Tafsir

Delapan Karakter Ummah Wasath

4 Mins read

-Ummah Wasath- Sebelum menjelaskan delapan karekter ummah wasath, saya awali dengan pembahasan kepribadian masyarakat ummah wasath yang saya pahami dari ungkapan fastabiqul khairat dalam al-Baqarah, 2: 148. Fa adalah kata penghubung untuk menyatakan jawaban (harf al-jawab) yang berarti “maka”. Dan secara bebas, bisa diterjemahkan dengan “karena itu”.

Istabiqu merupakan kata perintah dari kata kerja bentuk lampau istabaqa. Dibentuk dari sabaqa yang berarti mendahului atau berada di depan. Jadi istabaqa merupakan tsulatsi mazid (kata terdiri dari tiga akar yang diberi tambahan huruf) dengan tambahan hamzah dan ta’ yang bermakna lit thalab, menyatakan usaha. Adapun al-khairat adalah jamak dari al-khair, berarti kebaikan yang disenangi semua orang.

***

Berdasarkan ini, ungkapan itu berarti “maka (karena itu) berusahalah kamu sekalian untuk berada di depan dalam semua kebaikan yang disenangi semua orang”. Ungkapan ini merupakan perintah kepada umat Islam. Untuk merespon idealitas sistem sosial egaliter dan struktur sosial masyarakat negara yang diidealkan oleh al-Qur’an yang telah dijelaskan di atas.

Dengan demikian, mereka diperintahkan untuk memberi respon kreatif terhadap pluralitas masyarakat dalam masyarakat global. Begitu juga pluralitas komunitas atau warga dalam masyarakat Islam. Dalam hidup di tengah masyarakat global dan plural itu, mereka harus menjadi masyarakat dan komunitas yang selalu berusaha untuk berada di depan. Atau terkemuka dalam semua bidang yang disenangi oleh seluruh warga. Tidak terbatas pada bidang spiritual saja, baik itu bidang ilmu pengetahuan, politik, eknonomi maupun yang lain.

Delapan Karakter Ummah Wasath

Karakter masyarakat ummah wasath meliputi sifat-sifat melekat yang disebutkan dalam al-Baqarah, 2: 151-152.

Pertama, pencerah. Sifat ini dipahami dari ungkapan yatlu ‘alaikum ayatina (membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu sekalian; dalam al-Baqarah, 2: 151). Ungkapan ini (dan ungkapan-ungkapan lain yang menjadi dasar sifat-sifat kepribadian masayarakat Islam dalam ayat ini) menunjukkan kegiatan yang dilakukan Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah rahmat bagi seluruh alam (al-Ahzab, 21: 107). Risalah itu menjadi mandat baginya untuk mewujudkan kebaikan nyata dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.

Baca Juga  Teori Hudud dalam Penafsiran Alquran

Dalam melaksanakan mandat ini, sudah barang tentu dia menyampaikan firman Allah yang diwahyukan kepadanya (ayat qauliah). Sebagai pedoman untuk mewujudkan kebaikan nyata. Disamping itu, dia juga menyampaikan pembacaan ayat-ayat alam (ayat kauniah) dan ayat sejarah (ayat tarikhiah). Melalui penyampaian dan pembacaan itu, umat bisa memahami kehendak Allah yang diungkapkan dalam ketiga ayat tersebut. Pemahaman ini menjadi modal pengetahuan bagi mereka untuk mewujudkan kebaikan nyata dalam kehidupan mereka sendiri.

***

Sesuai dengan tuntutan risalah rahmat di atas, mereka pun dituntut untuk terlibat dengan berperan aktif mewujudkan kebaikan nyata bagi masyarakat lain. Dengan demikian ungkapan tersebut menunjuk kepada peran mereka masyarakat Islam sebagai masyarakat pembebas dalam sejarah. Peran ini pada periode sejarah awal Islam tergambar dalam penerapan konsep fath (pembebasan) dalam dakwah perluasan wilayah kekuasaan kekhalifan.

Kedua, bersih. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yuzakki kum (dan dia mensucikan kamu sekalian) dalam al-Baqarah, 2: 151. Nabi mensucikan mereka dari segala kotoran yang melekat pada batin dan lahir mereka di zaman jahiliah. Jadi ungkapan ini menunjukkan sifat bersih yang harus dimiliki umat sebagai pribadi dan kelompok. Sebagai pribadi dan masyarakat yang bersih, mereka tidak hanya bersih akidah dari kemusyrikan, tapi juga harus bersih dalam bidang-bidang kehidupan yang lain seperti ilmu bersih dari mitos, bersih akhlak dari perilaku tidak terpuji, bersih ekonomi dari eksploitasi, dan bersih hukum dari ketidakadilan.

Ketiga, unggul. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yu’allikumul kitab (dan dia mengajarkan al-Qur’an kepadamu). Dengan diberi pengajaran al-Qur’an oleh nabi, bangsa Arab menjadi sejajar dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya yang terlebih dahulu telah diberi wahyu kitab suci. Dalam alam pikiran masyarakat ketika itu, masyarakat yang memiliki kitab suci (ahludz dzikri) dipandang lebih unggul daripada masyarakat yang belum memiliki kitab suci. Ini berarti umat Islam dengan al-Qur’an yang dimilikinya seharusnya menjadi masyarakat yang unggul. Keharusan ini sangat wajar karena dalam kitab suci ini terhadap ajaran-ajaran yang sangat inspiratif seperti ajaran tentang masyarakat ideal yang sedang dibicarakan ini.nya demikian dengan

Baca Juga  Islam Bukan Rahmatan Lil'alamin!

***

Keempat, arif (bijaksana). Sifat ini dipahami dari ungkapan wal hikmah [dan (dia mengajarkan) hikmah kepadamu]. Al-hikmah adalah mendapatkan kebenaran secara tepat dengan ilmu dan akal. Dalam prakteknya mereka yang mendapatkan hikmah dapat menjadi orang yang memiliki pikiran jernih, hati bening, kecerdasan tinggi dan kemampuan mengelola secara bijaksana. Kualitas ini dalam bahasa Indonesia ada dalam pengertian arif.

Dengan mendapatkan pengajaran hikmah dari Nabi umat Islam dapat memiliki kearifan yang sangat berguna untuk mewujudkan kebaikan nyata dalam hidup mereka. Karena itu mereka seharusnya menjadi masyarakat yang berkearifan tinggi dalam menyelesaikan segala masalah yang mereka hadapi. Kemudian karena kehidupan itu semakin kompleks dan untuk menjalaninya dibutuhkan kearifan yang harus terus ditingkatkan, maka Nabi menganjurkan orang beriman untuk terus menemukan hikmah di manapun berada, meskipun ada di mulut anjing atau babi hutan.

Kelima, berwawasan luas. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yu’allimukum ma lam takunu ta’lamun (dan dia mengajarkan apa-apa yang kamu tidak ketahui). Dengan mengajarkan apa yang sebelumnya tidak diketahui, umat Islam bisa memiliki wawasan yang luas. Secara tersirat ungkapan itu berisi perintah kepada mereka untuk terus belajar. Perintah ini kemudian menjadi tersurat dalam sebuah hadis yang menganjurkan umat untuk belajar dari ayunan sampai ke liang lahat.

***

Jadi mereka harus melakukan never ending process of learning, sehingga menjadi masyarakat belajar, learning society, yang memiliki wawasan luas untuk terus memperbaiki kehidupan mereka dari waktu ke waktu dan dari satu taraf ke taraf lain yang lebih tinggi.

Keenam, religius. Sifat ini dipahami dari ungkapan fazdkuruni adzkurkum (ingatlah aku, maka Aku ingat kepada kamu sekalian). Ungkapan ini tidak hanya menganjurkan umat Islam untuk berizikir dengan membaca kalimat puji-puji. Tapi menganjurkan mereka untuk bisa memiliki kesadaran yang tinggi terhadap Allah sehingga bisa menghadirkan-Nya dalam kehidupan yang nyata. Menghadirkan Allah dalam kehidupan nyata itu dalam sebuah hadis dinyatakan dengan menjadi orang yang paling baik budi pekertinya. Dengan demikian mereka menjadi masyarakat religius dengan keberagamaan etis, tidak dengan keberagamaan spiritualistik dan formalistik seperti yang dialami umat Islam sekarang.

Baca Juga  Kebangsaan Menurut Al-Qur'an

Ketujuh, efektif. Sifat ini dipahami dari ungkapan wasykuru li (bersyukurlah kepada-Ku). Ungkapan ini memerintahkan umat Islam untuk bersyukur. Syukur yang seharusnya mereka lakukan adalah syukur yang dapat meningkatkan anugerah (Ibrahim, 14: 7). Syukur demikian hanya bisa dilakukan dengan memanfaatkan segala anugerah, yang dalam bahasa populer sekarang disebut sumber daya, secara efektif, memberikan efek atau membuahkan hasil yang jelas. Dengan demikian masyarakat Islam menjadi masyarakat yang efektif dalam memanfaatkan segala sumber daya yang mereka miliki, baik sumber daya jasmani maupun rohani, sumber daya alam maupun sumber daya insani.

***

Kedelapan, efisien. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa la takfurun (dan janganlah kamu serkalian ingkar kepada-Ku). Ungkapan ini menyatakan larangan bagi umat Islam melakukan kekufuran. Kekufuran yang dilarang bisa pengingkaran dalam akidah dan pengingkaran anugerah. Pengingkaran ini menunjukkan ketidakmampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat.

Dengan demikian ungkapan itu menunjukkan supaya masyarakat Islam menjadi masyarakat yang efisien. Maksudnya di samping dapat menjalankan tugas dengan baik dan tepat, mereka juga dapat melaksanakan segala sesuatu dengan tepat sesuai rencana dan tidak membuang-buang waktu. Kesadaran tentang efisiensi ini sangat kuat dalam al-Qur’an yang di antaranya terbaca dalam surat al-‘Ashr dan ada dalam diri sahabat Ali bin Abi Thalib yang mengemukakan pernyataan populer: al-haqqu bila nidhamin yaghlibuhul bathilu bi nidham (kebenaran tanpa pengorganisasian dikalahkan oleh kebatilan yang dilakukan dengan pengorganisasian.

Avatar
28 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *