Falsafah

Pemikiran Ibn Bajjah 4: Teori Negara yang Ideal

4 Mins read

Masih dengan tema yang sama tentang pemikiran Ibn Bajjah dalam Karya Sirajudin Zar yang bertajuk Filsafat Islam. Kali ini penulis fokuskan pada pembahasan teori negara yang ideal.

Empat Negara yang Dikatakan Tidak Ideal

Penyebab munculnya sebuah pemikiran Ibn Bajjah tentang teori negara yang ideal yaitu karena keterasingannya dan hancurnya moral pemerintahan kala itu. Ibn Bajjah menjelaskan terkait arti dari negara yang ideal yang ia maksud. Menurutnya, suatu negara yang yang ideal adalah salah satu negara yang tidak termasuk dalam empat negara.

Negara apa saja kah yang dimaksud Ibn Bajjah? Pertama, yaitu Kapitalis, Kedua, Komunis, Ketiga, yaitu Teokrasi, dan terakhir Tiran. Suatu negara yang lemah dalam segi politik dan ekonomi, olehnya dikategorikan sebagai negara yang tidak ideal. Negara yang lemah dalam segi politik seperti Tiran dan Teokrasi tidak bisa dikatakan negara ideal.

Salah satu penyebab lemahnya negara dari segi politik di Tiran dan Teokrasi adalah tidak adanya ketegasan dalam kekuasaan pemerintah dan agama. Tidak adanya pembatas atau sekat antara kebijakan agama dan pemerintah, sehingga suatu negara lemah dalam menentukan suatu hukum negara dan agama, karena keduanya berbaur menjadi satu.

Kebijakan negara bisa saja sama dengan agama, pun sebaliknya. Hal ini bisa dikatakan kebijakan yang campur aduk. Begitupun anggapan bahwa keputusan manusia dikatakan sebagai keputusan Tuhan, maka semacam ini tidak masuk kategori negara yang ideal.

Sedangkan, negara yang lemah dalam bidang ekonomi di negeri Kapitlis, yakni pemerataan ekonomi yang tidak ada, artinya masyarakat dalam negara tersebut tidak hidup sejahtera. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin tertindas.

Dampaknya

Dari fenomena di atas, maka tidak heran jika ada penindasan pada kaum lemah dan pembelaan pada kaum Kapitalis. Dengan begitu banyak masyarakat yang mendapatkan fasilitas yang disediakan negara. Tetapi, pada saat negara Kapitalis mulai melakukan pemerataan dari segi ekonomi secara merata seperti negara sosialis, ternyata ada kendala cukup besar yaitu terjadinya kemrosotan dari hasil produksi.

Baca Juga  Kisah Cinta Laila Majnun Perspektif Sufistik

Sebuah gairah dalam persaingan bidang ekonomi akan melemah akibat adanya pembatasan sebuah kekayaan yang telah ditetapkan oleh negara itu sendiri. Antara pekerja keras dan yang tidak bekerja keras, hasilnya tidaklah sama. Hal ini dapat mempengaruhi kinerja suatu pekerja dan semacam ini tidak bisa dikatakan negara yang ideal.

Dari segi inilah yang menjadikan negara Kapitalis, Komunis, Tiran dan Teokratis tidak bisa dikatakan sebagai suatu negara yang ideal menurut Ibn Bajjah. Negara-negara tersebut tidak mampu mensejahterakan rakyatnya dari segi ekonomi maupun politik secara baik. Sehingga banyak terjadi penyelewengan dalam berpolitik mapun ekonomi.

Negara Dikatakan Ideal

Dalam karya Subkhan Anshori yang berjudul Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan, suatu negara dikatakan ideal bila negara tersebut sempurna segi tatanan sosial, ekonomi, politik dan aspek lainnya.

Negara ideal mempunyai beberapa kesempurnaan dalam bermacam aspek. Misalnya dari aspek perilaku dan pemikiran masyarakatnya, tidak ada kesesatan maupun kedustaan. Semua kebenarannya murni berangkat dari kesucian nurani.

