Oleh: Sabrur Rohim
Nabi SAW ingin menekankan kepada umatnya, bahwa harta benda dunia itu tak ada apa-apanya dibanding iman dan Islam di dalam dada. Kekayaan jiwa adalah yang utama (wa ghina al-nufus hiya al-kifaf). Kebahagiaan dan kesenangan sejati yang tak ternilai harganya hanyalah nanti di akhirat.
Pembentukan Karakter
Orang-orang Anshar sempat sedikit protes, karena dalam penaklukan Hawazin mereka tidak mendapat bagian apa-apa. Nabi SAW menjawab sebagaimana menjawab Sa’d Ibn Abi Waqqash, sembari menambahkan, “pilih mana, membawa pulang 100 ekor unta sebagaimana Abu Sufyan dan lain-lain, atau pulang membawa Rasulullah bersama kalian?” Tentu saja, sambil menangis haru, kaum Anshar pilih pulang bersama Nabi, dan itu sudah lebih dari cukup.
Karakter Ju’ail al-Dlamry ini pun sudah terbentuk. Kedekatan dengan Rasulullah, menjadi orang kepercayaan beliau, bagi Ju’ail sudah cukup, melebihi dunia dan seisinya. Ketika perang Dzat al-Riqa’, hanya Ju’ail seorang yang diutus Nabi ke Madinah. Memberi kabar bahwa Nabi SAW dalam keadaan baik-baik saja sehingga umat dan keluarga di Madinah tidak perlu khawatir.
Dalam perjalanan menuju penaklukan kota Makkah, Nabi membawa pasukan 10.000 orang dengan senjata lengkap. Sa’d Ibn Ubadah berteriak, “hari ini adalah hari peperangan. Hari di mana Allah marah kepada kaum Quraisy!” Tetapi Nabi SAW menjawab, sembari memberikan bendera kepada Ali Ibn Abub Thalib, “bukan begitu wahai Sa’d. Hari ini adalah hari kasih sayang. Justru, Allah akan memuliakan orang Qurasiy.”
Penaklukan Makkah
Ketika pasukan itu sampai di sebuah kawasan dekat Makkah, Nabi SAW, yang di shaf terdepan dengan mengendarai Qashwa, unta kesayangannya, melihat seekor anjing betina yang tengah menyusui anak-anaknya di tepi jalan. Anjing itu agaknya baru saja melahirkan. Nabi khawatir jika anjing-anjing itu akan terinjak oleh pasukan Muslim.
Maka Nabi memerintahkan sahabat terkasihnya, yang miskin dan kurang menarik itu, Ju’ail al-Dlamry, untuk menjaga anjing-anjing itu agar aman. Memastikan agar si induk anjing merasa nyaman susui anak-anaknya tanpa terganggu sedikit pun. Tidak terinjak atau tertendang oleh derap langkah 10 ribu pasukan Muslim. Bisa dibayangkan, berapa lama Ju’ail harus menjaga anjing betina dan anak-anaknya itu, karena harus menunggu sampai semua kontingen Muslim melewati tempat itu.
Tetapi itu tentu menjadi kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi Ju’ail. Karena ia menjadi perantara, wasilah, untuk mewujudkan sifat kasih-sayang, sifat welas asih, sang manusia pilihan, Muhammad SAW, kepada seluruh alam. Allahumma shalli ‘ala al-Mushthafa Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wa ummatihi ajma’in.
*) Alumnus PMH Syariah dan PPs UIN Sunan Kalijaga dan ustaz di PP Al Hikmah Karangmojo Gunungkidul DIY
Editor: Arif