Perspektif

Awas, Pemimpin Bobrok Sebabkan Negara Runtuh!

4 Mins read

Tanda-tanda runtuhnya suatu negara apabila tindakan amoral, pelanggaran hukum, dan penipuan demi tujuan mencari nafkah, meningkat di kalangan masyarakat. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah dengan cara menggunakan segala cara. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, dan melanggar sumpah serta memakan riba.

Sebuah analisa dan pandangan tajam oleh Ibnu Khaldun, seorang sejarawan muslim dari Tunisia yang namanya tersohor sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi, dan ekonomi modern.

Masyarakat, terutama kaum akademisi, tentu sangat familiar dengan pandangan seorang Ibnu Khaldun dalam hal keruntuhan sebuah negara. Referensi utama yang menggambarkan pemikiran Ibnu Khaldun yakni karya monumentalnya Muqoddimah Ibnu Khaldun. Terutama pada pembahasan pajak yang tinggi dan dampak bahaya bagi sebuah bangsa.

Hal tersebut tidak lepas tatkala pemerintah sedang dalam proses merancang ketentuan umum dan tatacara perpajakan (KUP), yang mana, akan menarik pajak dari berbagai sumber yang dianggap menguntungkan. Termasuk pada pajak barang-barang pokok dan pertanian serta pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada bidang pendidikan (pajak sekolah).

Dua organisasi besar di Indonesia yakni Muhammadiyah dan NU sudah menyatakan menolak terhadap kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah. Terutama pada rencana pajak pada bidang pendidikan karena tidak sesuai dengan amanah kontitusi UUD 1945.

Pada saat kondisi susah akibat badai virus Covid-19 seperti saat ini yang menyebabkan kehidupan ekonomi masyarakat makin sulit, justru pemerintah seperti kehilangan hati nurani  dengan membuat rancangan yang akan mengenakan pajak pada setiap sektor kehidupan. sebagaiamana yang tercantum pada RUU KUP tersebut.

Penyebab Keruntuhan Sebuah Negara Menurut Ibnu Khaldun

Bagi Ibnu Khaldun, penerapan pajak yang tinggi tanpa dibarengi dengan pelayanan publik yang lebih baik, para pemimpin yang hidup bermewah-mewah, ditambah ketidakadilan di kalangan masyarakat, serta semakin hilangnya kepercayaan publik kepada pemerintah, merupakan pertanda awal sebuah negara menuju jurang kehancuran.

Baca Juga  Jangan Gunakan Agama Sebagai Alat Berdagang!

Selain pajak yang berlebihan, menurut pandangan Ibnu Khaldun, ada beberapa hal yang juga menjadi sumber malapetaka bagi runtuhnya sebuah negara, di antaranya adalah:

Pertama, Pemimpin yang Bobrok Moralnya

Pemimpin merupakan simbol terpenting bagi setiap negara. Ia menjadi tolak ukur masyarakat yang dipimpinnya untuk dapat memperoleh kemakmuran atau tidak. Kebijakan para penguasa menjadi penentu baik tidaknya masyarakat yang berada di bawah kepemimpinannya.

Pemimpin yang memiliki moral yang baik, jujur, dan adil, tentu akan memberikan yang terbaik bagi setiap kebijakan yang ditetapkan. Keputusannya selalu yang terbaik bagi rakyat dan seluruh warga.

Kepentingan negara dan masyarakat jauh lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi keluarga dan kelompoknya.  Pemimpin yang bermoral tulus akan meluangkan segala pikiran, tenaga, waktu, bahkan nyawanya demi untuk kemakmuran negerinya.

Namun jika pemimpin yang bejat dan bermoral bobrok, maka kekuasaannya digunakan hanya untuk kepentingan diri beserta kroninya. Korupsi, kolusi, dan nepotisme, menjadi hal lumrah dalam berbagai kebijakan yang diterapkan.

Segala bentuk peraturan yang menjadi keputusan, hanyalah untuk kepentingan segelintir kelompok tertentu saja tanpa memikirkan rakyat yang di bawahnya. Undang-undang yang dibuat dan diputuskan hanya dijadikan alat untuk makin mengokohkan kekuasaan dan segala kepentingannya saja. Jauh dari segala kepentingan untuk mensejahterakan warga dan memajukan negeri.

***

Pemimpin bermoral bobrok adalah mereka yang dengan mudah mengimpor berbagai kebutuhan masyarakat padahal di dalam negeri barang sejenis yang diimpor cukup melimpah.

Beras impor, gula impor, sayuran impor, sementara penghasilan petani terkait hasil bumi tersebut cukup banyak dan melimpah. Hal ini dilakukan karena merupakan “proyek” sebagai jalan untuk menghasilkan pundi-pundi keuangan untuk kepentingan pribadi.

Pemimpin bermoral bobrok adalah yang mengundang para tenaga kerja asing untuk masuk dan bekerja di dalam negerinya serta diberi upah yang tinggi. Sementara warganya sendiri banyak yang menganggur dan miskin karena tidak memiliki pekerjaan.

