Perspektif

Menimbang Pendidikan Inklusi di Muhammadiyah

3 Mins read

Oleh: Farid Arifandi

Istilah inklusi dalam pendidikan dapat bermakna “pendidikan untuk semua.” Artinya membangun dan mengembangkan pendidikan yang terbuka; mengajak masuk siapa saja dan mengikutsertakan semua anak dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya, dan lainnya tanpa pembedaan, guna memperoleh kualitas hak Pendidikan yang sama. Artinya, kita sering salah kaprah memaknai inklusi hanya untuk anak disabilitas. Sebenarnya juga berlaku buat ke-3 siswa yang menjadi pelaku perundungan. 

Selain inklusi, pendidikan juga merupakan upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Tujuannya agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan.

Selain itu, aksesibilitas sudah berkembang luas di Indonesia dalam metode pengajaran dan media belajar. Bahkan disabilitas sudah banyak yang menduduki posisi penting di negara ini. Untuk itulah, beberapa kali Undang Undang Penyandang Disabilitas direvisi. Dan telah menjadi semangat naskah akedemik undang undang untuk menghindari aturan aturan yang diskriminatif.

Artinya, selain melihat perhatian besar kita pada kasus kekerasan yang dialami anak disabilitas di sekolah tersebut, kita juga dituntut melihat secara keseluruhan, apa yang sesungguhnya terjadi di sekolah. Dan kenapa kasus kekerasan di SMP Muhammadiyah terjadi, lalu apa yang harus dilakukan pemerintah? Apa yang harus dilakukan Dinas Pendidikan Jawa Tengah? Apa yang terjadi di sekolah SMP Muhammadiyah? 

***

Melihat berbagai pertanyaan di atas, saya mencoba mendalami apa yang terjadi, dengan melihat dari berbagai tulisan media tentang asal muasal anak-anak yang bersekolah di sana. Ada yang menulis pernyataan guru mereka adalah anak-anak pindahan, anak-anak nakal, anak congkak, anak lemah fisik, anak lemah mental, anak merepotkan, diajar susah, suka semaunya sendiri. Pernyataan pernyataan ini patut disoal. Lalu, apa alasan sekolah masih menerima? Bukankah mereka bisa seperti sekolah lainnya, untuk menolak siswa-siswi tersebut? 

Baca Juga  Perlunya Ekoteologi untuk Menjaga Kehidupan

Sebenarnya, penjara bagi siswa SMP di sana sudah lama, semenjak stigma dunia pendidikan memenjara mereka, dengan berbagai sebutan tersebut. Mereka siswa-siswa yang tidak punya pilihan banyak, ketika sudah mendapatkan labelisasi dari lingkungan terdekatnya.

Namun, kenapa SMP Muhammadiyah tetap berani menerima mereka, dan mengambil peran yang berat? Ada pernyataan guru di media tentang kesusahan mengurus anak-anak, namun di sisi yang lain guru menyampaikan ke media, “mereka anak-anak yang membutuhkan pendidikan.” Artinya, sekolah memberi perhatian khusus pada nasib anak-anak seperti ini, dengan siap menerima mereka.

Tentu sekolah juga sangat berhati-hati menghadapi latar belakang siswa yang dapat mengundang perilaku kekerasan dari guru, karena bisa mendapat tuntutan hukum baik dari siswa maupun orang tuanya. Akibatnya, guru enggan bersikap tegas, yang berakhir menjadi pembiaran kepada siswa yang melakukan kekerasan. Namun juga tidak bisa dipungkiri, menjadi guru ada semacam ketakutan jika melakukan hal yang salah dan dianggap kekerasan anak, setelah adanya Undang-Undang Perlindungan Anak.

Inilah potret masih lemahnya pendidikan inklusi kita. Ketika anak-anak seperti ini ‘dipaksa sekolah’, dikeluarkan sekolah, pindah sekolah , dan akhirnya kembali mencari sekolah. Lalu, siapa yang salah? Apakah sekolah? Orang tua? Guru? Atau cara pandang kita?

Kabar dari guru, anak disabilitas tersebut hafalannya di sekolah bagus. Artinya, anak memiliki prestasi akedemik yang baik. Kalau memang benar, apakah layak korban dipindahkan begitu saja? Perlukah pemilihan sekolah yang sesuai kebutuhannya? Atau pemerintah Jawa Tengah perlu mengkaji lagi, sehingga alasan anak berkebutuhan khusus, bukan menjadi satu-satunya alasan memindahkan atau menghapus sekolah. Artinya, perlu banyak pertimbangan dari perkembangan kasus nanti.

Hari ini bisa saja pemindahan sekolah terjadi, siapa sekolah yang berani menolak (dengan perhatian massif publik). Apalagi yang berwenang mengawasi. Namun ke depan, apakah ada jaminan siswa siswi tersebut tidak dikeluarkan lagi dari sekolah, karena pelabelan di sekolah barunya?

Baca Juga  Di Tengah Pandemi, Santri Trensains Berpartisipasi pada Kegiatan NASE (Network for Astronomy School Education)

Apakah itu tidak menjadi pengalaman diskriminasi yang panjang buat para siswa dan siswi di sana? Atau orang tua mereka stress, lelah setelah perlakuan panjang beberapa sekolah kepada anak mereka, sehingga membiarkan anak dan menambah anak putus sekolah di Jawa Tengah? Atau jangan-jangan kita perlu memberikan dukungan dan melengkapi kekurangan yang terjadi di Sekolah tersebut. 

Apakah tidak penting sebelum menghapus sekolah, kebijakan Dinas Pendidikan Jawa Tengah justru mendukung kebijakan pendidikan inklusi yang dijalani sekolah SMP Muhammadiyah? Dari pengalaman siswa-siswa mereka yang ditolak di sekolah lain. Atau Pemerintah Daerah menantang diri sebagai yang punya kewajiban dalam meningkatkan akses layanan pendidikan berkebutuhan khusus di wilayahnya.

***

Sudah sepatutnya kita mendorong sekolah-sekolah lebih inklusi. Dan perlunya praktisi menambah kelengkapan ilmu mereka menghadapi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Agar sekolah SMP Muhammadiyah tidak hanya sekedar berani dan menerima murid, namun mempunyai kemampuan yang cukup menanganinya juga.

Apapun itu, kasus kekerasan anak yang direspon cepat Gubernur Jawa Tengah tetap patut diapresiasi. Namun diharapkan respon cepat itu berlanjut, dengan kajian yang mendalam, agar dapat memutuskan kepentingan terbaik, terutama bagi korban anak disabilitas, 3 anak pelaku perundungan, dan sekolah. Keputusan apapun nantinya menentukan implementasi arah kebijakan pendidikan inklusif kita, terutama di Jawa Tengah, tentu kita dukung sepenuhnya.

Editor: Arif

Admin
185 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds