Tafsir

Penafsiran Metaforis atas Fakta-Fakta Tekstual

3 Mins read

Menurut kamus linguistik, “metafora” (metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu bentuk obyek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan. Itu berarti suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu yang kemudian secara literal dan harfiah dialihkan kepada makna lain. Dalam disiplin ilmu Al-Quran pengalihan arti disebut takwil.

Ketika dipelajari lebih dalam lagi, tidak dapat disangkal bahwa setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan dalam Al-Quran. Telah difirmankan di dalam Al-Qur’an, bahwa ia turun dalam bahasa Arab.

Kosakata yang digunakan, umumnya digunakan masyarakat Arab pada masa turunnya. Karena susunan dan keindahan nada yang dihasilkan jauh berbeda dengan syair, memberi kesan bahwa bahasa Al-Quran berbeda dengan bahasa yang digunakan orang Arab kala itu.

Penelitian-penelitian di antara para pakar bahasa seringkali menimbulkan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Yang mana sebagian hasil-hasil yang mereka peroleh belum mendapat kesepakatan semua pihak. Sehingga berakibat membawa sebagian ulama pada sikap berhati-hati dalam menolak pemahaman metaforis pada teks-teks keagamaan.

Penolakan Penafsiran Metaforis

Terdapat dua alasan penolakan pemahaman metafora dalam teks-teks keagamaan. Pertama, metafora sama dengan kebohongan, sedangkan Al-Quran adalah firman-firman Allah yang suci dari hal tertentu. Kedua, seorang tidak menggunakan metafora kecuali jika ia tidak mampu menemukan kosa kata atau ungkapan yang bersifat hakiki. Dan tentunya harus diyakini bahwa Allah maha mampu atas segala sesuatu.

Menurut Ibnu Qutaibah seorang cendekiawan Islam dan pakar bahasa Arab serta pembela ahli hadis (w.889 M) menolak dengan mengungkapkan, “seandainya metafora atau majaz dinilai kebohongan, akan alangkah banyaknya ucapan-ucapan kita merupakan kebohongan.”

Baca Juga  Tak Hanya Suami & Istri, Inilah Makna Zawj dalam Al-Qur’an

Menurut asy-Suyuthi, seorang ulama dan cendekiawan muslim abad 15 (w. 911 H / 1505 M ) yang mengungkapkan “metafora adalah unsur keindahan bahasa dan jika ia ditolak keberadaannya dalam Al-Quran, maka tentunya sebagian unsur keindahan pun tidak akan ada padanya.”

Perselisihan Penafsiran Metaforis

Majaz menurut kaidah kebahasaan dapat dilakukan akibat adanya satu dari dua hal berikut. Pertama, terdapat persamaan antara makna yang dikandung kosakata atau ungkapan dalam arti literalnya dengan makna yang dikandung oleh pengertian metaforis yang ditetapkan. Kedua, adanya perkaitan atau hubungan antara dua hal dalam ungkapan, sehingga mengakibatkan terjadinya penisbahan satu kalimat kepada sesuatu yang seharusnya bukan kepadanya.

Kaidah tersebut disepakati oleh mereka yang berpendapat adanya metafora, bahwa dibutuhkan dukungan petunjuk atau argumen guna mengalihkan satu makna hakiki kemakna metaforis. Tanpa adanya petunjuk maka pentakwilan tidak dapat dilakukan.

Tetapi bagaimana bentuk petunjuk atau argumen tetap diperselisihkan. Diantaranya, pertama, tidak membenarkan pentakwilan atau pengertian metaforis dalam teks-teks keagamaan, kecuali bila pengertian yag ditetapkan itu telah populer dikalangan orang-oang Arab, pada masa turunya Al-Quran. Serta terdapat petunjuk yang jelas yang mendukung pengalihan makna atau pentakwilan tersebut.

Kedua, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran, yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya. Ketiga, penganut-penganut aliran rasional, sementara ahli dinilai melakukan takwil dengan menitik beratkan tolak ukur pada akal. Dan ketika menggunakan argumen kebahasaan, yang digunakan adalah riwayat-riwayat yang sangat lemah dan dibuat-buat.

Pemikir Aliran Rasional

Muhammad Abduh seorang tokoh pemikir muslim, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam, dinilai sebagai tokoh yang menganut aliran rasioal tersebut. Berikut contoh penafsiran metaforis Muhammad Abduh tentang ayat-ayat yang nenguraikan kisah kejadian Adam as. Pada surat al-Baqarah ayat 30 dan seterusnya, dipahaminya atas dasar tamsil.

Penyampaian Tuhan kepada Malaikat, tentang rencana-Nya menciptakan khalfah di bumi, adalah pertanda kesiapan bumi untuk menyambut suatu makhluk yang dapat mengelolanya. Sehingga mencapai kesempurnaan hidup di dunia. Pertanyaan Malaikat terhadap Tuhan, tentang khalifah yang dapat merusak dan menumpahkan darah, dipahami Abduh sebagai gambaran tentang potensi dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan.

Baca Juga  Hubungan QS. Ar-Ra'd: 29 dengan Psikologi Kebahagiaan

Pengajaran Tuhan kepada Adam tentang nama-nama benda, adalah gambaran tentang potensi manusia, mengetahui serta mengolah dan mengambil manfaat segala yang terdapat di bumi ini. Pemaparan pertanyaan kepada Malaikat dan ketidak mampuan mereka menjawab, menunjukkan keterbatasan hukum-hukum alam. Sujudnya Malaikat kepada Adam, menunjukkan kemampuan manusia memanfaatkan hukum-hukum alam.

Keengganan Iblis sujud, menandakan kelemahan manusia dan ketidakmampuannya menghilangkan bisikan-bisikan negatif. Hal ini mengantarkan kepada perselisihan, perpecahan, agresi, dan permusuhan di muka bumi.

Hal tersebut merupakan pentakwilan yang dilakukan Muhammad Abduh. Kemudian diikuti oleh tidak sedikit dari ulama-ulama sesudah masa beliau. Yang mana dalam menggunakan akal seluas-luasnya ketika memahami teks-teks keagamaan. Sehingga merasionalkan ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sebisa mungkin wilayah ghaib.

Namun, jika hal ini diturutkan tanpa batas yang jelas, maka dapat mengantarkan pada pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional. Hal ini semata-mata mengandalkan penalaran akal seseorang dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan kebahasaan. Sehingga para cendekiawan muslim telah mengajarkan, dalam pentakwilan atau pengertian metaforis dalam teks-teks keagamaan di samping membutuhkan nalar, juga menguasai bahasa Arab.

Editor: Nirwansyah/Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Mahasiswa pondok hajjah nuriyyah shabran ums 2018, program study ilmu al Qur'an dan Tafsir, asal Lampung , organisasi IMM
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds