Nafsiyah

Karya Sastra Ulama (5): Pentingnya Wawasan Kebudayaan

2 Mins read

Muhammadiyah Tidak Anti Kebudayaan

Kebudayaan – Ketika menuliskan esai ini, saya membaca berita perihal pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pak Haedar Nashir, yang menyampaikan agar “anggota, kader, mubaligh, dan pimpinan Muhammadiyah terus memperkaya wawasan kebudayaan.”

Beliau juga menegaskan agar “kader dan elite Muhammadiyah tidak boleh anti terhadap kebudayaan, sebab menurut Fatwa Majelis Tarjih kebudayaan bukan suatu yang diharamkan.”

Pernyataan Pak Haedar Nashir tersebut seiring-sejalan dengan pokok pikiran yang akan saya sampaikan di bagian penutup serial tulisan ini.

Penggunaan Sastra untuk Gerakan Dakwah Bukan Hal Baru

Sebelum itu, saya perlu mengatakan bahwa penggunaan sastra bagi gerakan dakwah tentu saja bukan hal baru. Sejak berabad-abad lalu, ulama di seluruh belahan dunia telah menggunakan sastra secara khusus dalam menyebarkan ajaran agama.

Namun begitu, pembicaraan tentang pentingnya sastra dalam gerakan dakwah di zaman ini semakin mendesak untuk diketengahkan justru di tengah situasi ketika gelombang anti-kebudayaan semakin tinggi di dalam kultur beragama masyarakat kita.

Gelombang kebudayaan ini tak hanya melanggeng pemahaman yang keliru dalam memandang kebudayaan, tetapi juga memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat Islam dalam berhubungan sosial sesamanya. 

Salah satu bentuk tindakan anti-kebudayaan adalah sikap yang mengusung pemahaman teks-teks agama secara harfiah dan tunggal serta sikap yang menghambat adanya tafsir lain.

Sebaliknya, sastra—dalam bentuk terbaiknya—adalah salah satu bentuk seni yang melatih manusia untuk bisa menggali yang tersirat (tersembunyi) di balik yang tersurat (tampak) dan memaknai suatu teks sesuai konteks. Dan untuk bisa melakukan itu, seorang pembaca harus menjadi pembaca yang aktif menggali makna. Bukan yang pasif menerima saja.

Suatu sifat aktif akan mengasah perasaan dan pikiran jadi tajam dan peka, sedangkan sikap pasif hanya membuat perasaan dan pikiran jadi tumpul dan kaku.

Baca Juga  Wajah Toleransi di Negara Oman

Ajakan Membaca Karya-Karya Sastra Kebudayaan

Terakhir, bagian penutup ini saya gunakan sekaligus sebagai ajakan kepada umat Islam, terutama sesama generasi muda, untuk membaca kembali karya-karya sastra yang ditulis oleh para ulama kita di masa lalu.

Bagi umat Islam yang sudah terbiasa membaca karya sastra para ulama, tentu saja ajakan ini tidak diperlukan lagi. Oleh sebab itu, secara khusu saya mengajak umat Islam yang selama ini terlanjur memandang sastra secara sempit dan mungkin keliru.

Bagaimana pun juga, ketika ulama memilih menulis karya sastra, hal itu tidak semata-mata untuk tujuan “hiburan” atau sekadar “hobi” saja. Sejauh yang saya pahami, para ulama mempunyai pertimbangan yang matang ketika memilih berdakwah menggunakan karya sastra.

Salah satu pertimbangan itu, setidak-tidaknya, adalah agar umat Islam tidak malas menggali dan menggali segala hal yang tak selamanya bisa dipahami lewat kelima indera belaka.

Dan dari karya sastra para ulama (salah satu contohnya puisi-doa karya Gus Mus ini) kita jadi semakin paham bahwa menyampaikan dakwah itu tidak sebatas memberikan batas kaku perihal mana yang baik dan mana yang buruk.

Editor: Yahya FR

Avatar
5 posts

About author
Heru Joni Putra lahir 13 Oktober 1990 di Payakumbuh, Sumatra Barat. Lulusan Sastra Inggris FIB Universitas Andalas dan Cultural Studies FIB Universitas Indonesia. Buku pertamanya berjudul Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (2017) beroleh penghargaan sebagai Buku Sastra Terbaik versi Majalah TEMPO 2018 serta Wisran Hadi Award 2019 dan telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh George A Fowler dengan judul Will Badrul Mustafa Never Die: Verse from the Front (2020). Tahun 2019 ia mengikuti Residensi Penulis di Bristol (UK) atas dukungan Komite Buku Nasional. Buku terbarunya berjudul Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka (2021). Ia kini tinggal dan bekerja di Jogjakarta serta bisa dihubungi via IG @heru.joniputra |
Articles
Related posts
Nafsiyah

Islam: Melebur dalam Seni dan Budaya Indonesia

4 Mins read
Islam Budaya | Indonesia dengan puluhan ribu pulau dari Sabang sampai Merauke memiliki beragam budaya dan adat istiadat. Keragaman budaya itu menghasilkan…
Nafsiyah

Empat Penyebab Intoleransi kepada Minoritas

3 Mins read
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia sering kali dilanda oleh berbagai macam fenomena keagamaan, terutama pada umat Muslim. Intoleransi dan diskriminasi golongan tertentu…
Nafsiyah

Potret Pembelajaran Islam di Rusia

1 Mins read
Dilansir dari World Population Review, jumlah pemeluk agama Islam di muka bumi ini pada tahun 2020 yakni sebanyak 1,91 miliar orang. Dengan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *