Oleh : M. Andhim
Bicara tentang Pendidikan Akhlak dalam Islam. Penulis teringat pada dua tokoh yang menjadi Marja’ atau Rujukan utama. Mereka ialah Al-Ghozali dan Ibn Miskawaih, keduanya merupakan dua tokoh yang memiliki konsep pendidikan akhlak meskipun berbeda. Menurut Nur Hamim (2014) antara al Ghozali dan Ibn Miskawaih sama-sama memiliki konsep pendidikan akhlak.
Hamim menyebut Pendidikan Akhlak Ghozali bercorak mistik. Sedangkan Pendidikan akhlak Ibn Miskawaih bercorak rasional. Namun pada dasarnya, keduanya sama-sama ingin memperbaiki akhlak manusia. Penulis akan mengulas sedikit tentang siapa dan apa buah fikiran Ibn Miskawaih tentang Konsep pendidikan akhlaknya. Karena hemat penulis, tanpa merendahkan salah satu diantara kedua buah pikrian tokoh diatas. Penulis menganggap buah pikiran Ibn Miskawaih lebih relevan untuk pendidikan masa kini.
Siapakah Ibn Miskawaih?
Nama lengkapnya ialah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Ia lahir dalam keadaan yatim di ray Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat pada tahun 421 H / 1030 M. ia hidup pada masa-masa akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah. Pada era itu dinasti Abbasiyah hanya sebagai pemerintahan simbolis. Karena banyak dinasti-dinasti kecil yang mendirikan pemerintahan di dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah. Salah satu dinasti kecil itu adalah dinasti buwaih yang berpusat di kota shiraz. Disanalah Ibn miskawaih bekerja sebagai pustakawan dan ia rajin mempelajari sejarah, filsafat dan sastra. Ia juga sempat menimba ilmu dari Abu Bakar al-Qadhi, Ibn Al-khamar, Abu tayyib al-Razi, dan masih Ulama’ ulama yang hidup di zamannya. Ia merupakan filsuf muslim yang masyhur dan mendapat julukan Bapak Etika Islam atau Bapak Pendidikan Akhlak Islam. (Rizem Aizid, 2017: 141)
Mengapa Ia Masyhur sebagai Bapak Etika Islam?
Ibn Miskawaih memiliki keunikan di dalam buah pikirannya. Ia berhasil memadukan beberapa sumber untuk meramu filsafat Pendidikan Akhlaknya. Pembahasannya didasarkan pada Ajaran Islam (Al-Qur’an dan hadist), kemudian ajaran tersebut dikombinasikan dengan pemikiran filsuf yunani kuno dan pemikiran persia. Tidak semua pemikiran yang bersumber dari luar islam diambil olehnya. Hanya pemikiran-pemikiran yang sejalan dengan ajaran islam lah yang ia gunakan untuk melengkapi buah pikirannya tentang Akhlak/ Etika.
Struktur Jiwa Manusia
Akhlak manusia terletak pada jiwanya. Sehingga sebelum bicara tentang akhlak itu sendiri, maka perlu mengetahui pandangan Ibn Miskawaih tentang jiwa. Ia membagi jiwa manusia menjadi 3 tingkatan. Pertama, Jiwa berfikir (an-nafsu an-naathiqah. Tingkatan ini dianggap paling baik, yaitu jiwa berupa kekuatan untuk berfikir, memahami dan membedakan sesuatu.
Kedua, Jiwa Pemarah (an-nafsu as-sab’iyyah). Pada tingkatan ini, jiwa berupa kekuatan untuk marah, berani, ambisi berkuasa, dan lain sebagainya. ketiga, Jiwa nafsu kebinatangan (an-nafsu al-bahiimiyyah). Tingkatan ini merupakan tingkatan paling rendah. Karena jiwa berupa kekuatan untuk menimbulkan syahwat, makan, minum dan keinginan mengejar kenikmatan yang bersifat material.
Pandangan Ibn Miskawaih Tentang Akhlak
Kata ahklak merupakan bentuk jama’ dari kata Khuluq. Menurut Ibn miskawaih, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong sesesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan terlebih dahulu. Definisi ini beliau tulis dalam kitabnya yang berjudul Tahdziibul Akhlak. Ia mengatakan:
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية و لاروية
Kemudian ia juga membagi akhlak menjadi dua, yaitu akhlak yang bersifat fitrah / bawaan dan akhlak yang diperoleh dari hasil latihan. Ia meyakini bahwa akhlak buruk seseorang dapat dirubah dengan latihan-latihan tertentu. Harapan berubahnya Ahklak tercela menjadi akhlak terpuji adalah sebuah keniscayaan yang sangat mungkin untuk didapatkan. Lantas Bagaimana caranya? Ia menawarkan jalan pendidikan akhlak. Sebuah konsep pendidikan akhlak yang terstruktur secara sistematis.
Pendidikan Akhlak Sebagai Ikhtiyar untuk “Islaahul Akhlaq”
Dalam Kitabnya (Tahdziibul Akhlak) ia memformulasikan metode perbaikan akhlak melalui Konsep pendidikan akhlak. Untuk itu ada lima jalan yang harus ditempuh. Pertama, mencari teman yang baik. Ia meyakini bahwa baik-buruknya perilaku teman akan berpengaruh terhadap akhlak temannya. Kedua, Olah Pikir. Ia mengqiyaskan bahwa sehatnya tubuh diperoleh dengan olahraga. Maka, sehatnya jiwa akan diperoleh dengan olah pikir.
Bila Jiwa sehat, maka akhlak pun akan menjadi baik. Sebab akhlak tercela adalah penyakit jiwa. Ketiga, menjaga kesucian dan kehormatan diri. Cara yang harus ditempuh adalah dengan berupaya tidak menuruti hawa nafsu. Keempat, Menjaga Konsistensi antara rencana baik dan tindakan. Menurutnya usaha perbaikan jiwa (Islaahu an-nafsi) butuh rencana yang matang.
Dan kemudian rencana itu diaplikasikan dalam tindakan yang konkrit. Kelima, Meningkatkan Kualitas diri dengan mempelajari kelemahan-kelemahan diri. Ibn miskawaih berpendapat bahwa untuk mengendalikan diri supaya bisa diajak menuju ke arah yang lebih baik dapat ditempuh dengan mengatasi kelemahan-kelemahan yang telah diketahui.