Pemimpin seperti ini tidak memiliki rasa peduli akan kesengsaraan rakyat. Hal terpenting bagi dia dan kolega-kolegannya adalah bagaimana dapat memperoleh keuntungan yang besar dengan masuknya para pekerja asing tersebut ke dalam negerinya.

Baca Juga  Lima Karakter Pemimpin Pendidikan

Tipe pemimpin yang bobrok dan cacat moral yang beginilah oleh Ibnu Khaldun akan mempercepat negaranya menuju kehancuran.

Kedua, Penindasan Penguasa & Ketidakadilan

Penguasa yang doyan menindas rakyat merupakan tanda sebuah negara menuju kehancurannya. Penindasan bisa dilakukan dengan fisik dan non fisik. Bagi orang yang berani menentang penguasa atau hanya sekedar mengkritik atas kebijakan yang diperbuat oleh pemerintah, maka si pengkritik akan segera ditangkap, diintimidasi, hingga diberi hukuman penjara dengan mencarikan pasal-pasal yang cocok.  

Bagi penguasa yang berwatak penindas, kelompok para pengkritik merupakan musuh yang mesti dilenyapkan. Salah satu caranya adalah pemberian hukuman fisik, dijebloskan ke penjara, disiksa dengan berbagai siksaan yang tidak sedikit mengakibatkan nyawa melayang.

Sementara penindasan non fisik bisa seperti pembuatan peraturan dan undang-undang yang merugikan dan menyengsarakan rakyat. Undang-undang yang hanya menguntungkan para kalangan elit dan koorporasi, namun di sisi lain merugikan para rakyat kecil dan masyarakat pedesaan. Termasuk di dalamnya adalah pungutan pajak yang tinggi terhadap sektor kehidupan.

Di negeri penguasa yang berwatak penindas, hukum tegak hanya untuk kalangan rakyat lemah, lawan politik, dan pengritik. Hukum tidak berlaku terhadap kawan, kalangan elit berduit, dan para pendukung penguasa.

Keadilan dijualbelikan bagaikan barang loakan di pasar. Bagi yang mampu bayar, maka akan bebas dari berbagai permasalahan hukum. Namun apabila tidak, maka bersiaplah untuk menerima hukuman yang setimpal bahkan terkadang tidak masuk akal.

Di negeri penindas, penegakan hukum dan keadilan hanya menjadi jargon dan slogan namun sangat jauh dari kenyataan. Profesi jaksa dan hakim yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum, justru memasang tarif untuk setiap keputusan yang akan diambil.

Baca Juga  Nadiem Makarim, Menteri Milenial Pembongkar Tradisi Pendidikan

Jumlah bayaran akan mempengaruhi hasil keputusan. Profesi terhormat sebagai wakil Tuhan, akhirnya tergadaikan hanya dengan bayaran beberapa puluh lembar uang kertas.

Ketiga, Meningkatnya Perilaku Opotunis Pemimpin Bobrok

Tanda negara menuju jurang kehancuran berikutnya menurut Ibnu Khaldun adalah ketika masyarakat dan para kaum elitnya terjangkiti penyakit oportunis atau bermuka dua. Penyakit di mana seseorang berpikir dan bertindak hanya untuk kepentingan diri sendiri.

Rela mengorbankan apa saja demi menggapai hasrat dan nafsunya. Siap menjilat sana dan menjilat sini yang penting mendapatkan posisi yang aman dan memperoleh keuntungan pribadi.

Tanda pemimpin yang oportunis adalah kebijakannya yang sering tidak konsisten dan lebih cenderung plin plan. Di lain sisi mengatakan membela rakyat, namun di sisi lain membuat kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat.

Berkoar-koar bahwa siap menjadi pejuang kepentingan rakyat namun realitanya malah segala bentuk kebijakan yang diberlakukan semua pro pada kepentingan asing, aseng, dan kontra dengan keinginan rakyat.

Pemimpin oportunis sering membuat janji namun tidak seirama dengan hasil yang dijanjikan. Antara kata dan laku selalu berbeda. Kalimat yang diucapkan memberikan harapan besar, namun hasilnya jauh panggang dari api.

Berjanji di depan para petani untuk siap memberi kesejahteraan untuk mereka, namun yang dilakukan adalah berbalik arah dengan mengimpor berbagai hasil pertanian yang justru menyengsarakan nasib para petani.

Tentu semua berharap negeri Indonesia yang kita cintai bersama jauh dari para pemimpin yang tidak bermoral, berkarakter penindas, dan yang bersikap oportunis. Sehingga Indonesia tetap menjadi negeri yang jaya untuk selamanya.

Pandangan Ibnu Khaldun terkait keruntuhan sebuah negara akibat prilaku dari para pemimpinnya kita sangat berharap tidak terjadi di Indonesia. Cukuplah kita jadikan sebuah referensi dan pelajaran bersama dalam menjaga keutuhan bangsa agar kelak nama Indonesia tetap terus berada di peta dunia untuk saat ini hingga waktu yang tak terbatas.

Editor: Rozy

Furqan Mawardi
17 posts

About author
Dosen Universitas Muhammadiyah Mamuju, Pengasuh Pondok MBS At-Tanwir Muhammadiyah Mamuju
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds