Perspektif

Pendidikan Kolonial: Dulu dan Sekarang

3 Mins read

Hingga penutup abad ke 19, Belanda semakin percaya diri. Indonesia seperti tidak ada harapan untuk mampu melawan mereka. Raja-raja nusantara mudah di adu domba, dan kesetiaan rakyat dapat dibeli. Belum lagi kebanyakan pribumi saat itu tidak memiliki pendidikan. Gerakan kemerdekaan tersendat oleh pola komunikasi antara organ yang tidak efektif.

Bahkan jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia termasuk jauh tertinggal. Kala itu hanya satu dari sepuluh orang di nusantara yang bisa baca tulis. Padahal di negara-negara tetangga sudah berhasil mengentaskan 30% warganya dari buta huruf. Malahan di Filipina separuh masyarakatnya bisa menulis.

Belanda paham bahwa ini tentu masalah besar. Apa untungnya, kata mereka, menguasai manusia yang bebal. Jangan-jangan ketimbang profit, justru jadi beban. Untuk alasan pragmatis itulah, Belanda membangun sistem pendidikan bagi pribumi. Sebagai balas budi, lagi-lagi kata mereka.

Tidak hanya sekolah dasar, mereka juga mendirikan sekolah tinggi dan vokasi kala itu. Jumlahnya begitu banyak dan tersebar di berbagai penjuru nusantara. Menurut data, pada akhir 1930an terdapat 4000 siswa Indonesia yang mendapat kesempatan untuk bersekolah.

Namun sungguh betul kata Freire. Kemurahan hati seorang penindas tidak pernah tulus. Ia hanya aksi untuk memoles citra dan melipur lara yang tertindas. Sama halnya dengan Belanda: pendidikan mereka diskriminatif lagi indoktrinatif.

Di satu sisi mereka memberi pendidikan minimalis dengan muatan yang timpang ketimbang sekolah ‘eropa’, di sisi lain mengajarkan pribumi mengenai sejarah dan superioritas Belanda. Mereka ingin mengatakan bahwa penjajahan adalah niscaya. Karena masif dan berulang kali maka banyak juga yang percaya dan jadi kaki-tangan penindasnya.

Menariknya, di dunia modern sekarang tidak jauh berbeda. Banyak cerdik cendekia yang belajar di Barat dan pulang justru melayani kepentingan elit dunia: aktor penindas baru dari yang sebelumnya sebuah negara bangsa. Hanya saja masalahnya tidak banyak yang sadar bahwa kita masih dijajah.

Baca Juga  Daftar Tiga Pesantren Berwawasan Lingkungan di Indonesia

Belanda dan Krisis Ekonomi

Pada tahun 1930an Belanda kepayahan. Krisis ekonomi global yang tiba-tiba melanda tempo hari mengganggu rencana dominasi mereka untuk tiga setengah abad yang lain. Mereka jadi harus memotong sepertiga anggaran pendidikan. Tentu saja, dengan catatan bahwa sekolah-sekolah pribumi saja yang perlu merasakan dampak.

Berbagai jenis tagihan biaya mulai dikenalkan. Jika dulu segalanya nyaris gratis, sekarang tiba-tiba jadi mahal. Untuk daftar harus bayar. Untuk registrasi ulang juga bayar. Bahkan untuk ujian kelulusan, siswa juga harus bayar.

Penindas yang pandai tentu tahu kalau yang ditindasnya terlalu miskin untuk menanggung biaya itu. Maka, dikenalkan cicilan hingga sepuluh kali untuk pelunasan. Tentu dengan syarat: tidak lunas tidak bisa ujian. (Banyak juga model pendidikan ala ‘Belanda’ ini di Indonesia tahun 2021).

Krisis ekonomi global kala itu ternyata berdampak politis juga. Banyak siswa-siswa lulusan sekolah pribumi yang kebingungan bekerja. Janji-janji jabatan di kantor administrasi Belanda pupus. Belanda tentu memprioritaskan orang Belanda sendiri. Toh pendidikan pribumi sangat dasar dan tidak berkualitas sejak awal.

Saat itulah dua organisasi besar (Taman Siswa dan Muhammadiyah) giat mengkampanyekan pendidikan ‘merdeka’. Tentu, merdeka yang sebenarnya, bukan hanya merdeka dalam slogan dan pamflet-pamflet pemerintah. Semua biaya gratis, siswa tinggal duduk dan belajar.

Yang lebih penting bahwa pendidikan mengajarkan mentalitas ‘merdeka’. Siswa belajar dalam iklim dialogis, dan mereka berpartisipasi dalam pembelajaran. Mereka bebas menentukan topik dan belajar dimanapun mereka nyaman. Mereka diajarkan untuk membuat pilihan-pilihan rasional dan individual, bukan sekedar mencentang di lembar sajian mata kuliah.

Juga yang paling menarik adalah sistem pengelolaan yang jauh lebih efisien. Desentralisasi hingga pada level sekolah. Guru-guru dapat berinovasi seketika dengan kondisi yang menyertai kehidupan dan masalah yang dirasakan masyarakat sekitar. Disinilah berarti bahwa guru juga dimerdekakan. Lagipula, apalah artinya merdeka jika gurunya pusing dengan tambahan seabrek aturan baru yang mengekang, bukan?

Baca Juga  Bagaimana Islam Membicarakan Pendidikan Seks?

Maka tidak salah bila saat itu, M sebagai salah satu huruf dalam akronim sebuah sekolah yang berafiliasi dengan Muhammadiyah identik dengan M sebagai kepanjangan dari kata merdeka. Sebab, kemerdekaan yang sejati dicita-citakan dan diperjuangkan disini.

Menjamurnya Sekolah-Sekolah

Sekolah-sekolah ini menjamur dalam beberapa tahun. Tentu saja kehadirannya lekas mengganggu Belanda. Mereka merasa terancam bukan saja karena sekolah-sekolah ini gratis dan masif namun juga karena sekolah-sekolah ini menjadi bibit bagi nasionalisme: biang keladi pemberontakan.

Segala daya upaya Belanda lakukan untuk menangkal gerakan ini. Para guru yang vokal dan diketahui terlibat dalam gerakan revolusi akan diciduk di rumah. Diamankan, katanya, bukan ditangkap. Tidak seperti sekarang yang mudah memviralkan penangkapan, para ‘pahlawan’ saat itu jarang yang kembali.

Beberapa diadili untuk dieksekusi. Beberapa lagi diasingkan jauh. Banyak juga yang dirayu Belanda. Ditawari posisi-posisi penting di desa atau di kantor pusat Batavia. Untung saja jiwa pahlawan kita sangat kuat saat itu. Mereka tidak ciut hanya karena ancaman penjara ataupun buaian jabatan komisaris.

Diantara para pejuang banyak yang mengambil strategi perang gerilya. Senjata mereka hanya bambu runcing, ketapel, dan semangat liberasi yang tidak terbendung. Hutan-hutan jadi pusat operasi mereka. Kompeni kewalahan mengatasi.

Hari ini sulit kita temukan aktivis macam ini. Yang ada mereka mengeluh ke Kakanda dan Ayahanda bahwa tidak ada akomodasi dan pulsa.

Begitulah: tidak ada logika, tanpa logistik, mottonya. Menyebar proposal, sambang politisi, kerjanya. Dulu perang gerilya, sekarang masuk kamera.

Pentingnya Pendidikan Sejarah

Bertambah umur kita tidak senantiasa berarti semakin kita maju. Kadangkala justru kita mengalami kemunduran karena kekhilafan. Pendidikan sejarah seharusnya bekerja untuk mengungkap hal ini; bahwa banyak pelajaran penting yang dulu hidup, dan sekarang mati.

Baca Juga  Mohammad Natsir dan Cita-cita Indonesia Emas 2045

Belajar sejarah bukan sekedar mencari fakta untuk nostalgia. Belajar sejarah bukan untuk bilang bahwa kita pernah berjaya, bukan juga untuk bilang bahwa kita paling berjasa.

Dengan belajar sejarah idealnya kita semakin paham sejauh mana konsistensi kerja humanisasi kita. Apakah kemerdekaan manusia yang hakiki semakin terangkat dengan kita sebagai bagian darinya?

Ataukah kita justru telah lama menyerah pada misi-misi itu? Apakah saat ini kita justru melayani penindasan dalam bentuknya yang baru?

Editor: Yahya FR

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds