya, politik, pendidikan, psikologi, dan seterusnya. Hal demikian memaksa kita untuk beraktivitas dari rumah (Work From Home). Seiring sejalan dengan WFH, pendidik dan yang dididik juga terpaksa melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau pembelajaran dari rumah (Learn From Home).
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, pembelajaran secara daring menjadi ‘gegar budaya’ saat ini yang memicu prahara baru. Mulai dari kuota, jaringan, serta berbagai akses lainnya yang masih belum merata dan memadai. Selain itu, kita juga harus merogoh kocek demi kelancaran pembelajaran yang optimal.
Lebih Baik Telat daripada Tidak Sama Sekali
Tatkala covid-19 sudah banyak menyebar ke mancanegara, pemerintah mengklaim bahwa Indonesia steril dari virus tersebut. Seolah-olah Indonesia menjadi negara paling beruntung. Namun, apa mau dikata, bak gledek di siang bolong, pemerintah mengumumkan kasus corona pertama di awal Maret lalu.
Lebih dari satu bulan semenjak kasus pertama diumumkan, kita selalu berada di bawah bayang-bayang covid-19 yang belum tahu kapan akan berakhir. Dilansir dari laman CNN, (13/4), ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, mengatakan bahwa puncak Covid-19 di Indonesia akan terjadi pada Mei mendatang. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat tidak diinginkan.
Di sisi lain, pemerintah disinyalir terlambat dalam merespon penyebaran virus tersebut. Alih-alih mengeluarkan berbagai kebijakan dengan maksud memutus mata rantai penyebaran covid-19 namun, penerapannya dilakukan tidak tepat pada waktunya. Sehingga kebijakan tersebut masih belum berdampak secara signifikan dan cenderung sia-sia.
Hal demikian juga pernah dijelaskan oleh salah satu filsuf kenamaan Itali yaitu, Niccolo Machiavelli. Dalam karyanya yang berjudul Il Principe, di mana Machiavelli menganalogikannya dengan sebuah obat. Ia mengatakan bahwa “obat yang tidak diberikan tepat pada waktunya akan sia-sia dan percuma”. Kendati demikian, dalam hal ini berlaku pasal better late than never.
Gegar Budaya
Minimnya kesiapan kita diiringi dengan pemberian obat yang terlambat, barang tentu menyebabkan covid-19 dengan mudah menggerayangi berbagai sektor kehidupan. Tak ayal lagi, termasuk pendidikan. Selama ini pendidikan kita terbilang sangat minim dalam melakukan pembelajaran melalui media digital atau daring. Sehingga, tidak sedikit orang yang kesulitan dalam memanfaatkan teknologi sebagai media belajar.
Di tengah pandemi seperti saat sekarang ini, sistem konvensional memang tidak memungkinkan untuk diterapkan. Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan No HK.02.01/MENKES/199/2020; Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam Nomor: 697/ 03/ 2020: dan Surat Edaran Mendikbud No 3 tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-19 pada Satuan Pendidikan, langkah yang sangat dianjurkan adalah mengubah pembelajaran secara konvensional menjadi pembelajaran secara daring.
Bagi sebagian masyarakat, sistem daring telah memicu prahara baru seperti kesenjangan digital. Sistem konvensional yang sudah mengakar, mengakibatkan masyarakat kesulitan dalam pembelajaran secara daring. Oleh sebab itu, masyarakat mengalami apa yang diesebut Kalvero Oberg dengan “culture shock”. Biasanya gegar budaya sering dijumpai apabila seseorang pergi merantau.
Rantau dianggap sebagai negeri asing. Selain itu rantau juga merupakan sebuah jalan untuk memenuhi hukum dasar yang menuntut agar individu, seperti dikutip Taufik Abdullah, “menundukkan diri terhadap kebesaran dunia”. Kondisi saat ini memang memaksa kita untuk tunduk terhadap kebesaran dunia. Di mana gegar budaya ternyata juga bisa terjadi dalam kondisi saat ini tanpa perlu merantau.
PJJ: Si Pincang di antara Si Lumpuh
Sengkarut masalah covid-19 membuat kita menjadi hyper curiga dan seolah-olah berada dalam ladang ranjau. Terpasung dan menjadi soliter dalam kurun waktu yang tak menentu. Di sektor pendidikan perubahan terjadi secara drastis. Gegar budaya tak terelakkan. Dalam sekejap mata, budaya konvensional berubah menjadi budaya digital.
Pro dan kontra terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih terus bergulir dalam dunia pendidikan kita. Pembelajaran jarak jauh bagaikan “Si Pincang” di antara “Si Lumpuh “ (Jurnal Maarif, 2011). Hal tersebut dikarenakan, PJJ yang masih jauh dari kata sempurna. Di samping itu, sarana dan prasarana belum memadai dan merata. Meskipun demikian, PJJ menjadi sistem yang solutif dalam kondisi saat ini.
Jangan terlalu berekspektasi berlebihan dikala kita sedang dirundung armada bayangan. Sudahi kejengkelan PJJ, sebab, jika diteruskan sama saja kita sedang melumpuhkan sistem yang sudah pincang. Dan juga akan semakin mempersulit dalam bertransaksi ilmu pengetahuan.