Justru dalam negeri yang ideal suatu keberadaan juru dakwa sudah tidak diperlukan karena tidak ada pertentangan dan masyarakatnya berfikiran dan berperilaku positif. Dalam negara ini, masyarakatnya mempunyai tingkat kesehatan yang tinggi dan tidak diperlukannya juru rawat.

Bisakah Menerapkan Negara Ideal?

Sebagian besar para filsuf akan menjumpai puncak kebahagian jika hidup dalam negara yang ideal. Kebahagiaan yang mereka rasakan tercipta dari suatu komunitas berpikir, sehingga mereka tidak perlu lagi mencari komunitas lain yang hanya untuk menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, dan tidak perlu melakukan pengasingan diri.

Ibn Khaldun berpendapat bahwa negara ideal semacam ini sebagai utopia atau hanya sebuah dunia mimpi bagi para filsuf yang tidak mungkin terjadi di dunia yang nyata. Artinya membayangkan negara yang sudah digambarkan di atas memang mudah, tetapi hal ini tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Setiap negara memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Baca Juga  Hakikat Islam: Humanis Berketuhanan, Bukan Anarkis Pembeda Golongan

Keberadaan hakim sangat dibutuhkan dalam menentukan hukum, karena manusia adalah makhluk sosial. Maka Ibn Kaldun menyimpulkan bahwa hanya negara yang berkesukuanlah yang mampu merealisasikan dalam hal yang sifatnya nyata.

Asumsi dari Ibn Khaldun ini tentunya mempunyai alasan karena hal yang seperti ini sudah pernah diutarakan Plato sebagai pioner dalam konsep pembangunan teori suatu negara ideal.

Setelah Plato menyampaikan syarat negara dikatakan ideal, dan bahkan meragukan jika adanya negara yang ideal muncul, hal ini berarti. Plato tidak percaya jika ada suatu negara yang ideal. Bagi Plato, negara ideal tidak akan pernah ada walaupun hanya dijadikan teladan dan pencapaiannya yang sempurna.

Optimis Ibn Bajjah tentang Negara Ideal

Sosok Ibn Bajjah sangat yakin dan optimis akan terealisasinya suatu negara ideal tersebut. Bahkan berbanding terbalik dengan pemikiran Ibn Khaldun dan Plato. Oleh karena itu, optimisme yang ada dalam diri Ibn bajjah menandakan bahwa ia melakukan lompatan dalam hal pemikiran sebelumnya, setiap negara menurutnya bisa mencapi tingkat keidealan.

Baginya negara yang dikatakan ideal yaitu jika adanya pemerataan dalam sektor pendidikan yang berdampak pada tingkat intelektualitas yang meningkat. Maka dari itu sangatlah berbeda dengan pemikiran Al-Farabi dalam hal formasi negara yang dikatakan ideal justru bertolak belakang.

Menurut Al-Farabi, dalam konsep negara yang ideal tidak dari bawah ke atas seperti konsep yang diusung Ibn Bajjah. Melainkan dari atas kebawah. Artinya apa? Yaitu dalam pencapaian negara ideal ditentukan oleh seorang pemimpin yang memimpin negara tersebut. Bahkan orang-orang khusus yang mempunyai derajat kenabian dan filsuf yang tinggi tingkat intelektualitasnya, guna memimpin suatau negara tersebut.

Dengan adanya pemimpin yang seperti itu, negara yang ideal dapat tercapai dan terealisasikan. Artinya, untuk mencapai puncak keidealan suatu negara tergantung dari seorang pemimpinnya, bukan dari masyarakatnya atau warga negaranya sendiri seperti teori atau pemikiran Ibn Bajjah.

Baca Juga  Mulyadhi Kartanegara: Menjemput Masa Depan Filsafat Islam

Lalu bagaimana dengan negara Indonesia? Akan kah termasuk salah satu kriteria negara yang ideal seperti yang dikategorikan Ibn Bajjah? Hal ini belum atau bahkan sama sekali ada dalam jati diri Indonesia.

Pemerataan ekonomi, pendidikan, pelayanan masyarakat, kesehatan dan pembangunan pun belum merata. Maka dari itu Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara yang ideal karena masih jauh dari kriteria tersebut.

Editor: Yahya FR

Ali Mursyid Azisi
12 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds