Tajdida

Pendidikan Muhammadiyah Melewati Batas dan Identitas

4 Mins read
Oleh: Achmad Santoso*

Muhammadiyah dan pendidikan adalah dua unsur yang tak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Bagi Muhammadiyah, pendidikan juga sudah menjadi trademark. Maka, kalau kemudian milad ke-107 ini mengambil tema Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, itu tak lain guna meneguhkan sekaligus merefleksi jati diri Muhammadiyah. Sebab, pendidikan pada mulanya memang menjadi pangkal persoalan yang dibaca secara presisi dan visioner oleh founding father Ahmad Dahlan dan menjadi salah satu cikal bakal lahirnya persyarikatan ini (18 November 1912).

Muhammadiyah berpandangan bahwa kunci kemajuan dan kemakmuran bangsa ini adalah perbaikan pendidikan. Karena itu, sesungguhnya sejak dulu nama organisasi ini diambil dari nama sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan satu tahun sebelum didirikannya Muhammadiyah. Titik bidik dalam dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkan untuk memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya. Dalam buku K.H. Ahmad Dahlan: Biografi Singkat 1869–1923, cita-cita pendidikan yang digagas Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai ulama-intelek atau intelek-ulama. Merekalah yang diharapkan memiliki keteguhan iman dan keluasan ilmu.

Frasa mencerdaskan kehidupan bangsa diilhami dari bunyi alinea keempat Pembukaan UUD 1945: …untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Cita-cita luhur itulah yang ingin digarap secara progresif dan berkelanjutan oleh Muhammadiyah. Itu tak lain juga untuk membantu negara dalam melunasi janji-janji kemerdekaan yang dipancang sesudah kemerdekaan. Tema milad tersebut mengandung satu unsur penting, yaitu mencerdaskan. Mencerdaskan bermakna mengusahakan dan sebagainya supaya sempurna akal budinya. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menakwilkan bahwa yang dicerdaskan bukan hanya manusianya, melainkan juga kehidupan secara keseluruhan: budaya, sistem, dan lingkungan. Pendek kata, manusia Indonesia harus cerdas secara pikiran, perbuatan, dan perasaan.

Baca Juga  Fikih Tata Kelola Zakat (1): Urgensi bagi Muhammadiyah

Dari Muhammadiyah untuk Bangsa

Muhammadiyah sejauh ini telah melahirkan ribuan lembaga pendidikan di seantero Nusantara. Perinciannya, 2.252 SD/MI, 1.111 SMP/MTs, 1.291 SMA/SMK/MA, 67 pondok pesantren, 171 perguruan tinggi, dan 71 sekolah luar biasa (SLB). Untuk kategori perguruan tinggi, sesuai dengan data yang dirilis Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah per Oktober 2019, antara lain terdapat 55 universitas, 8 institut, 89 sekolah tinggi, 5 politeknik, dan 9 akademi. Baik yang berjenama Muhammadiyah maupun Aisyiyah.

Di samping mencerdaskan, unsur kunci lainnya adalah bangsa. Bangsa dalam tinjauan antropologi diterjemahkan sebagai kumpulan manusia yang biasanya terkait karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum dan menempati wilayah tertentu di muka bumi. Indonesia disebut bangsa. Mereka dipersatukan, salah satunya, oleh bahasa. Mencerdaskan bangsa berarti mencerdaskan segenap insan Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Muhammadiyah, sebagaimana misi pemerintah Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 tadi, tidak hanya mencerdaskan satu kaum tertentu dan di satu sisi mengabaikan kaum yang lain. Tetapi bangsa. Karena itu, benang kusut disparitas pendidikan antara kota dan desa, Indonesia Barat dan Timur, maupun kaya dan miskin mesti diudar.

Sebagai organisasi puritan-modernis yang menjunjung tinggi elan berkemajuan (progresif), Muhammadiyah sudah sewajarnya menghadirkan ekosistem pendidikan yang baik untuk seluruh bangsa Indonesia. Di kota-kota besar, sekolah Muhammadiyah sudah amat maju dan bisa bersaing dengan sekolah elite lainnya, baik milik pemerintah maupun swasta. Di Jawa Timur saja, misalnya, sudah berdiri dengan kukuh amal usaha seperti SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya, SD Muhammadiyah GKB Gresik, SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, dan SMK Muhammadiyah 7 Gondanglegi Malang. Untuk tingkat perguruan tinggi, ada sembilan universitas yang masuk peringkat 100 terbaik di Top Islamic Universities in the World Tahun 2019 versi UniRank: UMS, UAD, UMY, UMM, Unimus, UMP, UMJ, Umsida, dan UM Metro. Bahkan, UMM berhasil menggamit predikat Kampus Terunggul di Jawa Timur versi Kopertis VII.

Baca Juga  Perempuan Aisyiyah Pariaman Dalam Jejak Revolusi PDRI

Akan tetapi, Muhammadiyah tidak sedang bersemayam nyaman di pucuk menara gading. Cara mencerdaskan kehidupan bangsa Muhammadiyah juga telah melampaui batas dan identitas. Pendidikan Muhammadiyah bahkan mampu menembus ruang paling privasi manusia: agama dan keyakinan. Contoh paling konkret, di Nusa Tenggara Timur, kita familier dengan Universitas Muhammadiyah Kupang yang 75 persen mahasiswanya penduduk setempat dan nonmuslim! Masih ada beberapa perguruan tinggi lain yang berdiri di Indonesia Timur. Antara lain Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, STIKIP Muhammadiyah Sorong, STIKIP Muhammadiyah Manokwari, Stikom Muhammadiyah Jayapura, dan IKIP Muhammadiyah Maumere.

Menurut Sekretaris Majelis Dikti Muhammadiyah Muhammad Sayuti, Muhammadiyah memang mencetuskan kebijakan untuk memberikan perhatian besar terhadap pendidikan di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal. Muhammadiyah tidak ingin pendidikan hanya terpusat di Jawa (Jawa-sentris). Misi masyarakat madani (civil society) dimanifestasikan kepada seluruh elemen bangsa.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin juga telah babat alas di tanah kelahirannya, Sumbawa, NTB, hingga berdirilah Pondok Pesantren Modern Internasional Dea Malela pada 2016 silam. Meskipun tidak terafiliasi secara langsung dengan Muhammadiyah, kata Din Syamsuddin suatu ketika, para peneroka, pendidik, dan sistemnya selaras dengan visi madrasah-madrasah Muhammadiyah. Kelak, tidak tertutup kemungkinan pengorganisasiannya dipasrahkan kepada Muhammadiyah.

Teknologi: Antara Peluang dan Hambatan

Kemunculan teknologi merupakan suatu keniscayaan, tak terkecuali di lingkungan pendidikan. Menurut Eka Kurniawan, sejak awal mula ditemukannya maupun hasil-hasilnya, teknologi selalu memiliki dua sisi yang berseberangan untuk manusia. Pertama, teknologi mampu membantu pekerjaan-pekerjaan manusia. Kedua, malangnya, teknologi juga mampu merebut pekerjaan-pekerjaan tersebut dari manusia. Pradana Boy juga mengkhawatirkan bahwa teknologi berpotensi memunculkan apa yang disebut sebagai literasi instan, yaitu ketika anak adam tunduk patuh pada dunia digital tanpa cermat menyaringnya sehingga lebih kerap muncul hal-hal kontraproduktif.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Salafisme (2): Salafiyah Bukanlah Madzhab

Solusinya, pendidikan dan teknologi memang mesti diletakkan pada posisi yang proporsional. Dalam kaitan ini, Hilman Fajrian, CEO dan founder Arkademi, memberikan perspektif lain, yang seimbang, ihwal pendidikan dan teknologi. Ketika pendidikan dihadapkan pada berbagai tantangan akan relevansinya bagi masa depan, kesetaraan akses, pengalaman belajar, dan ditempanya karakter serta kompetensi baru, tak ada pilihan bagi Indonesia selain mengutilisasi teknologi. Semua orang menyukai inovasi dan teknologi. Tapi, kata Hilman, ketika inovasi dibawa ke tingkat praktik, akan muncul resistansi besar.

Mimpi dan harapan untuk mengutilisasi teknologi di dunia pendidikan juga pernah diutarakan seorang kawan, guru SMP di Pegunungan Bintang, Papua. Sebab, dia memandang disparitas pendidikan di Indonesia Barat dan Tengah dengan Indonesia Timur sangat tinggi. Akses di tempatnya mengajar sangat terbatas. Karena itu, agar pendidikan di Indonesia Timur tidak semakin ditinggal lari, kawan itu mengusulkan adanya akselerasi digital. Segala sumber ilmu pengetahuan dari pusat yang relevan dengan kebudayaan warga setempat bisa lekas terdistribusikan.

Milad ke-107 masehi ini sebenarnya juga sudah ditandai dengan pemanfaatan teknologi oleh Muhammadiyah. Pertama, launching Muhammadiyah Online University. Kedua, launching aplikasi iuran anggota Muhammadiyah. Dua peresmian itu menyandang kata online yang terafiliasi dengan dunia digital. Menarik untuk dinanti bagaimana reaksi Muhammadiyah berikut amal usaha-amal usahanya terhadap merangsek masuknya teknologi dalam dunia pendidikan. Apakah akan semakin bermaslahat atau justru perlahan-lahan menghambat.

(*) Editor bahasa Jawa Pos, redaktur Klikmu.co, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds