Sejak awal berdirinya pada tahun 1912 Muhammadiyah telah melakukan perintisan dalam pencerdasan bangsa yang sangat menarik dan kreatif. Pencerdasan ini sesuai dengan keberadaannya sebagai gerakan pembaruan Islam dan kini seiring dengan semangat masyarakat ilmu.
Upaya pencerdasan tersebut serupa dan memiliki kedekatan khusus dengan Taman Siswa. Kedekatan dan perjuangan bersama lewat pendidikan bangsa yang bersifat kultural dan keagamaan antara Kiai Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara dilanjutkan oleh KH Mas Mansur. Salah seorang Ketua Umum PP Muhammadiyah ini bersama Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta duduk dalam satu tim yang dikenal dengan “Empat Serangkai”.
Riwayat Sekolah Muhammadiyah
Kiai Dahlan pada awalnya mendirikan sekolah rakyat di Kampung Kauman. Murid laki-laki bersekolah di Standard School Muhammadiyah, Suronatan. Murid perempuan bersekolah di Sekolah Rakyat Pawiyatan, Kauman.
Sekolah Menengah yang pertama kali didirikan oleh Kiai Dahlan adalah perguruan Al Qismul Arqo–yang kemudian menjadi Muallimin dan Muallimaat Muhammadiyah–pada tahun 1918. Dengan demikian, peranan lembaga pendidikan dan persyarikatan Muhammadiyah cukup signifikan dalam sejarah perjuangan kebangkitan nasional. Berperan dalam mencapai serta mengisi kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Melalui pendidikan, tokoh seperti K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Teuku Moh. Syafei, Siti Rahmah El Yunusiah, hingga KH Abdul Halim menanamkan jiwa dan semangat nasionalisme kepada generasi muda. Para tokoh tersebut membangun visi dan misi pendidikan dalam bingkai kebangkitan Indonesia. Tujuannya meraih kemerdekaan dan kehidupan bangsa yang bermartabat, adil, dan makmur.
Ki Hajar Dewantara, misalnya, mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Ia ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka. Ki Hajar meyakini, penyadaran bangsa melalui lembaga pendidikan dapat dilakukan. Hasilnya, kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeinginan untuk merdeka pun tumbuh-berkembang di kalangan Bangsa Indonesia.
Kecerdasan Holistik
Tentang kecerdasan bangsa pun perlu dikembangkan pengertian yang dapat diturunkan dalam kebijakan dan praktek pendidikan. Menurut Psikolog Howard Gardner, sedikitnya ada tujuh jenis kecerdasan, yang sekarang telah berkembang menjadi Kecerdasan Holistik.
Kecerdasan linguistik, berkaitan dengan kemampuan bahasa dan penggunaannya. Kecerdasan musikal, berkaitan dengan musik, melodi, irama dan nada. Kecerdasan logis-matematis, berhubungan dengan pola, rumus-rumus, angka-angka dan logika. Kecerdasan spasial, berhubungan dengan bentuk, lokasi dan hubungan di antaranya. Kecerdasan tubuh-kinestetik, berhubungan dengan pergerakan dan ketrampilan olah tubuh. Kecerdasan interpersonal, berhubungan dengan kemampuan untuk bisa mengerti dan menghadapi perasaan orang lain. Kecerdasan intrapersonal, berhubungan dengan mengerti diri sendiri.
Sudah barang tentu pengertian kecerdasan bangsa, lebih dari sekedekar penjumlahan secara kuantitatif dari kecerdasan dan kesadaran individual. Karena hal ini menyangkut harkat, martabat, dan visi besar sebagai bangsa yang memiliki sejarah yang panjang dan memiliki cita-cita luhur untuk turut menjaga ketertiban umum dan perdamaian dunia, berdasarkan keadilan.
Menurut Prof. Dr. Omar Kayam, bahwa pendidikan budaya, agama dan politik yang dilakukan oleh Taman Siswa dan Muhammadiyah yang berperan cukup penting dalam proses penyadaran bangsa. Taman Siswa maupun Muhammadiyah disebut merupakan penyangga budaya bangsa. Terutama dalam bidang pendidikan.
Pergerakan dua organisasi tersebut semacam gerakan Sarvodaya, di Sri Langka dan Pusat Pendidikan Shanti Niketan, oleh tokoh pujangga dunia Rabindranath Tagore, di India. Dan sekarang berkembang gerakan School of Well-Being dengan konsep dasar GNH (Gross National Happiness) yang juga didukung oleh UNESCO. Bermula dari Bhutan dan berkembang ke Thailand dan negara-negara lain.
Strategi kebudayaan pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa oleh Muhammadiyah yang dilakukan secara holistic, berbasis “Organic Wisdom” : Mukaddimah AD, MKCH (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup), Kepribadian Muhammadiyah, hingga Khittah Perjuangan Muhammadiyah yang rumusannya bukan dilakukan oleh seorang tokoh dan sekali jadi. Tetapi merupakan rumusan dasar yang menyahuti perkembangan dan panggilan zaman. Juga terus berubah dalam sidang-sidang Tanwir dan menjadi “tuntunan baku” Persyarikatan Muhammadiyah.
Sumbangan Muhammadiyah
Selama satu abad khidmatnya, Muhammadiyah melakukan perintisan dan merealiasikan makna amanat “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang terpatri dalam Mukaddimah UUD 1945. Amanat luhur kebangsaan ini dinyatakan lebih jelas lagi dalam pasal UUD 1945, pasal 28 C yang berbunyi : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
UNESCO Interregional Conference Asia and Arab on Philosophy of Peace Culture and Human Integrity, yang dilaksanakan di Port Dickson, Melaka, 14-17 Juni 2010, meneguhkan kembali pembaruan pendidikan dan penanaman nilai integritas manusia (Human Integrity) yang dilakukan secara holistik. Pada kesempatan tersebut penulis menyampaikan pengalaman Indonesia, termasuk yang terpenting, Persyarikatan Muhammadiyah yang keberadaannya memasuki abad ke-2.
Untuk melihat tantangan dan peluang masa kini dan masa depan, perlu kita kaji bersama beberpa pemikiran futuris Ziauddin Sardar. Kebanyakan kita mengenal Zia, lewat buku -bukunya yang futuristik: “Islam, Qur’an and Islamic reform” ; “Science and empires” ;”Futures“; “Identity and multiculturalism” ; “Postmodernism and transmodernity“; Juga mengintip buku terbarunya yang tengah diedit : “Postnormal Times“.
Era kontemporer didiskusikan kembali oleh Ziauddin Sardar, telah berkembang menjadi “Postnormal” . Kita sekarang hidup di “Era Postnormal“. ‘The espiritu del tiempo‘, the spirit of our age, dengan karakteristik : uncertainty, rapid change, realignment of power, upheaval and chaotic behaviour.
Sardar mengidentifikasi tiga pendorong utama dari “postnormal times” ini: 1) complexity, 2) chaos 3) contradictions. Tiga ‘c’s’ ini, menurut Zia, memaksa kita untuk memikirkan kembali “our ideas on progress“, “modernisation“, “efficiency“. Juga menekankan “social virtues“, “individual responsibility“, “ethics“, dan peran penting “imagination“.
“Postnormal times” mendorong kita untuk menfokuskan kepada “uncertainties, and the ignorances associated with them”, yang akan kita hadapi in the near and far future. Postnormal Times tidak bisa sepenuhnya (di) ‘managed’ atau ‘controlled’. Cara terbaik yang dapat diharapakan adalah “to navigate our way through uncertainties and ignorances to avoid the edge of chaos”.
Sardar dan kawan-kawan futurists menyarankan cara terbaik untuk bernavigasi di “postnormal times” ini adalah dengan melihat masa depan. Melihat “future“, sebagai Tiga Masa Depan (three tomorrows):1) the ‘Extended Present’, with many empirically observed trends that are deeply embedded in the now and will manifest themselves in the coming years; 2) the Familiar Futures, which are mediated by images and imaginings of the future(s), from data-driven projections to science fiction; 3) the Unthought Futures, which are not unthinkable but rather a horizon where something always remains unthought, which is to say that it is populated with seemingly infinite alternative futures.
Tiga Masa Depan “The three tomorrows” ini mempunyai dampak terhadap masa kini ” the present” , baik secara individual maupun Bersama.
Muhammadiyah dengan anak panahnya Muallimin dan Muallimaat Muhammadiyah sebagai sekolah kader, hendaknya mengorientasikan agendanya ke masa depan. Sebagai gerakan berkemajuan dalam suatu jejaring yang planeter.
Planetary Society Network Muhammadiyah
Pengabdian Muhammadiyah selama 100 tahun, telah dengan tekun membangun modal sosial (social capital) yang sangat berharga. Modal sosial tersebut berupa amal usaha yang tersebar di seluruh tanah air. Disertai dengan kelembagaan dan anggotanya yang terorganisasi dan berdisiplin organisasi, amal usaha Muhammadiyah merupakan kekayaan budaya dan sosial umat, bangsa, serta kemanusiaan yang sangat berarti.
Muhammadiyah di usianya yang ke-100 ini merupakan fenomena “Global Civil Society”. Menjadi pilar sosial dan budaya yang telah teruji oleh berbagai perubahan zaman.
Dalam era kesejagatan/al ‘aulamah ini, peran “global civil society” diharapkan mampu mentransformasikan hubungan kekuasaan dari model dominasi dari suatu imperium modal dan pasar menjadi suatu model kerja sama masyarakat. Suatu “global civil society” yang merupakan kebangkitan kesadaran terhadap kemungkinan dan kemampuan untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar demokratis. Menghormati kehidupan dan mengakui nilai/harga dan kontribusi dari setiap pribadi warganya.
Muhammadiyah dengan kelembagaan dan amal usahanya yang tersebar luas, telah menjadi suatu kompleks dari jejaring aliansi masyarakat. Berkomitmen untuk menciptakan masyarakat yang adil, lestari, dan saling “menggembirakan” antar sesamanya (Korten, Perlas dan Shiva, dalam Global Civil Society : the Path Ahead, 2007).
Patut disyukuri bersama, bahwa Muhammadiyah, sebagai gerakan dakwah, tajdid, amar ma’ruf nahi munkar telah berhasil menghimpun masyarakat dan menggerakannya. Kemudian membangun dan menghimpun modal sosial yang sangat berharga, dalam bentuk berbagai amal usaha yang tersebar luas di seluruh wilayah tanah air.
Berbagai amal usaha tersebut merupakan refleksi dari kepercayaan (amanah/trust) yang diberikan oleh masyarakat. Modal sosial yang merupakan amanah dan kepercayaan masyarakat ini sudah semestinya dijaga dan dikembangkan bersama, dalam menggapai cita-citanya. Peningkatan kualitas mesti dilakukan dan menjadikannya modal pembangunan peradaban yang utama.
Dalam perjalanan peradabannya (civilizational journey) yang dibangun dari bawah, Muhammadiyah telah berhasil menciptakan ruang bagi kekuatan-kekuatan masyarakat. Hal ini merupakan perwujudan dari organisme sosial baru yang merupakan kebangkitan budaya planeter (planetary culture) yang otentik, lewat ruh tajdid yang disemai. Dengan semangat tajdid dan kembali kepada ajaran Tauhid, maka terjadilah suatu pemberdayaan teologis dan kultural. Dilakukan dengan memerdekakan dari hierarki keagamaan, struktur perantara antara manusia dengan Tuhan, hambatan sosial, budaya, dan tradisi yang mendominasi.
***
Pembaruan Muhammadiyah yang berorientasi pemberdayaan masyarakat ini, merupakan panggilan baru di era globalisasi. Panggilan tersebut terwujud dalam ketidakadilan, konsumerisme tinggi dan rezim hutang internasional pada saat ini, sesuai dengan Kepribadian Muhammadiyah.
Panggilan baru yang dihadapi oleh Muhammadiyah memasuki abad yang kedua, memerlukan kearifan sebagaimana yang diteladankan oleh para pendiri dan pemimpin pendahulunya. Kearifan yang bersumber kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW yang diterapkan secara arif dan inovatif di dalam masyarakat yang terus mengalami perkembangan menuju masyarakat ilmu.